Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Ringkasan Tesis dan Disertasi’ Category

Studi Etika Pelayanan Publik

I Wayan Sudana1 Muhadjir Darwin2 Ag, Subarsono3

Program Studi Magister Administrasi Publik

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

ABSTRAKSI

The study aims to know the aplication of bureaucracy ethics in the public service. In the service process, however, its aplication bureaucracy ethics still of deviation actions that be done by the bureaucracy apparatus. To respond these cases, bureaucracy ethics very important be understood each  bureaucracy apparatus towards the norms in the  organization. In the public service bureaucracy ethics  to have to giving an expectation that would be able to satisfy the users. It highly relate to factors of control mechanism, concistence of bureaucracy apparatus, and effective communication. Its meaning that, the control mechanism,  concistence of bureaucracy apparatus, effective communication  can build the public service of bureaucracy ethics.

The methods used in this study were 1) In the scope of data collection, the methods such as Observation was used, namely, to observe the activities of the Official for Population and Civil Registration on Dernpasar apparatuses in implementing their tasks; Questionnaire, namely, to ask written questions for knowing anyone’s responses to service. Interview, namely, to ask oral questions for delving into information in detail. Documentation, namely, a secondary data collection that was the activity results of the service providers. 2) In the scope of data analysis, the steps such as reducing data, presenting data, describing data by the descriptive statistic method, making interpretation of data, and concluding.

The Research result indicated that bureaucracy ethics for public services at the Official for Population and Civil Registration on Dernpasar still lower that shown from bureaucracies government officer inconsistent by doing the job, Mechanism control is not yet running well and the communication is not effective

Key Words : Ethics, Apparatus, and  Service

1 Jurusan Ilmu Administrasi, FISIPOL,  Universitas Warmadewa Denpasar, Bali

2 Fakultas ISIPOL  Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

3 Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

  1. I. Pengantar

A.  Latar Belakang Masalah

Kebijakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya menyangkut otonomi, dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut tidaklah cukup hanya  disikapi dan dipahami semata, melainkan harus dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara di daerah melalui sinergitas aparatur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien.

Setiap pemerintah daerah memiliki ciri khas persoalan yang berbeda-beda. Hal ini, dapat dilihat pada salah satu daerah di Indonesia, yaitu Pemerintah Daerah Bali. Bali dengan luas wilayah 5.633 Km2 (0,30 % terhadap luas seluruh Indonesia). Bali memiliki tingkat pertumbuhan penduduk dengan rata-rata (1,31 % pertahun) di bawah tingkat pertumbuhan penduduk nasional (1,49 %  pertahun), dan dengan tingkat kepadatan penduduk sudah sangat padat, yakni 559 jiwa/Km2 (Sumber: BPS Prop. Bali, 2000). Akan tetapi, masalah kependudukan tersebut lebih menjadi persoalan apabila dilihat di Kota Denpasar. Kedudukan Denpasar sebagai Ibu Kota Propinsi Bali yang sangat sempit dengan luas wilayah 127,8 Km2,  pertumbuhan penduduknya berada justru di atas rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk nasional maupun Bali.

Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Denpasar Tahun 2000 adalah sebesar 3,01% dengan rincian pertumbuhan alami sebesar 0,76 % dan pertumbuhan migran sebesar 2,25 %. Jumlah penduduk Kota Denpasar yang tinggi yaitu 561.000 orang/jiwa, ternyata dibarengi dengan tingkat kepadatan yang juga sangat tinggi, yakni sebesar 4.500  jiwa/km2( Sumber: BPS Prop. Bali, 2000).

Berdasarkan data, menunjukkan ada ketimpangan mengenai jumlah penduduk pendatang yang dikelola oleh dua lembaga yang berbeda ternyata bias dan mencengangkan. Data BPS menunjukkan angka yang gemuk yakni 561.814 jiwa, sedangkan pendataan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang melakukan pendataan yang berkelanjutan melibatkan aparat desa/kelurahan berdasarkan jumlah warga yang mengantongi KTP dan Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPP). hanya membukukan angka 339.399. Perbedaan angka ini menunjukkan ada ratusan penduduk pendatang yang tidak melengkapi diri dengan identitas terjaring oleh Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B).

Dilain pihak, etika pelayanan publik prakteknya masih terdapat adanya keluhan masyarakat mengenai sinyalemen adanya praktek  KKN  dalam pengurusan KTP di Kota Denpasar. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Pusat Data Bali Post selama empat hari yaitu dari tanggal 17-21 Mei 2003, terhadap 500 pemilik telepon di Kota Denpasar, 48 % (237 responden) menyatakan ada indikasi KKN.  Sementara  yang menyatakan tidak ada indikasi KKN sebanyak 41 % (204 responden), dan selebihnya 11% (59 responden) menyatakan tidak tahu (Bali Post, 23 Mei  2003: 3).

Selain itu, hadirnya “pasar gelap pelayanan publik” (black- market) masih tetap ada dan tak dapat dihindarkan dalam pengurusan KTP.  Adanya indikasi  para calo KTP mentargetkan harga antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- untuk satu buah KTP bagi penduduk pendatang, tidak ditampik Kadis Kependudukan dan Capil Kota Denpasar (Den Post, 20 Juni  2003: 2).  Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, muncul pertanyaan bahwa: “Bagaimana aplikasi etika dalam pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar?

B. Tinjauan  Pustaka

Etika dalam konteks birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat.  Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya.  Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Oleh karena etika mempersoalkan “baik-buruk” dan bukan “benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi negara.

Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994: 50-51). Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”

Terkait dengan di atas, (Kumorotomo,1992: 7) mendefinisikan etika pelayanan publik sebagai suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.

Sedangkan Darwin, 1999 (dalam Widodo, 2001) mengartikan etika birokrasi sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi. Dalam kaitan tersebut, (Widodo, 2001: 241) menyebutkan etika administrasi negara adalah merupakan wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.

Menurut Fadillah (2001: 27) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002: 188) mengatakan, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat.  Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya.  Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Dalam penerapannya etika pelayanan publik dipengarui oleh banyak faktor, namun dalam penelitian ini faktor-faktor yang dominan mempengaruhinya di tempat studi kasusu adalah: pengawasan, konsistensi aparat birokrasi, dan komunikasi.

II.         Metode Penelitian

Subyek yang dihubungi dalam penelitian adalah Responden dan Informan sebagai informan kunci dari sumber yang dapat dipercaya. Hal ini, karena Responden dan Informan yang dihubungi benar-benar orang yang terlibat dalam kasus yang diteliti dan tertarik pada kasus ini. Responden adalah pegawai yang menangani pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan sedangkan Informan adalah masyarakat pengguna jasas di dans tersebut. Untuk  pemilihannya menjadi Responden dan Informan dapat dihubungi subyek yang memiliki ketertarikan pada kasus yang diteliti agar dapat memberikan data yang akurat, jelas, dan nyata. Teknik pengumpulan data yang digunakan seperti; observasi, angket, wawancara, dan dukumentasi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan cara; reduksi data, penyajian data, mendeskripsikan dengan statistik deskriptif, verifikasi, dan mengambil kesimbulan

III.     Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil Temuan

Dalam penelitian ini ada temuan lapangan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis. Temuan tersebut adalah: pertama, adanya indikasi praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk. Indikasi tersebut dapat ditunjukkan oleh hasil pooling yang dilakukan pusat data Bali Post terhadap 500 pemilik telepon di Kota Denpasar, 48 % (237 responden) menyatakan ada indikasi KKN.  Sementara  yang menyatakan tidak ada indikasi KKN sebanyak 41 % (204 responden), dan selebihnya 11% (59 responden) menyatakan tidak tahu.

Selain itu, hadirnya “pasar gelap pelayanan publik” (black- market) masih tetap ada dan tak dapat dihindarkan dalam pengurusan KTP.  Adanya indikasi  para calo KTP mentargetkan harga antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- untuk satu buah KTP bagi penduduk pendatang. Hal ini, dapat dibuktikan dengan temuan  lapangan yaitu adanya praktek- praktek birojasa baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka dengan membuka kantor-kantor dengan papan nama resmi.

Selain itu, temuan lapangan dapat terlihat masih kentalnya unsur nepotisme melekat dalam urusan birokrasi. Hal ini, akan mengakibatkan terjadinya pelayanan yang diskriminatif dari aparat birokrasi.

  1. Pembahasan

1.   Etika pelayanan publik dapat dilihat dari bebarapa indikator dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

  1. Kode etik pelayanan banyak upaya-upaya yang telah dilakukan, tetapi masih kurang dan rendah kesadaran aparat jika dilihat dari: 1) keikhlasan dalam pemberian pelayanan (masih ada aparat yang mengharapkan belas jasa); 2) pelayanan sesuai aturan yang ditetapkan (masih banyak aparat dalam pemberian pelayanan melanggar prosedur dan ketentuan yang ada dan banyak pengguna jasa menggunakan biro jasa dalam mengurus keperluannya); 3) Pilih kasih dalam pelayanan (masih terdapat sikap dan tindakan aparat yang membeda-bedakan pelayanan); 4) Kepuasan dalam pelayanan (masih terdapat adanya keluhan-keluhan dari masyarakat terkait proses pelayanan di Dinas tersebut).
  2. Kejujuran dalam pelayanan usaha-usaha sudah maksimal dilakukan, namun masih kurang jika dilihat dari: 1) Tidak menyalahgunakan wewenang dalam pelayanan (masih terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi); 2) Transparansi dalam pelayanan (aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa); 3) Sikap aparat dalam pelayanan (aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa); 4) Kesetiaan dalam pelayanan (masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan).
  3. Tanggung jawab pelayanan secara umum belum menunjukkan hasil yang mengembirakan dengan kata lain kesadaran akan tanggung jawab masih kurang jika dilihat dari: 1) Ketepatan dalam pelayanan (banyak kasus pelayanan yang molor atau lambat); 2) Pelemparan tanggung jawab (banyak masyarakat pengguna jasa merasa dirugikan baik, waktu, biaya, dan tenaga); 3) Pemeliharaan dan penggunaan pasilitas kantor (sudah baik); 4) Menyadari kepentingan publik (masih ada pegawai yang mementingkan  kepentingan pribadi dan terlalu tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan).
  4. Disiplin dalam pelayanan, masih rendahnya kesadaran aparat terhadap disiplin dalam pelayanan jika dilihat dari: 1) ketaatan pada peraturan yang berlaku (masih ada tindakan aparat yang menyimpang dari aturan); 2) Pelaksanaan tugas sesuai jam kerja (terdapat pegawai berada di kantin, bolos, dan jemput anaknya ke sekolah saat jam kantor); 3) Kesediaan untuk menerima keluhan (aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa); 4) Kesungguhan aparat dalam pelayanan (aparat belum serius dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga banyak pekerjaan selesai terlambat).

e.   Diskriminasi pelayanan, terdapat tindakan diskriminasi aparat jika dilihat dari: 1) Tindakan pilih kasih dalam pelayanan (terdapat tindakan membeda-bedakan pengguna jasa oleh aparat birokrasi baik dari sisi materi, etnis, status sosial, dan kekerabatan); 2) Posisi masyarakat dalam pelayanan (pengguna jasa tidak memiliki posisi tawar dalam proses pelayanan, sehingga posisinya selalu dipersulit); 3) Alasan diskriminasi pelayanan (terjadi tindakan aparat melayani pengguna jasa yang belum memenuhi kelengkapan persyaratan); 4) Perlakuan yang sama (ada sikap memihak dan tindakan tidak adil aparat birokrasi dalam proses pelayanan).

