Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Maladministrasi’ Category

Korupsi Makin Jamak

Oleh Wayan Gede Suacana

Tanggal 9 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Antikorupsi. Peringatan ini penting di tengah berbagai kasus korupsi yang kian marak di negeri ini. Sudah 59 tahun (1954-2013) gerakan antikorupsi dilakukan di Indonesia, tetapi belum kelihatan nyata hasilnya. Justeru sebaliknya, korupsi menjadi semakin jamak dan marak sehingga hampir tiada hari tanpa (berita) korupsi.

Sumber data Lembaga Transparency Internasional Indonesia (TII), Rabu 10 Juli 2013 menempatkan Indonesia berada di empat negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi. Berdasarkan indeks persepsi korupsi (IPK) yang dilansirnya Indonesia berada di angka 32. Indeks persepsi korupsi ini merupakan indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi dari negara-negara. Dalam survei yang dilakukan TII, Indonesia menempati urutan 118 dalam urutan negara terkorup, dan Indonesia berada di bawah Thailand (urutan 88) dan Filipina (urutan 108). Sedangkan tiga negara dibawah Indonesia antara lain Vietnam, Laos dan Myanmar. Survei yang dilakukan Political Economic Risk Consultancy (PERC) juga  mencatat Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia. Penanganan perkara korupsi melalui KPK dan Kejagung per tahun mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara. Jumlah ini menduduki peringkat kedua di dunia setelah China yang mencapai 4.500 perkara.

Bentuk dan modus korupsi yang terjadi sangat beragam, menggurita dan menggerorogoti hampir semua lembaga negara tanpa kecuali. Mulai dari penyelewengan jabatan secara halus hingga pola-pola yang sangat transparan dan kasat mata. Bahkan, dalam beberapa  kasus menunjukkan  korupsi ternyata tidak hanya melanda daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga, daerah-daerah yang relatif miskin sumber daya alam. Singkatnya, sebab musabab terjadinya kasus korupsi tidak pernah ada penjelasan tunggal.

Korupsi merupakan akumulasi berbagai kondisi yang didalamnya, meminjam istilah Jeremy Pope, “bertemunya antara keinginan dan kesempatan secara bersama-sama”.  Pemupukan keinginan untuk korupsi hadir, ketika proses pemilihan kepala daerah, tidak mampu keluar dari tradisi politik uang dalam berbagai variasinya. Kesempatan terciptakan, akibat lemahnya kontrol DPRD yang tidak memerankan fungsi pengawasan terhadap eksektuif, tetapi cenderung mempraktikkan “simbiose-mutualistik” dengan eksekutif.  Lembaga-lembaga keagamaan yang menjadi tumpuan kesadaran kritis dan agen moralitas, cenderung  memilih hubungan positif dengan pemerintah daripada bergabung dengan kelompok masyarakat sipil.

Disamping itu, bangunan infrastruktur hukum masih pasif dalam penjaga keadilan dan belum menempatkan diri sebagai penegak keadilan yang sebenarnya. Bahkan dalam beberapa kasus, masih terjebak pada penyakit konvensional dalam “memperjual-belikan” perkara. Kondisi birokrasi juga masih  belum beranjak sebagai “pangreh praja” sehingga prinsip-prinsip clean government dan good governance masih sebatas retorika politik. Hingga kini belum ada tanda-tanda berkurangnya penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hampir semua APBD yang ada adalah semangat kepentingan pribadi dan partai politik yang mendominasi kehendak menyejahterakan masyarakat.

Gerakan antikorupsi bukannya tidak ada, tetapi masih jauh dari harapan. Sejak tahun 1955, Menteri Keuangan Dr. Sumitro ketika bertemu dengan Dewan Pengawasan Keuangan meminta agar dewan itu melakukan penyelidikan di berbagai kementerian, jawatan mengenai ‘geldelijk beheer’ dan pelanggaran hukum yang mungkin terjadi. Menteri Keuangan juga memerintahkan kepada Jawatan Akuntan Negeri untuk mengerahkan seluruh tenaga guna melakukan pemeriksanaan-pemeriksaan (Harian Mestika, 19 Agustus 1955). Setelah itu gerakan antikorupsi terus berlanjut dengan keluarnya berbagai bentuk kebijakan pemerintah, seperti: Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957; UU 24 prp/ 1960; Tim Pemberantasan Korupsi (1967); UU 3/1971; Operasi Tertib (1977); Tap MPR No. XI/MPR/1998; UU 28 dan 31/1999; KPKPN (1999); TGPTPK (1999); UU 20 /2001; KPK–UU 30/ 2002; dan Timtas Tipikor (2004).

Korupsi merupakan penyakit endemik yang terus tumbuh dan berkembang  seiring lemahnya integritas publik. Beberapa abad silam pakar gerakan  reformasi di China, Wang An Shih menyatakan korupsi muncul karena kekuasaan bermoral rendah dan hukum yang lemah. Akar persoalannya terletak pada simton kegagalan akuntabilitas dalam kinerja lembaga pemerintahan.

