Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April 3rd, 2009

POLITIK
BERLANDASKAN ETIKA DAN MORALITAS

Oleh
I Wayan Gede Suacana

Om sam gacchadhvam sam vadadhvam
sam vo manamsi janatam,
deva bhagam yatha purve
samjananam upasate

samani va akutih samana hrdayani vah
samanam astu vo mano yatha vah
susahasati

Rg Veda X 191.2,4.

MAHATMA Gandhi menyatakan salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi.

Citra Politik

Pemikiran bahwa politik itu kotor, akal-akalan, tipu muslihat, licik, serta kejam  dalam mencapai suatu tujuan, hingga kini masih dianut oleh sebagian orang. Politik dan tentu saja para politikusnya, seringkali didentikkan dengan wilayah pragmatisme dan oportunisme yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau golongan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mencapai tujuan itu dapat dihalalkan  segala cara.
Pandangan yang banyak diilhami oleh pemikiran politikus asal Italia Nicollo Machiavelli   ini, beranggapan tujuan utama dalam berpolitik adalah mengamankan kekuasaan yang sudah dipegang. Politik dan moralitas bagi kaum Machiavellian merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Kekuasaan bagi mereka bersifat sekuler yang tak memiliki kaitan dengan dunia spiritual.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi  tampaknya memahami hakekat politik secara sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan eksekutif,  kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat. Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa  syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja  janji-janji kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan  politik. Dalam khasanah ketatanegaraan, kondisi ini menghambat munculnya pemimpin ideal yang sesuai harapan rakyat. Pemimpin dari kalangan politisi yang dihasilkan belum mampu  memberikan pengayoman, ketenangan dan panutan bagi rakyat karena lebih banyak mengurus kepentingan partai daripada memikirkan alternatif kebijakan publik. Isu-isu krusial seputar kebutuhan pokok (basic needs), seperti: pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan belum banyak disentuh dan dimasukkan dalam agenda kebijakan.
Begitu pula, dialog dari hati ke hati secara intensif dalam memformulasikan kebijakan, baik  antara sesama politisi atau parpol nyaris tidak berjalan mulus, kecuali ada kesamaan kepentingan temporer yang lebih besar. Kondisi “anomali” ini mengandung resiko yang oleh Erich Fromm disebut gejala konflik laten di bawah kedok kebersamaan. Hal ini praktis telah menggeser sendi-sendi toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan  politik. Lawan politik dilihat sebagai segmen yang terpisah, bukan sebagai kesatuan yang utuh lagi. Cara pandang ini mengakibatkan makin hidupnya sistem persaingan tak sehat antar caleg atau parpol dan semakin memudarkan kesediaan untuk dapat saling menerima.

Etika dan Moralitas

Dalam kondisi seperti itu, prinsip-prinsip etika dan moral menjadi terabaikan. Giovanni Sartori pernah mengemukakan tiga tindakan  politik negatif yang paling mutakhir. Berturut-turut adalah hilangnya etika–khususnya etika pelayanan bagi rakyat, terlalu banyaknya uang yang menggoda para penguasa dan terlalu mahalnya biaya politik hingga proses politik kian sulit dikendalikan. Svami Sathya Narayana (Wacana Mutiara: 69-70) menyayangkan bahwa para pelajar yang murni, lembut dan baik diresahkan, dicemaskan dan dirusak oleh beberapa pemimpin politik untuk mencapai tujuan-tujuan egois mereka. Politik itu sendiri baik, tetapi tidak baik untuk para pelajar. Kehidupan politik lebih baik diikuti setelah para pelajar tamat sekolah.
Oleh karena itu, seseorang yang akan berkecimpung di dalam kehidupan politik perlu menetapkan prinsip-prinsip dasar sebagai nilai ideal yang selalu disertakan dalam menetapkan cita-cita, memilih strategi, membuat keputusan dan dalam mengambil tindakan-tindakan nyata untuk kemajuan bersama. Prinsip dasar tersebut akan menumbuhkan dimensi etika dan moral pada pelaksanaan tugas dan kewajiban kepada masyarakat, bangsa dan negara dengan memberikan apa yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat.
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan (Teichman, 1998). Etika politik, dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik dalam konteks politik bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan yang sangat pribadi dan golongan tertentu, itu politik yang tak beretika. Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat mendasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasis etika dan moralitas.

Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa ini semakin kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.
Rakyat  hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat rakyat  terajari agar menerapkan orientasi hidup serba instan melalui berbagai bentuk simulakrum politik lewat kegiatan simakrama, dharma swaka dsb.  Batas antara kebenaran dan kewajaran dikaburkan oleh keinginan dan kepentingan yang tak terbatas. Dalam Kakawin Nitisastra (Sargah XIII:9 Wirama Sardulawikridita) dinyatakan:
Ring wwang wastung iweh hinuttama, hane dehanya nityaneneb,      sangkeng lobhanikangalap guna, muwah ring harsa tan kagraha,       yekangde hilanging sakawruhika, ring purwatemah wigraha,                      nda tan kagraha rakwa teki, wekasan sirnabalik nirguna.
(Pangkal kesulitan yang terbesar bagi manusia tersembunyi dalam dirinya sendiri/ Nafsu loba menyebabkan orang tak dapat mencapai kebaikan yang dicita-citakan/ Itu pula yang menyebabkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sejak lama hilang/ Kemudian tidak dapat dicari akhirnya habis tanpa meninggalkan bekas/)
Oleh karena itu dalam kitab Arthasastra  ditegaskan bahwa seorang pemimpin berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi rakyatnya. Menurut Kautilya, penulis buku ini, pemimpin harus berprinsip lebih banyak menyediakan waktu untuk rakyat. Ia harus bisa membagi waktu: 4 jam untuk istirahat, 3 jam untuk makan dan hiburan, serta selebihnya diabdikan kepada rakyat. Jadi, seorang pemimpin harus rela mengorbankan sebagian besar waktunya untuk melayani kepentingan rakyat.
Beberapa prinsip moral yang harus dipegang agar menjadi pemimpin yang baik menurut Svami Sathya Narayana  adalah dimilikinya karakter individu (pribadi) dan karakter nasional. Dengan melepaskan kepentingan pribadi, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, pemimpin sejati harus mempersembahkan segala kemampuannya bagi kesejahteraan bersama dan mengangkat reputasi negaranya.

Lima Pilar Utama

Diperlukan lima pilar utama bagi pemimpin sebagai persiapan melakukan pelayanan (seva) tertinggi bagi rakyat dan negara. Pertama, sathya, memegang teguh kebenaran dan berusaha terus-menerus memperjuangkannya, betapa pun pahitnya. Dalam mengungkapkan kebenaran hendaknya bisa menimbulkan kebaikan bersama, dan tidak mencelakakan serta mengorbankan pihak lain. Kebenaran yang dipraktikkan dengan cara itu akan dapat mengatasi sekat-sekat perbedaan parpol, ideologi bahkan keyakinan.
Kedua, dharma, menerapkan kebajikan tanpa memperhitungkan kepentingan sendiri atau golongan, serta menggunakan tubuh dan pikiran untuk kebaikan orang banyak. Sariram Aadyam Khalu Dharma Saadhanam. Tubuh dan pikiran terutama ditujukan untuk pencapaian jalan kebajikan. Tubuh dan pikiran harus melakukan bermacam-macam fungsi demi kebaikan masyarakat,  bangsa dan negara.
Ketiga, shanti, menumbuhkan kedamaian setiap saat yang terpancar dari kesadaran akan realitas di dalam diri. Keadaan ini merupakan manifestasi dari sat, keberadaan murni dari jiwa, karena kedamaian sendiri melampaui pemahaman. Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa menghasilkan kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan “madhura-ananda” atau kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
Keempat, prema, memupuk cinta kasih murni tanpa ego. Bisa mengatasi kepicikan di dalam diri dan mengidentifikasikan diri dengan golongan lain dalam satu kesatuan. Politisi yang memiliki cinta kasih bagi yang lain, dengan berpegang pada kebenaran, dan membaktikan dirinya untuk kebaikan orang lain, dialah pelayan rakyat yang sebenar-benarnya.
Kelima, ahimsa, pantang menggunakan cara-cara kekerasan. Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, caleg atau politisi dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas,  inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan.

Penutup

Dengan kelima pilar utama dan prinsip-prinsip moral itu, kita berharap akan semakin banyak lagi caleg atau politisi yang kelak akan menjadi pemimpin baik serta berpihak pada rakyat. Mereka yang menata dirinya secara inklusif, mengedepankan penerimaan tanpa diskriminasi, serta menghindari persaingan yang  memicu konfik politik. Salah satu hymne dalam kitab Rg Veda telah mengisyaratkan pentingnya rasa kebersamaan itu. Sam gacchadhvam, sam vadadhvam, sam vo manamsi janatam. Berkumpullah, berdiskusilah bersama, buatlah pikiranmu bersatu padu. Dengan pikiran yang bersatu padu itu akan bisa menumbuhkan keyakinan yang sama. Sebab,

Di mana ada keyakinan, di sana ada cinta kasih,
Di mana ada cinta kasih, di sana ada kedamaian,
Di mana ada kedamaian, di sana ada kebenaran,
Di mana ada kebenaran, di sana ada Tuhan,
Di mana ada Tuhan, di sana ada kebahagiaan.