2. Relevansi faktor-faktor lain yang mempengaruhi etika pelayanan publik dalam penerapannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.

  1. Pengawasan, mekanisme pengawasan belum berjalan dengan baik jika dilihat dari:

1)      Internal kontrol: a) Pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan (terkesan hanya bersifat serimonial belaka, pelaksanaannya monoton); b) Pengawasan oleh bawahan terhadap atasan (sudah dilakukan namun, belum mendapat respon positif dari atasan).

2)      Eksternal kontrol (oleh masyarakat terhadap organisasi): (Tidak ada respon dari aparat birokrasi terhadap keluhan-keluhan, saran dan kritik yang diberikan oleh masyarakat). Dalam artian respon aparat birokrasi masih rendah.

  1. Konsistensi aparat birokrasi, kesesuaian dan ketetapan tindakan  secara faktual dengan ketentuan yang ada di Dinas tersebut masih timpang, jika dilihat dari: 1)Kesesuaian bertindak dalam pelayanan  (terdapat inkonsistenasi aparat dalam bertindak); 2) Ketertarikan pada pekerjaan (pegawai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalklan gaji, bukan karena motivasi yang muncul dari dalam dirinya untuk bekerja); 3) keterikatan pada organisasi (banyak pegawai yang kerja nyambi di luar, selain sebagai PNS, sehingga dedikasi dan loyalitas terhadap organisasi kurang).

c.  Komunikasi tidak efektif jika dilihat dari: 1) Kejelasan informasi yang diterima (tidak komunikatif antara permberi informasi dengan penerima); 2) Penggunaan media informasi (upaya sudah ada, namun mubazir karena tidak mendapat respon dari masyarakat pengguna jasa); 3) Intensitas waktu (waktu yang dimiliki bisa dibilang cukup, namun jangkauan wilayah dan jumlah penduduk yang cukup padat serta minimnya jumlah pegawai, sehingga tidak semua masyarakat terjangkau oleh program tersebut).

IV.      Kesimpulan dan Sara
A.     Kesimpula

Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis etika pelayanan publik dari indikatornya, maka etika pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Denpasar dapat disimpulkan sebagai berikut ini.

  1. Etika birokrasi dalam pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini masih jauh dari harapan pada umumnya. Hal ini, menunjukkan aparat birokrasi kurang mampu mewujudkan misi organisasi dari aturan yang ditetapkan dalam pemberian pelayanan kepada publik. Oleh karena itu, timbul ketidakpuasan masyarakat sebagai pengguna jasa yang nampak pada keluhan yang disampaikan dalam hal pelayanan KTP. Seiring dengan itu juga, nampak pada persepsi masyarakat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibangun dari indikator dalam penelitian ini.  Dengan demikian, secara umum kesadaran aparat birokrasi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar dalam pengembangan etika birokrasi pelayanan publik masih kurang jika dikaji dari ukuran-ukuran yang digunakan.
  2. Dilihat dari indikator-indikator dalam penelitian ini etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang lebih mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Kurangnya etika birokrasi dalam pelayanan publik dalam penelitian ini, ditentukan oleh beberapa faktor yaitu :
    1. Komunikasi yang kurang efektif dalam mensosialisasikan aturan-aturan kepada para stakeholders, karena tidak adanya transparansi informasi. Hal ini, mengakibatkan adanya mis informasi dari masyarakat pengguna jasa. Disamping itu, ketentuan dan prosedur pelayanan di loket yang membosankan pengguna jasa dari pemberian informasi yang kurang jelas oleh petugas.
    2. Mekanisme pengawasan yang belum berjalan dengan baik, karena masih terdapat adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dari aparat birokrasi dalam penerapan etika birokrasi dalam pelayanan publik. Hal ini, menunjukkan belum kuatnya kontrol dari masyarakat pengguna jasa sebagai check and balance dalam memperbaiki proses pelayanan. Selain itu, lemahnya  kontrol internal secara timbal balik antara atasan dan bawahan.
    3. Konsistensi perilaku aparat birokrasi dalam penerapan etika pelayanan publik belum sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini, menunjukkan  rendahnya kesadaran aparat birokrasi dalam menegakkan aturan yang ditetapkan sebagai pedoman dalam mewujudkan misi organisasi secara keseluruhan.

B.  Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut.

  1. Etika birokrasi dalam pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Denpasar perlu ditingkatkan dengan jalan memberikan pembinaan secara moral tentang pentingnya pemahaman dan penanaman prinsip-prinsip moral dan etika dalam setiap diri aparat birokrasi seperti pemahaman terhadap pentingnya kode etika pelayanan, kejujuran dalam pemberian pelayanan, tanggung jawab moral dalam pelayanan, disiplin dalam melaksanakan tugas, serta tidak bertindak diskriminatif terhadap masyarakat pengguna jasa dalam proses pelayanan. Dengan demikian, aparat birokrasi dalam menjalankan fungsinya dapat mengetahui perbuatan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan atau dihindari.
  2. Mekanisme pengawasan yang belum berjalan dengan baik perlu ditingkatkan, baik pengawasan dari dalam organisasi yang dilakukan secara timbal balik antara atasan dan bawahan maupun dari luar organisasi yang dilakukan oleh masyarakat, dengan jalan melibatkan diri untuk berpartisipasi secara pro-aktif guna mendukung program pemerintah dan sekaligus ikut memberikan kontrol sosial sebagai kekuatan untuk chek and balance dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga dapat mencegah tindakan-tindakan aparat yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
  3. Belum konsistennya aparat birokrasi terhadap penerapan etika birokrasi dalam pelayanan publik perlu adanya penyatuan pikiran dan perkataan yang bermuara kepada tindakan, sehingga aturan yang telah ditetapkan tidak dijadikan symbol saja, akan tetapi benar-benar harus direalisasikan secara faktual dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dapat menikmati pelayanan dari aparat birokrasi secara efesien, tanggap, dan akuntabel.
  4. Tidak efektifnya komunikasi dalam mensosialisasikan aturan kepada stakeholders yang telah dilaksanakan lewat mas media baik cetak maupun elektronik perlu dilakukan dengan cara lain yaitu dengan jalan memasang atau menempel ketentuan dan prosedur pelayanan di loket-loket pelayanan dan petugas memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa layanan. Cara atau jalan lain yang dapat ditempuh untuk mensosialisasikan aturan tersebut, adalah dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan melalui sistem banjar selain disosialisasikan lewat media massa maupun elektronik. Dengan demikian, pemahaman masyarakat pengguna jasa terhadap ketentuan dan prosedur pelayanan dalam hal pengurusan KTP di dinas tersebut menjadi jelas, sehingga masyarakat tidak merasa bingung lagi dan bisa mengurus keperluannya sendiri tanpa menggunakan perantara lewat calo.
V.        DAFTAR PUSTAKA

Darwin, Muhajir. 1988. Teori Administrasi Publik. Diktat kuliah, S2 Administrasi Negara Fisipol UGM, Yogyakarta.

Dwiyanto Agus, Partini, Ratminto, Wicaksono Bambang, Tamtiari Wini, Kusumasari Bevaola, dan Nuh Muhamad. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.

Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta.

Keban, Yeremias T. 1994. Pengantar Aministrasi Publik. Program MAP UGM, Yogyakarta.

Putra, Fadillah dan Arif, Saiful. 2001. Kapatilasime Birokrasi, Kritik Reinvinting Government Osborne-Gaebler. LKIS, Yogyakarta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.

KORAN

Bali Post. Sinyalemen Adanya Praktek KKN dalam Pengurusan KTP di Kota Denpasar. 2003.  23 Mei, hlm. 3.

Bali Post. Mengejar Target Mengabaikan Validitas. 2003. 19 November, hlm. 3.

Bali Post. Data Kependudukan  BPS-Capil Beda Ratusan Ribu. 2003. 20 November,  hlm. 3.

Bali Post. Soal Penanganan Kependudukan, Belum Serius Terkesan Masih Sebatas Wacana. 2003. 27 November, hlm. 3.

Den Post. Indikasi Para Calo Menargetkan KTP bagi Penduduk Pendatang. 2003. 20 Juni, hlm. 2.

Read Full Post »

TRANSFORMASI DEMOKRASI DAN OTONOMI

DALAM TATA PEMERINTAHAN DESA MENGWI ERA TRANSISI:

PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA

Ringkasan Disertasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, 2008

Oleh: I Wayan Gede Suacana

 

 

ABSTRACT

This study discusses “Democracy and Autonomy Transformation in the Governance of Mengwi Village in the Transition Era: A Cultural Studies Perspective”. The problem investigated was the shift in the nation’s approach to the policy of villages after the reign of New Order. In this era, the policy of democratization and decentralization appeared till the village level. However, the policy was not totally implemented in the villages. The aims of this study are: to describe democracy transformation in the village governance in the transition era, to clarify autonomy transformation in the village governance in the transition era, and to analyze the implication and the sense of democracy and autonomy transformation to the development of village governance.

This study was conducted employing qualitative method. Various forms of democracy and autonomy transformation in the village governance took place during the transition era. In the first stage, the primary and secondary data were collected. In the second stage, the theory applied for examining the data was chosen, and in the third stage, the collected and classified data were analyzed and interpreted. In the fourth stage the results of the study were reported and constructed. The theories applied in this study include; democracy, political democracy, substantial democracy, decentralization and political culture. The approaches applied were Tranpolitic and post-structuralism.