Oleh karena penyebab, peluang dan modus korupsi dari masa ke masa juga selalu berkembang, maka untuk mengatasinya perlu dilakukan tiga pendekatan. Pertama, sistemik dengan membenahi dan memberdayakan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, termasuk perguruan tinggi sebagai penghasil SDM. Kedua, abolisionistik dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan memberdayakan penegakkan hukum. Ketiga,  moralistik dengan memperkuat benteng etika, moral birokrat dan politisi dengan cara mengurangi monopoli, membatasi dan mengklarifikasi segala kewenangan serta menerapkan transparansi.

Artikel dimuat pada Majalah Bali Post No. 14 2-8 Desember 2013

Penulis, Ketua Pusat Kajian Integritas dan Antikorupsi Univ. Warmadewa

Read Full Post »

TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH

DAN PROFESIONALISME BIROKRASI[1]

Wayan Gede Suacana[2]

Every public administrator must keep his ears open to hear the voices of the people as they express                         theire changing needs.

Of course he will recognize that the people will demand of their legislative representative                                                      more services and lower costs

(Major Zeidler)

Setahun sudah kepemimpinan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernurnya AA Gede Ngurah Puspayoga yang mengusung program Bali Mandara (Bali yang Maju, Aman, Damai dan Sejahtera). Rakyat  Bali menaruh harapan yang sangat besar pada duet pemimpin ini yang untuk kali pertama dipilih melalui sistem pemilihan secara langsung ini. Dalam misi bidang pemerintahannya, kebijakan pembangunan diarahkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas, serta mampu memberikan pelayanan prima, sejalan dengan prinsip clean government dan good governance (RPJMD Provinsi Bali 2008-2013).

Untuk menjalankan kebijakan tersebut, birokrasi harus dibuat lebih profesional. Dengan profesionalisme mereka akan bisa percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Apabila diikuti pemikiran Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pengejawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka keberpihakan pada kepentingan rakyat mengacu pada yang terakhir. Kebebasan, keterbukaan dan kesamaan merupakan penjabaran pengertian pertama. Sedangkan profesionalisme yang meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas adalah refleksi pengertian yang kedua.

Aspek akuntabilitas mengisyaratkan supaya pelayanan publik lebih mengutamakan transparansi dan  kesamaan akses setiap warganegara. Setiap warganegara berhak mendapatkan kesamaan akses dalam pelayanan publik yang mereka

butuhkan. Proses dan harga pelayanan publik juga harus transparan , dan didukung oleh kepastian prosedur serta waktu pelayanan. Akuntabilitas birokrasi mengharuskan agar setiap tindakan yang dilakukan mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang menjadi sumber mandat dan otoritas yang dimiliki, yakni rakyat.

Oleh karenanya, aparatur pemerintah harus mempunyai responsibilitas (rasa tanggung jawab internal) terhadap segala yang dilakukannya. Moral dan etika publik dipakai landasan setiap perilaku, berupaya mempertajam kepekaan sosial serta meningkatkan responsivitas (daya tanggap) terhadap aspirasi, kebutuhan dan tuntutan rakyat. Aspek responsivitas menghendaki agar pelayanan publik bisa memenuhi kepentingan masyarakat. Agar birokrasi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat,  Osborne dan Plastrik (1997) mengenalkan ide Citizen’s Charter (kontrak pelayanan, contoh Akte Kelahiran di Pemerintah DIY), yakni adanya standar pelayanan publik yang ditetapkan berdasarkan masukan para stakeholders, termasuk pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya Dengan begitu, tugas aparatur pemerintah sejatinya adalah membawa mandat ke arah pelayanan segala kepentingan rakyat.

Citizen’s Charter

Akta Kelahiran

Di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

  • Penyelesaian dan penerbitan akta kelahiran adalah 3 hari kerja, terhitung sejak diterimanya berkas persyaratan.
  • Biaya pelayanan akta kelahiran adalah Rp 10.000,- bagi WNI dan Rp 30.000,- bagi WNA.
  • Standar sapaan petugas kepada pengguna layanan adalah sebagai berikut: “Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, apa yang dapat kami bantu ?”
  • Standar respons petugas pelayanan dalam menerima telpon dari pengguna layanan adalah, “Selamat pagi/siang, apa yang dapat kami bantu ?”
  • Pengguna layanan dapat mengajukan keluhan, keberatan, atau protes apabila pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • Pengguna layanan akan mendapat jawaban resmi atas keluhan yang diajukan tersebut paling lambat dalam waktu 2 hari terhitung sejak keluhan diterima  oleh petugas.
  • Setiap kesalahan atau cacat pada produk pelayanan akta kelahiran yang diakibatkan karena kesalahan teknis dari pihak penyedia layanan, maka penyedia layanan akan memperbaruhi produk tsb. tanpa memungut biaya lagi.