(Diskursus Sathya Sai Baba, 21-11-1999)

Read Full Post »

LAPORAN KETUA PANITIA
FORUM PUBLIK DEBAT PENAWARAN PROGRAM PARTAI POLITIK
DI BALI KERJASAMA JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FISIPOL UNWAR DENGAN YAYASAN BALI SARASWATI

DENPASAR, 3 APRIL 2009

Oleh:  Dra. Diah Rukmawati, M.Si

Dra. Diah Rukmawati, M.Si

Dra. Diah Rukmawati, M.Si

Yang terhormat:

– Bapak Rektor Universitas Warmadewa,
– Para undangan/ peserta Forum Publik Debat Program Parpol yang kami hormati.

Om Swastyastu, Assalammualaikum Wr.Wb, Salam Sejahtera bagi kita semua

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Ida Hyang Widhi/ Tuhan Yang Mahaesa, atas segala limpahan karunia-Nya sehingga pada hari yang berbahagia ini kita bisa berkumpul di sini untuk mengikuti “Forum Publik Debat Penawaran Program Partai Politik di Bali”. Kegiatan forum ini diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Tri Hita Karana Bali dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol
Unwar, serta didukung oleh International Research Institute (IRI).
Sebelum forum ini telah dilakukan diskusi terokus (FGD) dengan berbagai komponen masyarakat untuk menjaring aspirasi pemilih yang dilanjutkan dengan studi lapangan untuk mengidentifikasi isu-isu penting bagi pemilih dan meminta pimpinan masing-masing partai-partai politik untuk menegaskan posisi mereka secara tertulis terhadap isu-isu pokok yang sama. Yayasan Bali Saraswati kemudian mengkompilasi seluruh tanggapan yang diterima dari partai politik dan selanjutnya disusun dalam bentuk buklet. Buklet tersebut dirancang untuk membantu pemilih di Bali dalam membuat pilihan pada pemilu 9 April 2009 mendatang.
Selanjutnya Yayasan Bali Saraswati bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa menyelenggarakan forum debat penawaran program parpol ini. Setiap partai politik diundang dalam acara ini, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan jawaban mereka sebagaimana tertuang dalam buklet sekaligus menyampaikan keunggulan program kerja masing-masing dan posisinya terhadap issue yang berkembang dan menjadi konsen masyarakat pemilih di Bali.
Masing-masing parpol diwakili oleh seorang pengurus ataupun calegnya yang ikut dalam pemilu legislatif 9 April 2009. Isu-isu yang akan dijadikan topik debat adalah seputar upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Bali, program peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, program untuk melindungi budaya Bali, program untuk mensinergikan pariwisata dengan pertanian, program tata ruang dan lingkungan hidup. Debat akan dipandu oleh seorang moderator, seorang time keeper, dua orang notulis.

Peserta forum debat publik yang saya hormati,

Peserta yang diundang untuk  mengikuti debat berasal  dari berbagai kalangan masyarakat  pemilih, seperti pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, STT, tokoh adat, kalangan swasta, guru, dosen, serta LSM yang berjumlah kurang lebih 150 orang.  Undangan sifatnya hanya menjadi pendengar, penonton penyimak debat yang baik. Untuk tujuan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat pemilih di Bali yang juga merupakan program Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa,  maka acara debat parpol ini akan mendapatkan liputan dari berbagai media cetak dan elektronik.
Untuk menghantarkan forum debat publik ini dan memberi bobot pada diskusi selanjutnya, pada saatnya nanti kami memohon perkenan Bapak Rektor Universitas Warmadewa, Bapak Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS. untuk menyampaikan sambutannya sekaligus berkenan pula membuka forum debat publik ini. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga forum debat publik ini bisa terselenggara dengan baik, kami ucapkan banyak terima kasih. Atas nama panitia pelaksana, kami tidak lupa memohon maaf apabila dalam penyelenggaraan forum debat publik ini terdapat kekurangan dan hal-hal yang tidak berkenan di hati.
Akhirnya, kami mengucapkan selamat berdiskusi, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru sehingga acara ini bisa memberikan manfaat seperti yang kita harapkan bersama.

Om Santi, Santi, Santi Om

Acara Forum Publik Debat Penawaran Program Parpol di Bali

Acara Forum Publik Debat Penawaran Program Parpol di Bali

Read Full Post »