The results of the study showed that; first, the village democracy in the first transition era (1998-1999) was mostly still uniform, and there were not many choices in the implementation of the village democracy. The village autonomy was still blocked in centralistic pattern, homogeneous with hierarchical structure. Second, in the second transition era (2000-2004) the role of the village representatives became so democratic accompanied by the extended village autonomy. Third, in the third transition era (2005-2008) democracy became retransformed to the procedural pattern accompanied by the strengthening of supra village government power decreasing the autonomy of the villages. Fourth, democracy and autonomy transformation contributed to the demand for the strengthening of democracy institutions, better community participation and more accountable public services, transparence and responsiveness to what was needed by the people. Fifth, democracy and village autonomy transformation, in addition to having the sense of involving the active participation of the society in the village governance, also had the sense of strengthening the civil and political society in every village social organization which actualized what was needed by the society. This condition at the same time functioned as the responses to nation’s hegemony through the supra village government which took place until the first transition era.

Key words: democracy and autonomy transformation, supra village power relation, dynamic of village governance, cultural studies.

 

PENDAHULUAN

 

Disertasi ini membicarakan “Transformasi Demokrasi dan Otonomi dalam Tata Pemerintahan Desa Mengwi Era Transisi: Perspektif Kajian Budaya”. Dalam memahami persoalan ini dicermati sosok tata pemerintahan desa seiring berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Dalam era transisi yang dimulai sejak 1998 terjadi pergeseran sistem pemerintahan dari yang berorientasi pada negara ke masyarakat, dari sistem otoritarian ke egalitarian dan dari praktek pemerintahan (government) menjadi tata pemerintahan (governance). Kondisi ini disertai dengan implementasi kebijakan demokratisasi dan desentralisasi hingga ke tingkat desa yang menggeser pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat-daerah dengan desa.

Namun, masih ada beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan tersebut khususnya di tingkat desa. Adanya kesenjangan antara kenyataan (das sollen) masih adanya persoalan hubungan dalam sistem dualitas desa dan harapan (das sein) bagi terwujudnya tata pemerintahan di tingkat desa mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Persoalan khusus yang dicermati adalah transformasi demokrasi dan otonomi desa yang terjadi selama era transisi, yakni era pasca keruntuhan rejim Orde Baru (1998-2008). Permasalahan pokok penelitian ada tiga. Pertama, bagaimana transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa era transisi; Kedua, bagaimana transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan Ketiga, apa implikasi dan makna transformasi demokrasi dan otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.

Secara umum tujuan penelitian ini: mendeskripsikan transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan Desa Mengwi era transisi; menjelaskan perluasan proses pengelolaan tata pemerintahan desa melalui keterlibatan stakeholders dalam bidang sosial dan politik maupun pendayagunaan sumber daya alam dan keuangan desa; dan menganalisis penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang diarahkan demi kepentingan masyarakat desa. Secara khusus tujuan penelitian ini: pertama, mendeskripsikan transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa era transisi; kedua, menjelaskan transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan ketiga, menganalisis implikasi dan makna transformasi demokrasi dan otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.

Manfaat akademik penelitian ini adalah: pertama, dapat menemukan kerangka pemikiran yang lebih luas mengenai tata pemerintahan desa berikut transformasi demokrasi dan otonominya yang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi; kedua, memberikan sumbangan pemikiran baru mengenai penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik dan demokratis, serta sumbangannya untuk pengembangan kajian budaya; dan ketiga, membangun dasar pijakan untuk penelitian lanjutan tentang transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang menggunakan perspektif kajian budaya.

Selain itu, secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi elemen pemerintah desa dan semua pihak terkait (stakeholders), seperti kepala desa, BPD dan masyarakat sipil bisa lebih memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan menerapkan prinsip-prinsip tranparansi, partisipasi, akuntabilitas dan responsibilitas dalam upaya mengembangkan tata pemerintahan desa. Bagi pemerintah pusat dan daerah bisa mendapatkan rekomendasi alternatif untuk memformulasikan kebijakan publik (undang-undang dan peraturan daerah) yang berkaitan dengan isu penguatan tata pemerintahan desa.

 

MATERI DAN DISKUSI

 

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif yang menggambarkan transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa pada era transisi. Di sini digali berbagai bentuk transformasi demokrasi dan otonomi berikut implikasi dan maknanya bagi pengembangan tata pemerintahan desa. Tahap pertama, dilakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Tahap kedua, memilih teori untuk mengkaji data. Tahap ketiga, menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah diseleksi. Tahap keempat, melakukan penulisan dan konstruksi dari seluruh hasil penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan teori demokrasi, teori demokrasi politik, teori demokrasi substansial, teori desentralisasi dan teori budaya politik. Pendekatan yang dipakai adalah transpolitika dan postrukturalisme.

Untuk mengetahui hasil penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, dari analisis era transisi berdasarkan kriteria normatif dan sosiologis yang difokuskan pada saat awal era transisi, yakni sejak berakhirnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru (1998) ke pemerintahan berikutnya serta sifat relasi kekuasaan antara pemerintahan supradesa dengan desa yang dimanifestasikan dalam sifat kendali legislasi, realitasnya era transisi dapat dibagi menjadi tiga. Era transisi pertama (1998-1999) masih menyisakan kuatnya pengaruh pusat serta penyeragaman dalam pengaturan pemerintahan desa dan merupakan masa akhir berlakunya UU No. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa; Era transisi kedua (2000-2004) merupakan puncak liberalisasi politik dengan pemberian otonomi yang sangat luas bagi daerah dan desa dengan pemberlakuan UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan Era transisi ketiga (2005-2008) kecenderungan untuk menata kembali beberapa kewenangan daerah dan desa oleh pusat dengan pemberlakuan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72/ 2005 tentang Desa.

Kedua, dari analisis transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang. Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga. Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.

Ketiga, dari analisis transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya otonomi desa dalam era transisi pertama masih bersifat sentralistis-homogenitas yang terbelenggu dalam pola sentralistis, homogen dengan struktur yang hirarkis sehingga sulit membawanya ke luar dari sistem yang telah ditentukan sebelumnya oleh pusat. Kondisi ini menyulitkan pengaturan tata pemerintahan desa yang masih menganut pola dualitas. Dalam era transisi kedua ada transformasi otonomi yang bersifat desentralistis-heterogenitas dengan pemberian otonomi yang lebih luas hingga ke tingkat desa. Sebelumnya, bidang pelayanan didekonsentrasikan kepada desa, sedangkan pengambilan keputusan strategis menyangkut desa tetap terpusat di Jakarta. Transformasi dari sentralisasi ke desentralisasi kekuasaan terjadi dengan mengembangkan tata pemerintahan desa dengan berbasiskan keberagaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam era transisi ketiga, otonomi desa kembali bertransformasi menuju bentuk heterogenitas-resentralistis dengan menguatnya kontrol negara via pemerintah supradesa terhadap desa lewat kebijakan tentang desa terutama dalam hal pembentukan, penghapusan, penggabungan, pengaturan perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, maupun pembangunan desa. Semuanya itu dilakukan oleh perangkat pemerintahan kabupaten yang ditetapkan lewat peraturan daerah dengan acuan kebijakan pemerintah pusat.

Keempat, dari analisis implikasi transformasi demokrasi dan otonomi desa, realitasnya ada tuntutan akan penguatan institusi-institusi demokratis, peningkatan partisipasi masyarakat, dan membuat pelayanan publik yang lebih tranparan, akuntabel dan responsif terhadap kepentingan masyarakat desa. Pemerintah desa tidak lagi berjalan dan mengatur dirinya sendiri sebagaimana halnya praktek sebelumnya, tetapi sudah dikontrol dan diimbangi dengan kondisi masyarakat sipil dan masyarakat politik (BPD-1 dan 2) yang aktif, artikulatif dan terorganisir. Transformasi demokrasi dan otonomi bermakna penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata pemerintahan desa. Kehadiran masyarakat sipil yang terwadahi dalam berbagai organisasi sosial desa yang berani mengartikulasikan kepentingan masyarakat desa merupakan sebuah arus balik hegemoni negara yang berlangsung sebelumnya. Begitu pula parlemen desa (terutama BPD-1) selaku masyarakat politik sudah bertindak selaku mediating structure atau instansi perantara yang menerjemahkan kekuasaan negara pada level yang terbawah menjadi pemerintahan berdasarkan hukum, yaitu transpormasi dari the rule of power menjadi the rule of law.

 

TEMUAN BARU PENELITIAN

 

Temuan baru dalam penelitian ini: Pertama, terjadi transformasi dari demokrasi normatif yang bersifat otoritarian-leviathan pada era transisi pertama menjadi demokrasi substansial yang bersifat libertarian liliput pada era transisi kedua. Kondisi ini diikuti oleh terjadinya minimalisasi dominasi birokrasi desa yang kemudian diimbangi oleh peran Badan Perwakilan Desa (BPD-1) maupun institusi-institusi informal desa, seperti banjar adat, desa adat dan sekeha teruna. Perimbangan peran antar lembaga dalam era transisi kedua merupakan bagian dari modal sosial yang didalamnya berkembang nilai-nilai partisipasi secara otentik.

Kedua, demokrasi substansial yang bersifat libertarian-liliput dalam era transisi kedua cenderung bertransformasi kembali menjadi demokratis prosedural dalam era transisi ketiga. Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD-1) digantikan menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) selaku badan legislatif baru di desa. Peran mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa tetap ada, namun minus hak untuk meminta pertanggungjawaban kepala desa.

Ketiga, terjadi transformasi otonomi yang bersifat sentralistis-homogenitas pada era transisi pertama menjadi otonomi desentralistis-heterogenitas pada era transisi kedua. Perspektif tata pemerintahan yang meminimalkan peranan negara (governance as the minimal state) lalu diterapkan dengan meminimalkan intervensi pemerintah pada kehidupan masyarakat desa. Masyarakat mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur dirinya sendiri karena peran pemerintah dibatasi hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Sudah ada semacam mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga desa mengatur sumber daya mereka serta memecahkan masalah-masalah publik yang muncul.

Keempat, otonomi desentralistis-heterogenitas pada era transisi kedua bertransformasi kembali menjadi otonomi yang bersifat heterogenitas-resentralistis dalam era transisi ketiga. Pemerintah supra desa menarik kembali beberapa hak otonomi desa sehingga tidak sepenuhnya menciptakan lingkungan yang bisa memfasilitasi masyarakat politik dalam lembaga legislatif desa, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi di desa dapat bersinergi dengan pemerintah desa.