Brosur dari Pemerintah Kota Yogyakarta bekerjasama dengan PSKK UGM dan The Ford Foundation, 2003.

Orientasi birokrasi hendaknya diarahkan kembali kepada komitmen untuk  menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau (ekonomis) serta hemat tenaga. Kinerja apatur pemerintah diarahkan untuk mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. Semua unsur pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus organisasi secara efektif dan efisien. Unsur pokok itu sedikitnya mencakup perlakuan yang sama terhadap semua orang (impersonal), pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman, larangan penyalahgunaan jabatan, standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang rapi, serta pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi yang mengikat bagi semua anggotanya.

  • Masalah Birokrasi

Walaupun sudah ada banyak perubahan, tetapi kenyataan masih menunjukan bahwa kinerja birokrasi daerah masih belum optimal. Birokrasi di daerah masih memiliki beberapa kelemahan. Sorotan terhadap kinerja aparatur pemerintah daerah hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari “puncak gunung es” persoalan birokrasi pemerintah daerah yang sesungguhnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, belom optimalnya kinerja aparatur pemerintah daerah yang menjadikan kondisi birokrasi tidak efisien umumnya terletak pada struktur, sistem, prosedur dan perilaku para birokrat yang bersumber pada beberapa masalah pokok.

Pertama, masih ada kesenjangan antara gubernur selaku pemimpin politik dengan ketersediaan formasi birokrasi peninggalan pejabat sebelumnya. Ide dan program-program gubernur tampaknya belum sepenuhnya bisa diterjemahkan  dengan baik di tataran praktis.

Kedua, persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, yang mengakibatkan bentuk patologi dan maladministrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, dan nepotisme.

Ketiga, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.

Kelima; mental melayani belum tumbuh pada sebagian besar aparat. Mereka umumnya masih lebih suka dilayani daripada melayani masyarakat sehingga seringkali yang lebih dipikirkan terlebih dahulu adalah hasil yang akan diperoleh, bukan melaksanakan terlebih dahulu pekerjaannya atau menunjukkan kinerja terlebih dahulu.

Keenam, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ‘penggemukan’ pembiayaan, korupsi dan sebagainya. Hal ini karena birokrasi jauh dari masyarakat dan cenderung menghindari kontrol masyarakat dan legislatif.

Ketujuh, manifestasi prilaku birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, meninggalkan kantor pada saat jam kerja dan berlaku diskriminatif.

Kedelapan, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, sistem kontrol internal birokrasi yang sangat berlebihan dan sistem pilih kasih (spoils system) terutama dalam formasi dan mutasi pegawai yang dalam beberapa kasus mulai melibatkan tim sukses pejabat terpilih.

Kesembilan; aparatur pemerintah kurang kreatif dan masih sangat lemah dalam berinovasi. Mereka masih sangat bergantung pada adanya petunjuk teknis (Juknis) atau petunjuk pelaksanaan (Juklak) sehingga bersifat serba rutin, dengan sedikit diskresi dan inovasi.

Serangkaian permasalahan birokrasi tersebut muncul tidak terlepas dari kelanjutan model dan strategi  pembangunan peninggalan Orde Baru yang lebih bercorak birokratik dan teknokratik. Aparat birokrasi kebanyakan bertumpu pada keahlian untuk mengimplementasikan program-program pragmatis dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Untuk menjalankan model seperti itu, pemerintah pusat dan daerah lalu menerapkan kebijakan birokratisasi sebagai bagian integral dari paket modernisasi. Perencana pembangunan yang terdiri atas para teknokrat membuat “blue print” pembangunan melalui Bappenas. Para pelaksana pembangunan, yaitu birokrasi di tingkat pusat hingga tingkat daerah adalah penganut setia diktum Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer yang menyatakan modernisasi niscaya membutuhkan birokrasi sebagai salah satu mesin penggeraknya.

  • Peluang Governance

Adanya berbagai masalah birokrasi tidak menutup peluang bagi upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).  Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Disamping itu juga terpenuhi tiga hal yang hingga saat ini sangat didambakan oleh masyarakat luas yaitu:

Pertama, pelayanan civil service secara berlanjut demi kelancaran administrasi pemerintah dan harus terbebas dari pengaruh politik (adanya pergantian pemerintahan hasil pilkada langsung), PNS harus independen dan hanya loyal kepada kepentingan negara.

Kedua, perlindungan, melalui perwujudan dan supremasi hukum (kepastian dan penegakan hukum), sehingga masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara.

Ketiga, memberdayakan masyarakat. Pemerintah secara langsung mendorong (memfasilitasi) masyarakat dalam berbagai kegiatan demi kepentingan masyarakat dengan pemberian pelayanan dan perlindungan serta jaminan hukum yang konsisten dan tegas.