Kelima, kondisi transformasi demokrasi dan otonomi yang bersifat dinamis-fluktuatif dalam era transisi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan tata pemerintahan desa. Perkembangan tata pemerintahan desa yang sudah baik dalam era transisi kedua kembali meredup dalam era transisi ketiga seiring peran pemerintah supradesa yang dalam batas tertentu–walau tidak sebesar dan sekuat seperti dalam era transisi pertama—telah ikut menahan laju transformasi demokrasi dan otonomi desa. Tampak belum adanya konsistensi dalam komitmen dan political will pemerintah untuk menerapkan kebijakan demokrasi dan otonomi yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan desa.

 

SIMPULAN PENELITIAN

 

Simpulan penelitian ini adalah transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang berupa implementasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat telah dimulai sejak akhir era transisi pertama, mencapai puncak pada era transisi kedua, dan kembali menyurut pada era transisi ketiga. Transformasi demokrasi desa yang hakekatnya merupakan perubahan struktur, fungsi dan mekanisme pemerintahan desa bisa menjadi lebih demokratis dengan tetap memperhatikan pelembagaan partisipasi politik warga, kontrol efektif lembaga perwakilan desa dan kekuatan kritis, transparansi dalam proses kebijakan desa, serta adanya akuntabilitas kepada masyarakat desa selaku pemilik kedaulatan. Transformasi otonomi desa bermakna penghormatan dualitas desa, kearifan lokal di desa, penerapan desentralisasi dan memberikan kewenangan desa menangani urusan yang secara asli menjadi kewenangannya dalam bingkai negara kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Almond, Gabriel A., dan Verba, Sidney, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara.

 

Bennett, David (ed), 1993. Cultural Studies: Pluralism and Theory, Melbourne, Melbourne: University Literary and Cultural Studies, Volume 2

Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methodes for the Social Sciences, Boston: Indiana University of Pennsylvania.

Cheema, Shabir G., dan Rondinelli, Dennis A.(eds) 1988. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hill USA: Sage Publication.

 

Dahl, Robert A.1971. Polyarchy: Participation and Opposition, New Haven, Yale University.

___________, A., 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, New Haven: Yale University.

Dwipayana, Ari, dan Eko, Sutoro (ed), 2003. Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press.

 

Eko, Sutoro dan Rozaki, Abdur (ed), 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta: Penerbit IRE Press.

 

Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Gaffar, Afan, 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Geriya, I Wayan, 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

 

Held, David, 1987. Models of Democracy, Cambridge: Polity Press.

Holt, Claire (ed), 1972. Culture and Politics in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.

 

Jackson, Karl D., and Pye, Lucian W. (eds), 1978. Poltical Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.

Karim, Abdul Gaffar, (ed), 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

Kautilya (Canakya), Made Astana dan CS Anomdiputro (penerj.), 2003. Arthasastra, Surabaya, Penerbit Paramitha.

Maddick, 1963. Democracy, Decentralization and Development, Bombay: India, Asia Publishing House.

Mawhood, Philip, 1983. Local Government in The Third World, Chicester, UK: John Wisley and Sons.

Nordholt, Henk Schulte, 2006. The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan.

Piliang, Yasraf A., 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra.

 

Powel, Jr, G. Bingham, 1982. Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Mass., Harvad University Press.

Ritzer, George, 1980. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Said, Mas’ud, M., 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang: UMM Press.

Santoso, Purwo dkk (ed), 2003. Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dan Pustaka Pelajar.

Smith, Brian, 1985. Decentralization, London UK: George Allen and Unwin

Sorensen, Georg, 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Uhlin, Anders, 1995. Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors, Sweden: Departement of Political Science, Lund University.

Warren, Carol, 1993. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA., selaku promotor, Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS. selaku kopromotor I, dan Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH. MH., selaku kopromotor II, yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat dan bimbingan mulai penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendididikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Tim Manajemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan biaya studi dalam bentuk BPPS, Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali yang menaungi Universitas Warmadewa, Pemerintah Kabupaten Bangli, serta kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur Pascasarjana Universitas Udayana beserta staf, dan Ketua Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana beserta staf.

 

Read Full Post »

ANALISIS MANAJEMEN STRATEGIS PENGEMBANGAN

KINERJA PEMERINTAH DAERAH

Strategic Management Analysis of Developing

Local Government Performance

Oleh I Wayan Gede Suacana

Ringkasan Tesis S2 Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (1997)

ABSTRACT

The aim of this research is to look to what are the strategic issues which can be formulated in implementing to try out of regional autonomy at Second Level of Badung Regency, and what are an alternative strategic which can be performed to solve the various strategic issues for developing a perfomance of Local Government of Badung Regency.

By using a case study approach in organizing, data collection method with: observation, interview, documentation and the analysis step: reduction, data representation and the conclusion/verification making by explaining some alternative strategies for develoving a performance of local government.

Based on Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) analysis can be established a six strategic issues which must be handled as soon, namely; human resources, administrative leadership and managerial capability, organization development and change, Regional Management Information System (RMIS), work system and procedure, and cooperation-inter local and privatisation.

Some development strategic of local government performance choised based on six strategic issues in order to be applied in implementing a regional autonomy, namely; increasing of human resources quality, application of leadership pattern, increasing of organization flexibility and adaptibility, applicated at productivity and effectivity of RMIS, simplification of system and procedure and increasing of cooperation-inter local and privat sector.

In facing a free market, the local governmental apparatus of Badung Regency which involved in public sector must have enthusiasm and entrepreneurship vision that builded by human resources development, institution and legislation. Therefore, they must be continously builded by both regional autonomy team or technical department in order to carry out the autonomy at effectively and efficiently.

Keywords: local autonomy, developing performance, strategic management

Latar Belakang Masalah

Proses perubahan besar yang sedang terjadi secara universal, membangkitkan tantangan pada seluruh sistem penyelenggaraan organisasi pelayanan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan global tersebut, birokrasi diharuskan dapat mentransformasikan semangat kewirausahaan (entreprenuership spirit) ke dalam sektor publik (Osborne dan Gaebler, 1995:13). Semangat ini menghendaki agar sistem birokrasi pemerintah mampu membuat sumber-sumber ekonomi yang berproduksi rendah menjadi sumber yang berproduksi tinggi, sehingga birokrasi publik akan bertambah kuat (empowering public sector). Mewirausahakan birokrasi sebenarnya juga merupakan perubahan cara berpikir dan bertindak dari pemerintah untuk tidak melulu menyandarkan anggaran pendapatan negara yang bersumber kepada pajak, akan tetapi dengan “jiwa wirausaha” berusaha untuk mewujudkan ke dalam kebijakan yang pada gilirannya memperkuat sektor publik (Soerjono, 1995:30). Dengan demikian diperlukan penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas.

Salah satu formula yang telah lama diajukan oleh para pakar administrasi publik guna merespon permasalahan di atas adalah melakukan desentralisasi. Sejak awal 1980-an beberapa penulis, seperti Diana Conyers, Dennis Rondinelli dan G. Shabbir Cheema, telah memelopori pembahasan desentralisasi di negara-negara berkembang. Bank Dunia juga mendorong negara-negara penerima donor untuk melaksanakan desentralisasi.

Perundang-undangan yang ada di Indonesia jelas menyatakan bahwa Indonesia juga menganut paham desentralisasi dengan membentuk daerah-daerah otonom yang berhak dan berkewajiban untuk melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri. Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, telah diberikan sifat yang tegas terhadap otonomi daerah sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut undang-undang ini dilaksanakan menurut azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Demikian pula titik berat otonomi daerah tidak lagi diletakkan pada Daerah Tingkat I melainkan dikehendaki pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan antara lain dari segi efisiensi dan efektivitas, serta mendekatkan pemerintah kepada rakyat di samping dari aspek politik yang menjamin keutuhan negara kesatuan.

Untuk maksud tersebut, otonomi daerah diberikan dalam bentuk penyerahan urusan sebagian urusan Pusat kepada pemerintah Daerah dengan pertimbangan bahwa bila urusan itu menjadi urusan rumah tangga daerah, maka akan lebih bermanfaat, lebih efektif dan lebih efisien. Sesuai dengan amanat dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1992 tentang Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, sampai saat ini telah 19 urusan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat I, sedangkan kepada Daerah Tingkat II masih bervariasi sesuai dengan kemampuan.

Pelaksanaan Otonomi di Daerah Tingkat II diharapkan akan meringankan beban tugas vertikal, karena banyak urusan yang menjadi beban tugas regional atau lokal diserahkan kepada daerah dengan parameter efisiensi dan efektivitas penanganan fungsi Pusat oleh Daerah. Sebagai realisasinya secara bertahap terlihat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, dan wujud nyata pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut, diawali dengan pencanangan Percontohan Otonomi Daerah untuk 26 Daerah Tingkat II yang memiliki sifat dan karakter hampir sama pada tanggal 25 April 1995.

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung ditetapkan sebagai salah satu dari 26 Daerah Tingkat II Percontohan tersebut dengan terlebih dahulu melalui suatu penelitian yang menggunakan tolok ukur antara lain: faktor keuangan, faktor kemampuan aparatur, faktor partisipasi masyarakat, faktor ekonomi, faktor demografi, dan faktor organisasi dan administrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Dati II Badung termasuk kelompok Mandiri 4 dengan kemampuan PAD rata-rata 50% (Putra, 1996: 3). Begitu pula, dari 19 Dati II di seluruh Indonesia yang termasuk dalam kategori Mandiri 4 hampir semuanya adalah Kotamadya Dati II. Hanya ada 2 Kabupaten Dati II yang termasuk dalam kategori Mandiri 4 ini, yaitu Kabupaten Dati II Sleman dan Badung (Maschab dkk, 1992: 193).

Disamping itu, kondisi fisik, sosial budaya dan sumber pendapatan daerah Kabupaten Dati II Badung sangat potensial bagi upaya pengembangan otonomi daerah. Kabupaten Dati II Badung terletak di bagian selatan Pulau Bali membentang di tengah-tengah. Letak ini sangat strategis ditinjau dari segi ekonomi, karena letak yang demikian akan merupakan pintu gerbang kepariwisataan Bali yang akan memungkinkan pertumbuhan perekonomian dapat berkembang dengan pesat.

Potensi yang ada tersebut harus pula diimbangi dengan penguasaan teori manajemen strategis oleh pemerintah daerah dan menerapkannya secara tepat dalam melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap manajemen strategis secara utuh tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi dan peran yang diemban pemerintah daerah sebagai strategic managers. Esensi utama yang melekat pada strategic managers adalah kemampuannya mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dalam situasi lingkungan yang berubah.