Guna menjamin terwujudnya hal itu maka perlu dilakukan “check and balance” dari masing-masing fungsi kelembagaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Masing-masing lembaga harus memiliki fungsi yang jelas dan lebih independen, seluruh proses harus dilaksanakan secara “transparan” untuk diketahui publik guna kepentingan pengawasan melalui social control.

Peluang terbuka ke arah perwujudan governance terjadi apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme dalam sistem administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair harus dilakukan agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya praktek KKN dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.

Disamping itu juga diharapkan birokrasi lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berpihak pada kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara profesional, proporsional dan efisien.

·        Birokrasi Profesional

Dengan adanya peluang untuk mewujudkan governance juga terbuka kemungkinan menjadikan birokrasi lebih profesional, antara lain dengan:

Pertama, mengembalikan peran birokrasi dari “mengendalikan” menjadi “mengarahkan” dan dari “memberi” menjadi “memberdayakan” Dengan demikian birokrasi yang kerap minta dilayani bisa berubah menjadi “alat pemerintah” yang bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat. Moto aparatur pemerintah sebagai abdi dan pelayan masyarakat semestinya dihayati dan dilaksanakan secara konsisten dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Untuk bisa menjalankan tugas dan fungsi pelayanan dengan baik perlu dilakukan analisis beban kerja pada masing-masing dinas, bagian, biro dan seterusnya.
Kedua, menjaga netralitas birokrasi terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat. Pengalaman masa lalu telah menunjukkan ketika birokrasi dikooptasi oleh satu kekuatan politik tertentu ia cenderung akan menjadi tidak adil dan diskriminatif.
Ketiga, mengubah sistem rekruitmen pegawai yang sebelumnya didasarkan pada “patronage system”, “spoil system” dan “nepotism” , dengan “merit system” atau “carier system”  sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam birokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir sudah ada kecenderungan perbaikan dalam sistem ini. Banyak pelamar dari kalangan masyarakat “biasa” yang bisa lulus tes penerimaan CPNS tanpa harus mengeluarkan biaya sogok untuk para calo. Sistem dan alat tes bisa terus diperbaiki untuk lebih menjamin objektivitas.

Keempat, pemberdayaan dan pelibatan eleman masyarakat untuk meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai “social control” terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Berbagai organisasi/ lembaga seperti LSM, badan pemerintahan  atau sebuah konsorsium independen (terdiri dari pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan media) hendaknya tetap berkesempatan menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan birokrat yang tercela. Mereka bisa  berperan sebagai pengelola dan pendorong proses Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Rapor Warga. CRC adalah alat praktik terbaik secara internasional guna meningkatkan pemberian layanan publik. Pelaksanaan CRC memberikan harapan untuk bisa lebih meningkatkan kinerja layanan publik, baik  aspek responsivitas,  akuntabilitas, dan efisiensi. Dengan CRC dapat diketahui dan dibandingkan kemampuan aparat birokrasi pada masing-masing instansi untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga dalam memberikan layanan dengan mempertimbangkan kesamaan akses semua warga secara transparan, ada kepastian, lebih cepat, lebih murah, serta hemat tenaga.

Kelima,  birokrasi dibuat lebih profesional. Birokrat yang profesional mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan pikiran, mental dan hati yang jernih. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya keseimbangan antara kecerdasan intelek, emosi dan spiritual aparatur pemerintah sehingga membutuhkan tidak hanya pendidikan dan pelatihan, tetapi juga “siraman” penyejuk dan pengembang moralitas.

Keenam, untuk meningkatkan efektivitas layanan birokrasi perlu ditinjau kembali penerapan lima hari kerja. Birokrasi yang selalu membawa mandat publik ke arah pelayanan segala kepentingan rakyat tampaknya tidak efektif lagi melakukan pelayanan pada sore hari. Dengan semangat desentralisasi asimetris, hal ini masih memungkinkan untuk diusulkan, mengingat kondisi budaya Bali yang tidak sama dengan budaya metropolitan yang memanfaatkan liburan Sabtu dan Minggu untuk pergi ke luar kota.

Pada akhirnya segala upaya tersebut adalah juga untuk merealisasikan salah satu ajaran Bhisma kepada para Pandawa dalam Bharata Yudha: charitum shakyum samyagrajayadhi loukikam. Hanya orang berkarakter teguh dan bijaksana dapat memimpin pemerintahan secara baik dan bersih.


[1] Disampaikan dalam Acara Dialog Publik Setahun BALI MANDARA, Forum Relawan Bali Mandara, Denpasar, 4 September 2009.

[2] Dosen  Fisipol Universitas Warmadewa.

Read Full Post »

 PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI PERGURUAN TINGGI

Oleh Wayan Gede Suacana

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) tentang Kerja Sama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ruang lingkup kerja sama ini meliputi Pendidikan Anti Korupsi (PAK), penelitian dan pengembangan, pertukaran data dan informasi, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), pengaduan masyarakat dan pengawasan serta penertiban barang milik negara.