Dari uraian di atas permasalahan yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Isu-isu strategis apakah yang dapat dirumuskan dalam pelaksanakan uji coba otonomi daerah di Kabupaten Dati II Badung ? Strategi-strategi alternatif apakah yang dapat ditempuh untuk memecahkan berbagai isu strategis tersebut sebagai upaya pengembangan kinerja Pemerintah Kabupaten Dati II Badung? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu diadakan penelitian.

Beberapa pendekatan teori yang dipergunakan dalam menjelaskan permasalahan adalah sebagai berikut: Kinerja merupakan kriterion utama untuk menilai keberadaan organisasi. Konsep “kinerja” berhubungan dengan operasi yang terus menerus, berbagai aktivitas, program atau misi organisasi. Dengan begitu kinerja menunjukkan seberapa jauh tingkat kemampuan pelaksanaan tugas-tugas organisasi (Wibawa, 1992:64); atau menurut Atmosudirdjo (1997: 11) juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu (performance, how well you do a piece of work or activity).

Indikator kinerja diantaranya telah dikemukakan oleh MacDonald & Lawton, dan Selim & Woodward. Menurut MacDonald & Lawton , kinerja dapat diukur dari output oriented measures throughput, efficiency and effectiveness. Sedang menurut Selim & Woodward, kinerja diukur dari beberapa indikator antara lain workload/ demand, economy, efficiency, effectiveness, dan equity. Dari indikator yang ada ini, efektivitas merupakan indikator yang paling luas maknanya. Dalam hubungannya dengan tugas-tugas pembangunan, misalnya, dimensi efektivitas atau tingkat pencapaian tujuan memiliki makna yang sangat luas, termasuk juga didalamnya adalah indikator equity, kalau equity memang menjadi salah satu tujuan pembangunan (Keban, 1995:4).

Disamping itu, kriteria efektivitas dapat dikaitkan dengan peranan yang harus dimainkan oleh pemerintah seperti yang digambarkan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1995: 29-342) yaitu seberapa jauh pemerintah berperan dan sebagai pihak yang mengarahkan, memberi wewenang, kompetitif, digerakkan misi, berorientasi hasil, berorientasi pelanggan, berwirausaha, mengantisipasi, mendesentralisasikan, dan berorientasi pasar. Peranan-peranan tersebut menyangkut tidak hanya peranan manajemen tetapi juga kebijakan.

Dari observasi terhadap berbagai ukuran kinerja yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto (1995: 9) ditemukan data dan metodologi yang dapat dipergunakan untuk menilai kinerja organisasi publik, yaitu: produktivitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Sedangkan Wibawa (1992: 64) mengemukakan indikator-indikator kinerja, seperti: volume pelayanan, kualitas pelayanan, dan kemampuan memperoleh sumber daya bagi pelaksanaan program

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerjasama dengan Depdagri (1991, 1992) juga dinyatakan beberapa faktor yang dipergunakan untuk mengukur kinerja pemerintah Dati II dapat diklasifikasikan atas dua kelompok, yakni faktor dominan dan faktor pendukung. Faktor-faktor pokok dapat dirinci antara lain: kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan organisasi dan administrasi, tingkat partisipasi masyarakat, keadaan demografi, dan kemampuan ekonomi daerah. Sedangkan faktor-faktor pendukung terdiri dari: keadaan geografi, aspek sosial dan budaya dan pertahanan keamanan serta potensi sektor swasta. Dalam penelitian ini akan dipergunakan konsepsi kinerja yang dikemukakan terakhir dengan sedikit penyesuaian. Dengan demikian kinerja Pemerintah Daerah akan dilihat dari tingkat kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan organisasi dan administrasi, tingkat partisipasi masyarakat dan kemampuan ekonomi daerah.. Dengan demikian, kinerja pemerintah daerah menunjukkan seberapa besar tingkat kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan organisasi dan administrasi, tingkat partisipasi masyarakat, dan kemampuan ekonomi daerah di dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Sementara itu, pengertian pada manajemen strategis biasanya berkaitan dengan perumusan arah pengembangan organisasi ke masa depan, yang akan memberikan kerangka untuk manajemen operasional untuk mencapai sasaran-sasaran jangka panjang dan jangka pendek. Dengan kata lain, dapat dinyatakan manajemen strategis” forces an organization to define its philosophy, mission, role, and goals (Chandler dan Plano,1988:158). Sementara itu Sondang P. Siagian (1995:15) mendefinisikan manajemen strategis sebagai serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Menurut Lester A. Digman dalam bukunya “Strategic Management: Concepts, Decisions, Cases” (1986:4-5) dinyatakan bahwa manajemen strategis sebagai proses berkelanjutan yang melibatkan usaha-usaha untuk memadukan organisasi dengan perubahan lingkungannya dengan cara yang paling menguntungkan. Dengan begitu, manajemen strategis meliputi adaptasi organisasi dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi itu sendiri terhadap lingkungan eksternalnya.

Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa manajemen strategis berkaitan dengan perumusan arah pengembangan organisasi ke masa depan, yang akan memberikan kerangka bagi manajemen operasional dalam rangka mencapai sasaran-sasaran jangka panjang dan jangka pendek. Dalam kaitan dengan kinerja pemerintah daerah, dapat dinyatakan bahwa manajemen strategis pemerintah daerah sebagai serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh pemerintah daerah dan dimplementasikan oleh seluruh jajaran organisasi pemerintahan daerah dalam rangka pencapaian misi, visi dan tujuan pemerintahan daerah tersebut

Certo dan Peter (1990:10-14) mengemukakan tahap-tahap manajemen strategis, yaitu: 1) Analisis lingkungan (internal dan eksternal); 2) Memantapkan arah organiasi (misi dan dan sasaran); 3) Menyusun strategi organisasi; 3) Mengimplementasikan strategi organiassi; serta 5) Melakukan pengawasan strategis. Sedangkan Boseman dan Pathak (Djunaedi, 1995:21), menyatakan bahwa proses manajemen strategis yang diidentikkannya dengan proses perencanaan strategis mencakup tujuh bagian yang saling berkaitan, yaitu:1) Penilaian terhadap organisasi, dalam hal kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan (strenghs, weakness, oppurtunities, and threats atau disingkat SWOT); 2) Perumusan Misi Organisasi; 3) Perumusan falsafah dan kebijakan organisasi; 4) Penetapan sasaran-sasaran strategis; 5) Penetapan strategi organisasi; 6) Implementasi strategi organisasi; 7) Pengendalian (control) strategi organisasi.

Bryson (1988:5) selanjutnya mengusulkan suatu proses perencanaan strategis untuk organisasi nirlaba yang mencakup delapan langkah yakni: 1) Memulai dan bersepakat dalam hal proses perencanaan strategis; 2) Mengenali mandat yang diberikan kepada organisasi; 3) Menetapkan misi dan nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi; 4) Menilai kondisi lingkungan eksternal, dalam hal peluang dan tantangan; 5) Menilai kondisi lingkungan internal, dalam hal kekuatan dan kelemahan; 6) Menemu-kenali isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi; 7) Merumuskan strategis-strategi untuk mengelola isu-isu; 8) Merumuskan dan memantapkan visi organisasi ke masa depan.

Dari beberapa variasi yang terdapat dalam proses manajemen strategis yang telah diuraikan, maka untuk proses manajemen strategis pemerintah daerah dalam penelitian ini dipergunakan perpaduan dari beberapa model tersebut, dengan tetap menitikberatkan pada model terakhir yang dikemukakan oleh John M. Bryson. Tahap-tahap yang dipergunakan adalah: Pertama, penetapan misi, visi dan dan tujuan Pemerintah Daerah; Kedua, Penilaian terhadap kekuatan,kelemahan, peluang dan tantangan (SWOT) Pemerintah Daerah; Ketiga, Menetapkan isu-isu strategis dalam pelaksanaan otonomi daerah; serta Keempat, merumuskan strategi pengembangan kinerja Pemerintah Daerah. Pilihan titik berat pada model ini didasari oleh asumsi bahwa organisasi pemerintahan daerah–sebagai obyek penelitian ini dari awal pendiriannya lebih menunjukkan sosok sebagai organisasi nirlaba daripada organisasi yang berorientasi pada profit semata.

CARA PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan studi kasus dalam organisasi. Pilihan terhadap studi kasus didasari oleh pertimbangan karena studi ini biasanya dipergunakan dalam studi perilaku organisasi, khususnya dalam mengkaji kekuatan internal dan lingkungan eksternal organisasi. Kekuatan studi semacam ini menurut Cassel dan Symon, (1994: 209) terletak pada kapasitasnya menyelidiki proses sosial dalam organisasi.

Untuk mengumpulkan data penelitian diterapkan teknik-teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk menghimpun data sekunder dan informasi dari dokumen-dokumen, baik yang berasal dari instansi-istansi Daerah maupun Pusat yang ada di Dati II. Dengan menggunakan teknik ini, diharapkan akan dapat melengkapi data yang diperoleh dari teknik observasi dan wawancara.

Sebelum menganalisis dan menginterpretasikan data, untuk memenuhi kriteria derajat kepercayaan (credibility), dalam penelitian ini dipergunakan beberapa teknik pemeriksaan data yaitu: ketekunan pengamatan; triangulasi; dan kecukupan referensial. Sedangkan tahap-tahap analisis dan interpretasi datanya adalah dengan reduksi data, penyajian data, dan akhirnya mengambil kesimpulan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Misi Pemerintah Kabupaten Dati II Badung adalah Cura Dharma Raksaka. Cura berarti keberanian, berani. Dharma berarti kebenaran berdasarkan kewajiban. Raksaka berarti tanggung jawab, penjaga. Dengan demikian Cura Dharma Raksaka berarti orang yang bertanggung jawab sebagai penjaga dengan berani akan menjalani kewajibannya untuk menegakkan kebenaran. Kewajiban pemerintah adalah melindungi kebenaran rakyat.

Visi yang dimiliki antara lain: terbaik dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat Kabupaten Dati II Badung, kejar prestasi dan prestise dalam meningkatkan kesejahteraan; serta handal dan tanggap dalam penyelenggaraan rumah tangga tangga Pemerintahan Dati II Badung.

Penetapan kebijakan pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung bertujuan untuk menumbuhkan sikap dan tekad kemadirian individu dan masyarakat daerah dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin yang lebih selaras, adil dan merata serta meletakkan landasan pembangunan yang mantap untuk tahap pembangunan selanjutnya.