Saat ini ada sekitar 45 juta orang Indonesia yang sedang menjalani pendidikan, sehingga upaya pengembangan PAK di perguruan tinggi merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penerapan kebijakan baru ini diharapkan akan bisa menjawab persoalan korupsi yang kian marak dan  mulai merambah wilayah kampus.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyebutkan ada enam belas perguruan tinggi negeri yang terlibat dalam proyek pengadaan sarana dan prasarana terkait dengan kasus korupsi Angelina Sondakh. Anggaran pengadaan sarana dan prasarana di 16 universitas negeri tersebut  total bernilai Rp 600 miliar. Menurut data KPK, ke-16 perguruan tinggi negeri yang anggarannya dibagi di antara anggota DPR adalah Universitas Sumatera Utara sebesar Rp 30 miliar, Universitas Brawijaya sebesar Rp 30 miliar, Universitas Udayana sebesar Rp 30 miliar, Universitas Jambi sebesar Rp 30 miliar, Universitas Negeri Jakarta sebesar Rp 45 miliar, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, Universitas Jenderal Soedirman sebesar Rp 30 miliar, Universitas Sriwijaya sebesar Rp 75 miliar, Universitas Tadulako sebesar 30 miliar, Universitas Haluoleo sebesar Rp 40 miliar, Universitas Nusa Cendana sebesar Rp 20 miliar, Universitas Pattimura sebesar 35 miliar, Universitas Papua sebesar 30 miliar, Universitas Negeri Sebelas Maret sebesar Rp 40 miliar, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sebesar Rp 50 miliar, dan Institut Pertanian Bogor sebesar 40 miliar (Kompas.com, Rabu, 20 Juni 2012).

Praktik korupsi di kalangan kampus ini pasti membuat kita khawatir dan bertanya-tanya,  apa yang terjadi dengan perguruan tinggi kita.  Padahal kampus adalah harapan bagi lahirnya sumber daya manusia unggul dan generasi-generasi bersih bangsa ini.

  • Kebutuhan PAK

Kondisi ini menjadikan tugas pokok  dan fungsi perguruan tinggi sebagai institusi pengembang  integritas dan  karakter semakin jauh dari harapan. Apalagi berkembang kecenderungan beberapa orang kampus mulai gemar melakukan lobi-lobi kepada menteri agar bisa menjadi atau menjabat kembali sebagai rektor, hingga pejabat rektor yang melakukan pendekatan agar bisa menjadi semacam satuan kerja di Kemendikbud.

Pentingnya peran perguruan tinggi sebagai penjaga dan pengembang integritas bangsa, bukan saja sebagai bagian dari gerakan antikorupsi. Pada saat yang sama institusi pendidikan ini bisa menjadi tonggak bagi  pembangunan akuntabilitas dan transparansi. Perguruan tinggi bisa menjadi motor penggerak integritas karena mampu berperan penting memberhentikan “supply” koruptor di negeri ini.

Memerangi korupsi melalui pendayagunaan jalur pendidikan formal sebagai suatu bagian menangani korupsi merupakan salah satu strategi yang diharapkan cukup signifikan, mengingat masyarakat terdidik inilah yang perannya dimasyarakat cukup dominan. Mereka tidak cukup hanya dibekali pengetahuan dan kemampuan bagaimana melakukan sesuatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana menggunakan ilmu dan cara-cara tersebut dengan benar, tanpa harus melakukan korupsi, bahkan termasuk kiat-kiat untuk melawan korupsi, dorongan atau motivasi untuk aktif berperan dalam upaya memerangi atau memberantas korupsi (Tim LP3 UMY, 2004: 212).

Sebagai wujud komitmen bagi upaya pencegahan korupsi, Ditjen Dikti dan KPK telah membuat buku ajar PAK. Buku  ini berisi delapan bab materi pokok yang dapat di­sesuaikan dengan kondisi dan situasi  prog­ram studi di perguruan tinggi masing-ma­sing, yaitu: (1) pengertian ko­rupsi, (2) faktor penyebab ko­rupsi, (3) dampak masif korupsi, (4) nilai dan prinsip anti-ko­rup­si, (5) upaya pem­be­ran­tasan ko­rupsi di Indonesia, (6) ge­ra­kan, kerjasama dan in­stru­­men in­­ternasional pen­ce­ga­­han ko­rupsi, (7) tindak pidana korupsi da­lam peraturan pe­run­dang-un­dangan, dan (8) peranan ma­­hasiswa dalam gerakan anti-korupsi.

  • Tujuan dan  Perspektif Keilmuan

Tujuan pemberian materi PAK bagi ma­hasiswa adalah agar mereka mendapatkan pengetahuan yang cu­­­kup tentang seluk beluk ko­rup­­si dan pemberantasannya ser­ta menanamkan nilai-nilai an­ti korupsi sejak dini sehingga berkembang integritas diri dan lembaga. Dengan begitu diharapkan akan  tumbuh budaya anti-korupsi di kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi yang men­dorong segenap unsur perguruan tinggi dapat ber­peran serta aktif dalam gerakan anti korupsi. Tujuan jangka pan­­jangnya adalah bisa menghasilkan generasi penerus, sarjana lulusan perguruan tinggi yang tidak “catat nilai”, profesional dan berintegritas serta memiliki komitmen kuat pada upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di In­do­nesia.

Metode  pembelajaran PAK diawali dengan pelatihan bagi para dosen (ToT) yang akan mengampu mata kuliah PAK. Dirjen Dikti Djoko Santoso memberikan wewenang bagi pengelola perguruan tinggi untuk menjadikan PAK sebagai pelajaran sisipan, mata kuliah pilihan ataupun wajib di dalam ku­ri­kulum program studi yang diselenggarakan secara reguler dalam satu semester. Beberapa perguruan tinggi yang sudah mewajibkan mahasiswa mengambil  mata kuliah ini adalah Uni­ver­­­sitas Indonesia, Uni­ver­sitas Pa­­ra­madina,  In­stitut Teknologi Bandung, Uni­­­versitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Uni­versitas Ne­geri Semarang dan beberapa per­guruan tinggi lain yang ber­ko­mit­men  akan me­­laksanakan.

Beberapa perspektif keilmuan yang dieksplorasi ke dalam berbagai mata kuliah yang terkait dengan PAK seperti Korupsi Birokrasi/ Korupsi Politik serta Sosiologi Korupsi  di Fisipol,  Hu­kum Pidana Korupsi pada se­jumlah Fakultas Hukum, dan mata kuliah Ko­­rupsi dan Agama pada se­jum­lah Fakultas Filsafat dan Agama.  Namun, ti­dak tertutup  ke­mungkinan ma­teri dan me­tode pem­be­la­ja­ran PAK  juga diberikan dalam  bentuk pen­di­dikan diluar mata kuliah, seperti seminar,  penerapan zona integritas dan wilayah bebas korupsi di kampus.

Akhirnya, tantangan besar  perguruan tinggi kita saat ini adalah mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai wahana transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, penguasaan keterampilan dan seni, tetapi juga mem­­bangun semangat dan kom­­petensinya sebagai agent of change bagi kehidupan ber­mas­yarakat, berbangsa dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman korupsi.

Penulis, Kepala LPM

Universitas Warmadewa Denpasar

Read Full Post »

INTEGRITAS DAN ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK

Oleh Wayan Gede Suacana

Integritas dan etika dalam pelayanan publik berkaitan dengan komitmen kejujuran untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Komitmen ini merupakan sistem ekstra yudisial dalam rangka mencegah terjadinya mal-administrasi di jajaran birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan administrasi, pengadaan barang/ jasa, dan pelayanan publik sendiri.

Satu diantara kendala paling serius untuk mewujudkan good governance adalah prilaku korup yang menggerogoti hampir setiap lembaga penyelenggara pemerintahan dalam pelayanan publik dari tingkat pusat hingga daerah. Prinsip-prinsip efisiensi, akuntabilitas dan keadilan distributif dalam pelayanan publik masih mengalami banyak hambatan. Sebaliknya gejala-gejala negatif atas terjadinya bad governance ditandai oleh rendahnya sensitivitas terhadap kebutuhan dasar atas kelompok masyarakat miskin, in-efisiensi birokrasi, rendahnya partisipasi publik, serta lemahnya upaya penegakkan hukum memperlihatkan kecenderungan umum yang sangat memprihatinkan.

Peringkat Korupsi
Bad governance di Indonesia selalu disertai angka tingkat korupsi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika dirunut dari data PERC 2010, maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), menjadi 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. Transparency International juga meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks tersebut mengukur persepsi terhadap tingkat korupsi pada sektor publik dalam dan untuk mengambil potret sesaat persepsi korupsi di negara yang disurvei. Indeks pengukuran memiliki skala antara 0 (sangat korup) sampai dengan 10 (sangat bersih). Sebagian besar negara yang masuk dalam pengukuran ternyata mendapat skor di bawah 5. Skor IPK Indonesia yang pada 1999 sebesar 1.7 hanya sedikit meningkat menjadi 2.8 pada 2009. (www.tiri.or.id).
Meskipun data yang disampaikan Transparency Internasional menunjukkan adanya sedikit peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun sesungguhnya hal ini lebih ditopang oleh lembaga KPK. Lembaga-lembaga terkorup justru berasal dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan DPR. Merujuk hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun secara regional pemberantasan korupsi Indonesia berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Salah satu permasalahan utama adalah reformasi birokrasi dan administrasi publik yang masih berjalan di tempat.
Upaya perubahan (reformasi) birokrasi dan administrasi publik yang telah dilakukan selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Pelayanan publik masih belum memuaskan masyarakat karena prosedur yang berbelit-belit, tidak efisien, dan korup. Belum terwujudnya pelayanan publik yang cepat dan efisien (agile process) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi yang tidak kondusif bagi parisipasi masyarakat dalam mewujudkn good governance.