Kekuatan (strength) yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung adalah adanya komitmen dan motivasi kerja aparat yang tinggi; besarnya pendapatan daerah sektor pajak dan retribusi; sudah ada pembagian tugas dan pendelegasian wewenang; serta sudah adanya koordinasi dan pengawasan antar bagian atau dinas.

Kelemahan (weaknesses) yang masih ada adalah keterbatasan kualitas aparatur; minimnya hasil Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan Dinas-dinas; serta keterbatasan sarana prasarana.

Peluang (oppurtunities) yang bisa dimanfaatkan adalah penetapan Badung sebagai Daerah Percontohan Otonomi Daerah; pertumbuhan ekonomi Daerah yang makin baik; potensi sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW); keterlibatan sektor swasta dalam penanaman modal; besarnya partisipasi masyarakat desa adat dalam pembangunan; serta penduduk jumlah angkatan kerja yang cukup besar.

Sedangkan tantangan (threats) yang masih harus dihadapi adalah persebaran penduduk yang tidak merata; penyediaan lapangan kerja; serta keseimbangan pembangunan pada masing-masing wilayah kecamatan.

Dari analisis SWOT, selanjutnya dapat ditetapkan enam isu strategis yang segera harus ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung dalam pelaksanaan otonomi Daerah, yaitu: 1) sumber daya manusia, 2) kepemimpinan administrasi dan kemampuan manajerial, 3) perubahan dan pengembangan organisasi, 4) sistem informasi manajemen daerah (SIMDA), 5) sistem dan prosedur kerja, serta 6) kerjasama antar daerah dan swastanisasi.

Isu-isu strategis tersebut dipilih didasari oleh pertimbangan-pertimbangan atau kriteria yang digunakan untuk menentukan strategis tidaknya isu-isu tersebut (Tim Manajemen Strategis, MAP-UGM, tt, hal.4), yaitu: 1) Bagaimana kontribusi suatu isu terhadap pencapaian tujuan dan misi organisasi (efisiensi dan efektivitas); 2) Bagaimana keterkaitan suatu isu dengan isu-isu lain, apakah saling menunjang atau tidak (compatibility); 3) Posisinya dalam keunggulan kompetitif (competitive advantage); dan 4) Apakah dapat dilakukan perubahan secara organisatoris (organizationally implementable).

Dari enam isu strategis tersebut selanjutnya dapat diberikan pembahasan beberapa strategi alternatif untuk mengembangkan kinerja Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung yaitu:

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Dati II Badung perlu adanya peningkatan jumlah pegawai dengan pendidikan penjenjangan yang lebih tinggi. Oleh karena dari 1867 orang pegawai dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung saat ini baru 361 orang yang sudah mengikuti pendidikan penjenjangan, dengan perincian: Adum/ Sepada 221 orang, Adumla/ Sepala 107 orang, Sepama/ Sepadya 31 orang, dan Sepamen/ Sespa 2 orang.

Selanjutnya perlu juga dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada (pegawai negeri sipil) melalui: 1) diklat fungsional; 2) mengadakan alih tugas/ mutasi secara berkala sesuai dengan kebutuhan unit kerja, kemampuan dan pangkat pengawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Dati II Badung guna mengurangi rasa kejenuhan pada salah satu bidang pekerjaan; serta 3) Mengadakan pembinaan kepegawaian secara terus menerus baik menyangkut administrasi kepegawaian maupun pembinaan terhadap pegawai itu sendiri.

Peningkatan kualitas pegawai melalui pendidikan formal dapat ditempuh dengan memberikan kesempatan kepada pegawai untuk menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3). Melalui peningkatan mutu sumber daya manusia, maka profesionalisme pegawai diharapkan juga akan semakin meningkat.

Dari hasil observasi juga tampak bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia di Kabupaten Dati II Badung masih diperlukan upaya dalam rangka pembinaan lebih jauh terutama dalam hal kerjasama tim (team building) dan peningkatan motivasi berprestasi (achievement motivation).

Berdasarkan strategi pengembangan tersebut maka beberapa indikator terjadinya keberhasilan dalam pengembangan kemampuan SDM ini adalah:

Indikator proses terdiri atas:

a. Apakah sudah ada peningkatan sumber daya manusia melalui diklat penjenjangan dan diklat fungsional.

b. Apakah sudah ada peningkatan profesionalisme kerja dalam hal keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), kesejawatan (corporateness), dan etis (ethical).

c. Apakah telah terjadi perubahan dalam budaya kerja, yang menghasilkan kerjasama tim yang andal dan terpadu.

d. Apakah proses manajemen sumberdaya manusia mulai dari penentuan formasi yang didahului dengan analisis jabatan dan analisis kebutuhan pegawai, seleksi masuk, penerimaan, orientasi, pengembangan, dan pemberhentian sumberdaya manusia telah dilaksanakan secara transparan, obyektif dan efektif sesuai dengan kepentingan organisasi dan tuntutan para pegawai.

Indikator hasil meliputi:

e. Apakah para pegawai mengalami peningkatan dalam kesiapan dan ketanggapan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam melaksanakan reorganisasi, perubahan misi dan inisiatif-inisitaif sesuai dengan perkembangan pembangunan.

f. Apakah kinerja pegawai yang yang dilihat dari produktivitas dan kualitas kerja telah mengalami peningkatan dari waktu ke waktu secara signifikan.

Penerapan Pola Kepemimpinan dan Manajemen Terbuka, Kolegial dan Partisipatif

Salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk perubahan dan pengembangan kinerja adalah mengembangkan pola manajemen yang terbuka, kolegial dan partisipatif. Para pegawai bawahan umumnya memiliki kemampuan, namun sebagian dari mereka masih kurang memiliki kemauan. Ketidakmauan yang seringkali disebabkan kurangnya keyakinan dan keengganan melaksanakan tugas ini perlu diatasi dengan pendekatan motivasi. Dengan menggunakan gaya mendukung tanpa banyak pengarahan diharapkan akan bisa meningkatkan kematangan mereka. Sedangkan bagi mereka yang sudah memiliki tingkat kematangan yang tinggi, segala kemampuan dan kemauan mereka perlu dikembangkan, sehingga mereka perlu diberikan limpahan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

Strategi lain yang dapat dicoba untuk mengembangkan kinerja Pemerintah Daerah adalah pengembangan visi manajemen ke arah kualitas pelayanan yang semakin prima. Kalau kita berbicara mengenai kualitas pelayanan masyarakat, maka masalah utamanya adalah efisiensi dan profesionalisasi. Begitu pula, komitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang ada pada Pemerintah Daerah Tingkat II Badung perlu diikuti dengan tindakan yang lebih nyata dan dirasakan oleh masyarakat. Hal ini bisa dimulai dengan tindakan sederhana sehari-hari, seperti: sapaan ramah dan kesediaan membantu; menyediakan informasi yang selengkap-lengkapnya kepada masyarakat di tempat-tempat strategis mengenai prosedur pelayanan dan biaya pelayanan; menyediakan kotak saran dan kritik di tempat yang mudah diakses dan aman sehingga orang yang memberi saran dan kritik tidak merasa sungkan.

Untuk mengetahui apakah strategi yang diterapkan tersebut dapat mengenai sasaran, beberapa indikator berikut dapat dipakai untuk mengevaluasi seberapa besar perubahan dan perkembangan itu telah terwujud, yaitu:

a. Masyarakat yang berurusan menjadi lebih puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparat Pemerintah Kabupaten Dati II Badung.

b. Hubungan antara pimpinan dan bawahan menjadi lebih akrab dan dinamis.

c. Suasana kerja senantiasa disertai kompetensi, dedikasi, moral dan etik.

d. Pegawai bawahan menjadi lebih terbuka dan berani dalam mengemukakan usulan, saran, dan masukan kepada pimpinan.

e. Tangung jawab dan partisipasi pegawai bawahan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menjadi semakin baik.

Peningkatan Fleksibilitas dan Adaptabilitas Organisasi

Dalam menghadapi berbagai tantangan penyebab perubahan organisasi Pemerintah Kabupaten Dati II Badung dapat menerapkan strategi untuk menyesuaikan diri dengan jalan:

a. Mengubah struktur yaitu menambah satuan, mengurangi satuan, mengubah kedudukan satuan, menggabung beberapa satuan menjadi satuan yang lebih besar, memecah satuan besar menjadi satuan-satuan yang lebih kecil, mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi atau sebaliknya, mengubah luas sempitnya rentangan kontrol, memerinci kembali kegiatan atau tugas, menambah pejabat, mengurangi pejabat.

b. Mengubah tata kerja yang dapat meliputi tatacara, tata aliran, tatatertib, dan syarat-syarat melakukan pekerjaan.

c. Mengubah sikap, perilaku, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dari para pejabat.

d. Mengubah dan melengkapi peralatan kerja.

Untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya ketidaksetujuan terhadap perubahan, maka dalam setiap usaha perubahan harus diawali dengan rencana yang matang, pemberian informasi yang jelas kepada semua pihak yang akan terlibat dalam perubahan, menumbuhkan keyakinan bahwa perubahan yang akan dilaksanakan tidak akan menimbulkan akibat negatif baik bagi para pejabat maupun bagi organisasi. Hal ini perlu dilakukan karena tujuan setiap perubahan adalah penyempurnaan. Usaha perubahan yang menimbulkan akibat negatif harus dihindarkan karena tidak sesuai dengan ide pokok usaha perubahan yang adalah menuju kesempurnaan.

Di samping itu untuk merealisasikan terobosan-terobosan demi kepentingan organisasi, para pemimpin dan pegawai pada semua unit dan tingkatan perlu diberi pengertian dan dilibatkan secara aktif dalam perecanan perubahan struktur tersebut. Untuk itu, perlu diadakan semacam pertemuan bersama seluruh bawahan untuk membahas intensitas dari masing-masing aspek struktural tersebut dan bersama-sama mengambil keputusan tentang jalan keluar yang tepat. Beberapa hal pokok yang harus dibahas dalam pertemuan tersebut diantaranya: pendelegasian wewenang, koordinasi, rentangan kendali, standard kerja, serta pembagian kerja antar unit. Hasil pembahasan tersebut kemudian ditetapkan bersama-sama untuk diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari.