Menegakkan Integritas dan Etika
Dalam kenyataannya fenomena korupsi di Indonesia sebagai cerminan bad governance merupakan permukaan dari sebuah sistem besar yang berakar pada nilai integritas, baik di tingkat individu, institusi, maupun sistemik. Sebagai sebuah nilai, etika cenderung diabaikan oleh setiap individu dan institusi, sehingga praktik-praktik sosial, politik, dan pemerintahan tidak memiliki cukup daya tahan untuk mengurangi tindakan korup, bahkan cenderung ‘menerima’ korupsi sebagai fenomena yang sudah wajar terjadi.
Sebagai nilai yang acap kali dimaknai sebagai profesionalisme, satunya kata dan perbuatan, bertindak baik tanpa harus diawasi, adil dan bertanggungjawab, integritas sangat penting dalam menjalankan tugas tidak terkecuali dalam pelayanan publik. Nilai ini seharusnya dibangun secara sistemik, sehingga setiap pemangku kepentingan (stakeholder) pada berbagai jenjang pemerintahan memiliki sensitivitas tinggi menjadikan integritas sebagai landasan setiap keputusan.
Penegakkan integritas dan etika bisa membuka peluang bagi peningkatan IPK dan menurunkan peringkat korupsi Indonesia bila memenuhi setidaknya tiga hal. Pertama, secara sistemik dengan adanya pembenahan dan pemberdayaan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, serta penguatan kapasitas sumberdaya aparat. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya peningkatan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Dalam kaitan ini survei integritas yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia patut didukung. Dalam survei integritas tersebut setiap pejabat publik akan dipantau dan dinilai diantaranya berdasarkan penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, cara moralistik dengan menegakkan sistem integritas terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan-tindakan mal-administratif lainnya. Pejabat yang berintegritas menggunakan kekuasaan dan kewenangannya hanya untuk tujuan yang sah menurut hukum.

Meningkatkan Pelayanan Publik
Penegakkan integritas dan etika itu akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan beberapa persyaratan.
Pertama, mengubah sistem penerimaan dan seleksi pegawai yang sebelumnya didasarkan pada “patronage system”, “spoil system” dan “nepotism” (kebanyakan jabatan diisi berdasarkan political patronage), dengan “merit system” atau “carier system” (pegawai yang diterima adalah mereka yang memiliki kemampuan dan prestasi). Rekrutmen dan seleksi mesti diadakan secara terbuka dan melalui tes seleksi calon pegawai negeri secara obyektif. Prioritas penerimaan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kalangan pegawai honorer yang sudah ada harus dihentikan, penerimaan PNS harus terbuka luas bagi semua orang yang memenuhi persyaratan sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam sistem administrasi negara. Kedua, pejabat negara juga harus dibuat lebih profesional. Pejabat profesional selalu percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Profesionalisme meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas dalam pelayanan publik. Akhirnya, masyarakat juga perlu diberdayakan dan dilibatkan sesuai paradigma good governance melalui pembangunan infrastruktur politik yang dimaksudkan guna meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai kontrol sosial terhadap tindakan-tindakan pejabat negara. Parpol, LSM, mahasiswa, pers dan masyarakat umum hendaknya tetap berkesempatan menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan pejabat negara yang tercela.

Penulis, pengajar ilmu pemerintahan,
anggota PIEN-CRC Center
Universitas Warmadewa

Read Full Post »

MDGs MINUS INTEGRITAS SEKTOR PUBLIK

Oleh Wayan Gede Suacana

Deklarasi Milenium yang ditandatangani oleh Indonesia bersama-sama dengan 189 negara lain di New York pada September 2000, berisi delapan tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDGs). Selain penurunan jumlah penduduk miskin dan mengakhiri kelaparan, target MDGs lainnya adalah pendidikan, kesetaraan jender, kesehatan anak dan ibu, penanggulangan HIV/ AIDS, kelestarian lingkungan dan kemitraan global.

Pada 3-4 Agustus lalu, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Khusus Tingkat Menteri mengenai MDGs di Asia Pasifik. Pada kesempatan itu Wakil Presiden Boediono menyatakan,  target MDGs yang telah dicapai di Indonesia,  adalah pertama, memotong setengah proporsi penduduk yang hidup di bawah US $ 1 per hari serta meningkatkan deteksi dan penyembuhan TBC. Kedua, kelompok target MDGs yang kemungkinan besar akan dapat dicapai tahun 2015,  antara lain memastikan kesempatan setiap anak indonesia untuk dapat akses pendidikan dasar, menghapus kesenjangan jender pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. dan menekan rasio kematian balita. Ketiga, kelompok target MDGs yang akan dicapai pada 2015, namun membutuhkan percepatan dan upaya-upaya khusus, seperti kerja sama regional.

Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan MDGs pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, penurunan kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, dan kesetaraan jender membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp 97,7 triliun (2009) hingga Rp 81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. Tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

  • Integritas dan CPI Rendah

Tingginya utang Luar Negeri Indonesia itu masih diikuti dengan praktik korupsi yang kian menggurita di berbagai sektor publik. Bahkan temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) memperlihatkan kecenderungan korupsi pada semester I, dari 1 Januari hingga 30 Juni 2010 meningkat dua kali lipat dibandingan periode yang sama tahun 2009. Keuangan daerah (APBD) tercatat sebagai sektor yang paling rentan untuk dikorupsi.

Transparancy International beberapa waktu yang lalu telah meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI).  Indeks tersebut mengukur persepsi terhadap tingkat korupsi pada sektor publik dalam dan untuk mengambil potret sesaat persepsi korupsi di negara yang disurvei. CPI adalah indeks gabungan dari 13 poling/survei yang dilakukan oleh 10 lembaga independen.  180 negara masuk dalam pengukuran CPI 2009. Indeks pengukuran memiliki skala antara 0 (sangat korup) sampai dengan 10 (sangat bersih). Sebagian besar negara yang masuk dalam pengukuran ternyata mendapat skor di bawah 5. Score CPI Indonesia adalah sebesar 1.7 pada 1999 dan sedikit meningkat menjadi 2.8 pada 2009. (sumber www.tiri.or.id).

Rendahnya score CPI Indonesia merupakan petunjuk dari adanya beberapa persoalan mendasar korupsi di sektor publik dalam suatu daerah/ negara. CPI dapat memberikan gambaran awal mengenai situasi korupsi di suatu negara. Namun perangkat analisis CPI tidak dapat memberikan gambaran mengenai penyebab korupsi maupun institusi mana yang perlu diperbaiki dalam suatu negara. Dalam CPI tersebut posisi Indonesia berada diatas 66 negara lain yang disurvei. Memang perkembangan peningkatan ini cukup menggembirakan, akan tetapi meski memberikan petunjuk perkembangan yang positif dari tahun ketahun, Indonesia tetap berada tetap dibawah level “aman” yaitu nilai 6.

Permasalahan yang sering dikemukakan dalam menyikapi CPI pada umumnya adalah rendahnya sistem integritas disemua level pemangku kepentingan. Rendahnya kesadaran tentang sistem integritas disemua level ini diperparah dengan penegakan hukum yang masih jauh dari harapan, para penegak hukum yang diharapkan menjadi benteng terakhir “pengawasan” dan “penindakan” masih terombang-ambing dalam arus kekuasaan, uang dan komitmen profesionalitas. Masing-masing “bermain” dengan kewenangan serta kepentingan masing-masing.

  • Membuka Harapan

Filosofi dari dibuatnya CPI jika dikaitkan dengan kondisi Negara Indonesia menimbulkan pemikiran untuk penyediaan pelayanan sosial dasar yang bermutu oleh lembaga-lembaga yang kompeten, bertanggung jawab, tanggap dan akuntabel sering dipandang sebagai perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam proses desentralisasi Indonesia yang cepat, sebagian besar tanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang berbasis sistem integritas dialihkan ke pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat kab/kota sering timbul beberapa masalah tersendiri yaitu kompetensi penyelenggara negara, fasilitas yang dimiliki dan komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi.

Sedangkan dalam rangka optimalisasi pencegahan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berupaya menelusuri akar permasalahan korupsi di sektor pelayanan publik serta mendorong dan membantu lembaga publik mempersiapkan upaya-upaya pencegahan korupsi yang efektif pada wilayah dan layanan yang rentan terjadinya korupsi. Bahkan KPK akan segera
melakukan survei integritas terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia. Hal ini diputuskan setelah KPK mempelajari pengalaman Komisi Antikorupsi Korea Selatan dalam menilai para pejabat publiknya. Artinya, untuk ke depan tidak hanya instansi yang akan dinilai tetapi juga para pejabatnya untuk memantau kinerjanya secara berkesinambungan.

Optimalisasi pencegahan korupsi ini bisa membuka peluang bagi peningkatan CPI dan integritas sektor publik bila memenuhi setidaknya tiga hal. Pertama, secara sistemik dengan adanya pembenahan dan pemberdayaan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, serta penguatan kapasitas sumberdaya aparat. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya peningkatan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Dalam kaitan ini rencana survei integritas yang akan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia patut didukung. Dalam survei integritas tersebut setiap pejabat publik nantinya akan dipantau dan dinilai diantaranya berdasarkan penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, cara moralistik dengan menegakkan integritas terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan-tindakan maladministratif lainnya. Pejabat yang berintegritas menggunakan kekuasaan dan kewenangannya hanya untuk tujuan yang sah menurut hukum.

Penulis, anggota PIEN dan CRC Center Universitas Warmadewa

Read Full Post »

Older Posts »