Di dalam mengevaluasi apakah sudah terjadi perubahan atau belum, maka dapat dipergunakan beberapa indikator perubahan berikut:

Indikator proses menyangkut:

a. Apakah setiap pemimpin unit sudah mendelegasikan kewenangannya kepada bawahannya demi kelancaran pekerjaan dan tercapainya tujuan unitnya.

b. Apakah sudah terselenggara pertemuan bersama antara pimpinan dengan bawahan untuk membicarakan terobosan dan penyesuaian. Dan apakah para anggota dilibatkan secara aktif dalam memberikan input bagi terobosan atau penyesuaian secara terbuka tanpa paksaan dalam pertemuan tersebut.

c. Apakah pemimpin organisasi dan unit sudah aktif dalam menstimulasikan bawahan dan menyadarkan mereka akan pentingnya melakukan penyesuaian, koordinasi dan komunikasi demi kepentingan organisasi.

d. Apakah standard kerja yang ditetapkan selama ini sudah terbaik atau belum. Dan apakah prosedur yang ditempuh tidak terlalu berbelit-belit, membingungkan, atau memberatkan.

e. Apakah pembagian kerja antar seksi yang ada telah sesuai dengan tujuan dan kebutuhan organisasi.

Indikator hasil antara lain meliputi:

f. Perubahan struktur organisasi yang dilakukan terjadi dengan tidak mendatangkan tekanan psikologis, bahkan menimbulkan semangat dan kepuasan kerja yang tinggi.

g. Perubahan tersebut telah dapat meningkatkan keterbukaan antar para anggota unit atau organisasi, dan antar anggota dengan pimpinan unit atau organisasi.

h. Perubahan tersebut telah memberikan peningkatan dalam efisiensi kerja dan efektivitas organisasi Pemerintah Daerah.

Penerapan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) secara Efektif dan Produktif

Beberapa hal penting yang dapat dijadikan acuan dalam menerapkan strategi pengembangan di dalam SIMDA adalah:

a. Penyempurnaan konfigurasi perangkat keras. Konfigurasi perangkat keras yang dapat diterapkan adalah hubungan on-line diantara banyak konfigurasi Local Area Network yang membentuk sebuah Wide Area Network melalui komunikasi data lewat jalur elektronik.

b. Format database hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pengolahan data yang efisien sehingga otorisasi pemakaian data, proses up-dating, dan pencetakan data dapat dilakukan secara cepat.

c. Proses pengolahan data secara manual harus disesuaikan dengan format pengolahan data yang terotomasi. Di dalam organisasi induk dapat dilihat bahwa proses-proses manual belum dapat diseuiakan dengan mekanisme terotomasi sehingga seringkali menjadi sumber kelambatan. Transfer data melalui prosedur external storage exchange yang selama ini menggunakan pertukaran disket misalnya, sesungguhnya dapat ditingkatkan dengan mekanisme pertukaran data on-line yang lebih efisien.

d. Perlu dibuat arah pengembangan SIMDA yang lebih jelas dan terpadu. Arah pengembangan sistem ini harus dikomunikasikan kepada semua aparat Pemda maupun aparat fungsional lain di luar Pemda. Disinilah letak pentingnya hubungan eksternal dalam mengupayakan pengembangan sistem informasi.

Sedangkan indikator yang bisa dipergunakan untuk mengecek terjadinya pengembangan SIMDA antara lain:

a. Adanya sistem database yang memungkinkan komunikasi data secara efisien. Hal ini merupakan unsur penting yang berpengaruh bagi kelancaran proses data, penetuan kebutuhan informasi, berikut verifikasinya yang bermanfaat bagi keputusan-keputusan administratif.

b. Terjaminnya kesinambungan pengembangan perangkat keras dan perangkat lunak dengan melibatkan para pengambil keputusan dalam organisasi.

c. Pada biro-biro dan bagian-bagian dan masing-masing unit di lingkungan Pemda Tingkat II Badung bisa terpelihara interaksi antar satuan yang menunjukkan efisiensi yang tinggi dan pengaruh proses interaksi ini tertuju pada kejelasan tanggung jawab dan wewenang masing-masing satuan.

Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Kerja

Sistem dan prosedur kerja harus disusun dengan memperhatikan segi-segi tujuan, fasilitas, peralatan, material, biaya dan waktu yang tersedia serta segi-segi luas, macam dan sifat dari tugas atau pekerjaan. Untuk mempersiapkan hal-hal itu dengan setepat-tepatnya maka haruslah terlebih dahulu dipersiapkan adanya penjelasan tentang tujuan pokok organisasi, skema organisasi berikut klasifikasi jabatan dan analisis jabatannya, serta unsur-unsur kegiatan di dalam oragnisasi.

Sistem dan prosedur kerja tersebut sedapat mungkin juga disesuaikan dengan ciri organisasi modern, yakni cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas (quality), biaya (cost), dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanan (delivery). Birokrasi tidak lagi berpikir tentang bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran, tetapi mulai berpikir tentang bagaimana membelanjakan anggaran yang terbatas dengan seefisien mungkin, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari hasil pembelanjaan tersebut (cost and benefit). Strategi ini akan mengubah pola pembiayaan secara lebih efisien serta memungkinkan untuk mengukur produktivitas kerja birokrasi.

Adapun intervensi yang dilakukan bisa dikatakan berhasil apabila tampak adanya indikator-indikator sebagai berikut:

a. Sistem dan prosedur kerja sudah merupakan wahana untuk mentransormasikan fungsi dan kebijakan pimpinan menjadi kegitan-kegiatan pelaksanaan.

b. Sudah dipakai prinsip dan teknik yang setepat-tepatnya dengan menggunakan simbol-simbol dan skema-skema yang sejelas-jelasnya dalam sistem dan prosedur kerja.

c. Prosedur kerja telah disusun tidak lagi berdasarkan jumlah tenaga kerja yang ada, melainkan dari bermacam-macam dan sifat pekerjaan yang nyata-nyata perlu dilakukan untuk pelaksanaan suatu bidang tugas.

d. Sistem dan prosedur kerja sudah sesuai dengan ciri organisasi modern, yakni cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas (quality), biaya (cost), dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanan (delivery).

Peningkatan Kerjasama Antar Daerah dan Sektor Swasta

Pemerintah Kabupaten Dati II Badung bisa mulai melaksanakan kerjasama dengan Pemerintah Kotamadya Dati II Denpasar, Kabupaten Dati II Gianyar atau Kabupaten Dati II Tabanan dalam perencanan bersama untuk pengembangan wilayah. Walaupun tidak semua segi dari ruang lingkup pembinaan wilayah dapat dicakup dalam kerjasama tersebut, namun harus diakui bahwa beberapa segi dan ruang lingkup dari urusan pemerintahan otonom maupun tugas pembantuan masih terbuka kemungkinannya untuk dikerjasamakan, secara langsung atau tidak langsung terkait dengan aspek-aspek pembinaan wilayah.

Sementara itu dalam rangka swastanisasi, usaha-usaha yang dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga yaitu seluruh bidang usaha, baik jasa pelayanan umum maupun komersial yang melibatkan aset daerah dan kewenangan Pemda kecuali aset yang telah dipisahkan pada BUMD, yang sebelumnya telah diatur tersendiri dalam PERMENDAGRI Nomor 4 Tahun 1990. Bidang-bidang usaha dimaksud antara lain aneka jasa dan industri, perhotelan, perkebunan, agro bisnis, konstruksi/ pembangunan, pembangunan pasar, rumah sakit, rumah potong hewan, tempat pelelangan ikan, pertokoan, super market, terminal dan perparkiran, percetakan, pengadaan barang/ material, obyek wisata, apotek, jalan, penanggulangan sampah dan lain-lain.

Untuk mengetahui keberhasilan intervensi adanya kerjasama antar daerah dan swastanisasi, terutama dalam rangka mencapai peningkatan Pendapatan Asli Daerah, maka beberapa indikator berikut dapat perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

a. Apakah sudah ada ruang lingkup, biaya, susunan personalia, tatacara dan ketentuan-ketentuan teknis bidang-bidang kerjasama antar Daerah Tingkat II.

b. Apakah ada peningkatan jiwa wirausaha (entreprenuer spirit) bagi aparat Pemerintah Daerah, khususnya bagi yang berkenaan dengan pengembangan Perekomian Daerah.

c. Apakah sudah dilakukan identifikasi dan pengembangan sumber daya daerah yang memungkinkan dikembangkan.

d. Apakah sudah dilaksanakan identifikasi calon investor terutama tentang minat, bidang dan wilayah yang diminati untuk menanamkan modalnya.

e. Apakah prosedur penanaman modal sudah bisa menumbuhkan iklim investasi bagi daerah.

f. Apakah sudah ada pembinaan, bimbingan yang berkesinambungan dari Pemerintah Propinsi Dati I Bali kepada Pemerintah Kabupaten Dati II Badung dalam rangka mensukseskan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan calon investor.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.1. Dari hasil analisis SWOT dapat diketahui potensi yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung adalah sebagai berikut:

a. Kekuatan (strength) yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung adalah adanya komitmen dan motivasi kerja aparat yang tinggi; besarnya pendapatan daerah sektor pajak dan retribusi; sudah ada pembagian tugas dan pendelegasian wewenang; serta sudah adanya koordinasi dan pengawasan antar bagian atau dinas.

b. Kelemahan (weaknesses) yang masih ada adalah keterbatasan kualitas aparatur; minimnya hasil Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan Dinas-dinas; serta keterbatasan sarana prasarana.

c. Peluang (oppurtunities) yang bisa dimanfaatkan adalah penetapan Badung sebagai Daerah Percontohan Otonomi Daerah; pertumbuhan ekonomi Daerah yang makin baik; potensi sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW); keterlibatan sektor swasta dalam penanaman modal; besarnya partisipasi masyarakat desa adat dalam pembangunan; serta penduduk jumlah angkatan kerja yang cukup besar.

d. Tantangan (threats) yang masih harus dihadapi adalah persebaran penduduk yang tidak merata; penyediaan lapangan kerja; serta keseimbangan pembangunan pada masing-masing wilayah kecamatan.

1.2. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis SWOT tersebut, maka dapat ditetapkan enam isu strategis yang segera harus ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Badung dalam pelaksanaan otonomi Daerah, yaitu: 1) sumber daya manusia, 2) kepemimpinan administrasi dan kemampuan manajerial, 3) perubahan dan pengembangan organisasi, 4) sistem informasi manajemen daerah (SIMDA), 5) sistem dan prosedur kerja, serta 6) kerjasama antar daerah dan swastanisasi.

1.3. Dari enam isu strategis tersebut beberapa strategi alternatif yang bisa dicoba untuk mengembangkan kinerja Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung yaitu: 1) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia; 2) Menerapkan Pola Kepemimpinan dan Manajemen yang Terbuka, Kolegial dan Partisipatif; 3) Peningkatan Fleksibilitas dan Adaptabilitas Organisasi; 4) Penerapan SIMDA secara Efektif dan Produktif; 5) Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Kerja; serta 6) Peningkatan Kerjasama Antar Daerah dan Sektor Swasta.

1.4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada dapat dilakukan melalui: 1) diklat fungsional; 2) mengadakan alih tugas/ mutasi secara berkala sesuai dengan kebutuhan unit kerja, kemampuan dan pangkat pengawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Dati II Badung guna mengurangi rasa kejenuhan pada salah satu bidang pekerjaan; serta 3) Mengadakan pembinaan kepegawaian secara terus menerus baik menyangkut administrasi kepegawaian maupun pembinaan terhadap pegawai itu sendiri.

1.5. Penerapan pola kepemimpinan dan manajemen yang terbuka, kolegial dan partisipatif bertujuan ke arah pengembangan visi manajemen pemerintah ke arah kualitas pelayanan yang semakin prima.

1.6. Peningkatan fleksibilitas dan adaptabilitas organisasi dalam menghadapi perubahan dapat dilakukan dengan: memperbarui struktur; menyesuaikan tata kerja; memperbaiki sikap dan pengetahuan pegawai, serta melengkapi peralatan kerja. Di samping itu untuk merealisasikan terobosan-terobosan demi kepentingan organisasi, para pemimpin dan pegawai pada semua unit dan tingkatan perlu diberi pengertian dan dilibatkan secara aktif dalam perecanan perubahan struktur tersebut.

1.7. Penerapan SIMDA secara efektif dan produktif dapat diawali dengan penyempurnaan konfigurasi perangkat keras; format database hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pengolahan data yang efisien sehingga otorisasi pemakaian data, proses up-dating, dan pencetakan data dapat dilakukan secara cepat; proses pengolahan data secara manual harus disesuaikan dengan format pengolahan data yang terotomasi; serta perlu dibuat arah pengembangan SIMDA yang lebih jelas dan terpadu.

1.8. Penyederhanaan sistem dan prosedur kerja adalah dengan menyusun sistem dan prosedur tersebut berdasarkan segi-segi tujuan, fasilitas, peralatan, material, biaya dan waktu yang tersedia serta segi-segi yang lebih luas, macam dan sifat dari tugas atau pekerjaan. Dalam pembuatan prosedur kerja harus ditetapkan pula tentang skill atau kecakapan dan ketrampilan tenaga kerja yang diperlukan untuk penyelesaian bidang tugas yang dimaksud. Sistem dan prosedur kerja itu juga harus disusun sedemikian rupa sehingga memiliki stabilitas dan fleksibilitas serta sedapat mungkin juga disesuaikan dengan ciri organisasi modern, yakni cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas (quality), biaya (cost), dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanan (delivery).

1.9. Peningkatan kerjasama antar daerah dan sektor swasta yakni dengan melaksanakan kerjasama dengan Dati II lainnya, seperti dalam perencanan bersama untuk pengembangan wilayah. Beberapa segi dan ruang lingkup dari urusan pemerintahan otonom maupun tugas pembantuan masih terbuka kemungkinannya untuk dikerjasamakan, secara langsung atau tidak langsung terkait dengan aspek-aspek pembinaan wilayah. Sementara itu dalam rangka swastanisasi, usaha-usaha yang dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga antara lain aneka jasa dan industri, perhotelan, perkebunan, agro bisnis, konstruksi/ pembangunan, pembangunan pasar, rumah sakit, pertokoan, super market, terminal dan perparkiran, percetakan, pengadaan barang/ material, obyek wisata, apotek, jalan, penanggulangan sampah dan lain-lain.

Saran-saran

Dari beberapa kesimpulan hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah Tingkat II Badung antara lain:

2.1. Perlu dilakukan pembinaan secara terus-menerus baik oleh tim otonomi daerah maupun departemen teknis yang bersangkutan agar urusan yang diserahkan sesuai dengan arah dan kebijakan masing-masing sektor.

2.2. Kebijakan pemerintah yang mendukung kerjasama Pemda dengan pihak ketiga perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan terus dalam upaya meningkatkan kemampuan Keuangan Daerah dan mengurangi beban APBD.

2.3. Program pengembangan sumber daya manusia perlu dibarengi dengan reorientasi organisasi publik dari “birokratisasi” ke “profesionalisasi” sehingga keleluasaan untuk melakukan perbaikan sesuai profesi dapat membawa hasil seperti yang diinginkan.

2.4. Untuk antisipasi terhadap peningkatan efisiensi di bidang fiskal, maka program pemerintah yang berkaitan dengan pungutan daerah (RUU-PDRD) dapat lebih dipercepat pemberlakuannya untuk menyederhanakan segala jenis pajak daerah dan retribusi daerah.

2.5. Dalam menyongsong era pasar bebas, aparatur Pemerintah Kabupaten Dati II Badung yang terlibat dalam pemberian jasa pelayanan harus mempunyai semangat dan visi kewirausahaan yang dibangun melalui pembenahan SDM, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku, Makalah dan Artikel

Alit Putra, I Gusti Bagus. 1996. “Prospek dan Kendala Penyelenggaraan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II Badung”, Makalah Seminar Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Unwar, Denpasar, 9 Maret.

Atmosudirdjo, Prajudi, 1997. “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja Aparatur Daerah, Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, dalam Manajemen Pembangunan No. 19 Tahun V April.

Bryson, John M. 1988. Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations, Jossey Bass Publisher, San Fransisco.

Cassell, Chaterine dan Symon, Gillian (ed). 1994. Qualitative Methods in Organizational Research: A Practical Guide, Sage Publications, London.

Certo, Samuel C., Peter, J. Paul.1990. Strategic Management: A Focus on Process, McGraw Hill International Editions, Singapore.

Cheema, Shabir G., dan Rondinelli, Dennis A.1988. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hill, USA.

Digman, Lester A.1986. Strategic Management: Concepts, Decisions, Cases, Business Publications, Inc., Plano Texas.

Djunaedi, Achmad. 1995. “Perencanaan Stratejik untuk Perkotaan: Belajar dari Pengalaman Negara Lain”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 19 Tahun VI Juni.

Dwiyanto, Agus. 1995. “Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik”, Makalah Seminar Jur. Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta 20 Mei.

Hasibuan, Albert (ed). 1995. Otonomi Daerah, Peluang dan Tantangan, Sinar Harapan, Jakarta.

Keban, Yeremias T. 1995. “Indikator Kinerja Pemda: Pendekatan Manajemen dan Kebijakan”, Makalah Seminar Jur. Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, 20 Mei.

Kumorotomo, Wahyudi dan Agus Margono, Subando. 1996. Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi-organisasi Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Maskun, H. Sumitro. 1995. “Implementasi Kebijaksanaan Otonomi dalam Menunjang Pembangunan Daerah Melalui Kemitraan Usaha”, Manajemen Pembangunan No. 11/III.

Nirwandar, Sapta. 1995. “Model Percontohan Sebagai Babak Baru Pemantapan Otonomi Daerah”, dalam Manajemen Pembangunan No. 11/III.

Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1995. Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Pamudji, S. 1985. Kerjasama Antar Daerah Dalam Rangka Pembinaan Wilayah: Suatu Tinjauan dari Segi Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta.

Prayudi. 1995. “Prioritas Kebijakan Otonomi Daerah di Dati II dan Permasalahannya”, dalam Manajemen Pembangunan No. 11/III.

Siagian, Sondang P. 1995. Manajemen Stratejik, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Soedjadi, F.X.1990. Organization and Methods: Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen, CV Haji Masagung, Jakarta.

Soerjono. 1995. “Memperkuat dan Meningkatkan Wibawa Sektor Publik”, dalam Manajemen Pembangunan No. 11/III.

Usman, Marzuki. 1997. “Membangun Visi Kewirausahaan Aparatur Pemerintah di Daerah, Menyongsong Era Perdagangan Bebas”, dalam Manajemen Pembangunan No. 19 Tahun V April.

Wibawa, Samodra. 1992. Beberapa Konsep untuk Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Wijaya, H.A.W.1997. “Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Manajemen Pembangunan No. 18 Tahun V.

1992. Seminar on Decentralization in African Countries, United Nations Dept. of Economic and Social Development, Banjul 23-31 July.

2. Laporan Penelitian dan Dokumen

Maschab, Mashuri; Pratikno; Thoha, Miftah; Amal, Ichlasul; Riwukaho, Josef; Utomo, Warsito; Syamsi, Ibnu.1992. Kemampuan Aparatur Daerah Tingkat II dalam Melaksanakan Otonomi Yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Kerjasama Fisipol UGM-Depdagri, Yogyakarta.

Tim Manajemen Strategis MAP-UGM. tt. Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Manajemen Strategis di Cabang Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur, Kerjasama MAP-UGM dengan Dispenda Propinsi Dati I Jawa Timur.

Thoha, Miftah, 1991. Pengkajian Pelaksanaan Otonomi Daerah Tingkat II, Laporan Penelitian Kerjasama Fisipol UGM dan Bappeda Propinsi DIY, Yogyakarta.

1994. Data Mini Kabupaten Dati II Badung Tahun 1994, Bappeda Tingkat II Badung.

Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Daerah Kabupaten Dati II Badung (1994/1995-1998/1999), Buku I, II, III,IV, Bappeda Tingkat II Badung.

Badung dalam Angka 1994, Bappeda Tingkat II Badung dan Kantor Statistik BPS Kabupaten Badung.

Badung: Potensi dan Prestasi, Pemerintah Daerah Tingkat II Badung, 1995.

3. Majalah/ Jurnal/ Surat Kabar

Manajemen Pembangunan No. 10, 11 Tahun III, 1995; No. 18, 19 Tahun V

1997.

Prisma No. 4 Tahun XXIV April 1995

International Journal of Public Administration Volume 15 Number 9/1992

Jurnal Ilmu Politik Nomor 10, 1990

Bali Post, 5, 8, 10, 21, 26 April; 4, 8 Mei 1995; 13, 15 Juni 1995; 4

November 1995; 13 Maret 1997; 20 April 1997.

Jawa Post, 14 Mei 1996

Suara Pembaruan, 12 Mei 1996

4. Produk Hukum/ Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah RI No. 45 TH. 1992.

Keputusan Mendagri No. 105 Th. 1994.

Permendagri No. 8 Th. 1995.

Instruksi Mendagri No. 5 Th. 1995.

Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Badung Nomor 5 Tahun 1994.

Read Full Post »