Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Kebijakan Pemerintah’ Category

KEBIJAKAN SENTRALISTIK DALAM
MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Oleh: Wayan Gede Suacana

Kondisi masyarakat multikultural ternyata tidak selamanya kondusif bagi pengembangan toleransi dan demokrasi. Pemilahan, fragmentasi serta polarisasi sosialnya yang cukup tinggi berpotensi memunculkan berbagai jenis konflik baru—seperti dalam kasus Ambon sekarang. Hal ini sekaligus menyadarkan kita bahwa upaya mengaktualisasikan nilai-nilai bersama dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. 

Multikulturalisme

Kehidupan masyarakat multikultural merupakan kerangka perubahan kultural yang luas dan holistik, yang didalamnya terdapat berbagai pola hubungan yang mutual. Dengan begitu, ia akan bisa menembus “pengkotakan” dan batas-batas keseragaman akibat pengaturan yang sentralistik. Cara-cara yang dianggap relevan  adalah kewajiban untuk menghormati budaya  yang berbeda baik dalam orientasi, sikap maupun dalam setiap peradaban.
Dalam kondisi kehidupan demikian diperlukan adanya pengaturan bersama agar yang kecil tersebut  tak berubah wujud menjadi “fasis-fasis kecil”, yang didasari oleh primordialisme (Piliang). Setiap komunitas dibiarkan hidup dengan aspirasi dan rasionalitas politik masing-masing yang selama ini sudah jalan sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi sebuah tradisi politik. Tradisi politik semacam ini dengan “rasionalitas politik lokal” masing-masing dapat diketegorikan ke dalam terminologi Thomas Kuhn sebagai paradigma, yang di dalam realitasnya  sangat membutuhkan toleransi.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pilkada nanti, kompetisi antar kandidat seyogianya dilihat  sebagai pencarian solusi bersama, yang di dalamnya  tidak saja berisi kesiapan saat memperoleh kekuasaan, sebagai konsekuensi kemenangan dalam pilkada, tetapi juga rela menerima kekalahan (prinsip toleransi) dan mau membangun bersama-sama. Artinya, lewat pilkada nanti, setiap pasangan kandidat tidak hanya berani maju untuk “siap menang”, tetapi juga “siap kalah” dan selanjutnya tetap mengembangkan sikap dialogis, sikap negosiatif, sikap saling persuasif, sikap komunikatif, dan sikap saling pengertian yang mutual demi kemajuan pembangunan daerah ke depan.
Dengan multikulturalisme juga terkandung semangat penghargaan terhadap heterogenitas, dialog kultural, trans-kultural,  inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan keterbukaan yang kritis antar pasangan kandidat. Semuanya itu, merupakan fondasi dan landasan bagi pelaksanaan pilkada dalam rangka menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas dengan kondisi rakyat yang tetap tenang, tentram, dan damai.
Manifestasi empiris penurunan rasa aman dan damai masyarakat akhir-akhir ini terlihat semakin nyata dan transparan.  Munculnya berbagai tindak kekerasan, terorisme  dan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah–terakhir dengan mencuatnya kembali kasus Ambon,  merupakan sebagian parameter yang memperkuat gejala tersebut. Bersamaan dengan itu semakin mudah ditemukan fenomena homeless, dimana hampir semua persoalan kebanyakan berkisar pada perbedaan etnis, ideologi politik dan dogmatisme agama.
Berbagai lembaga  negara serta pranata sosial yang ada seakan mengalami stagnasi dan krisis legitimasi, karena tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara normal. Dialog dari hati ke hati antara individu atau kelompok nyaris tidak berjalan, karena yang terjadi adalah eksklusivisme, ketidakpercayaan serta kecurigaan yang menekankan “supremasi” dan “kebenaran”  sendiri.  Kondisi “anomali” ini mengandung resiko kemunculan gejala, yang oleh Erich Fromm disebut sebagai letupan perasaan yang sangat destruktif berupa kemarahan sosial yang memperbolehkan iri dan benci dilampiaskan di bawah kedok keutamaan.
Hal ini pada gilirannya akan menggeser sendi-sendi toleransi dan kemanusiaan dalam kehidupan  bermasyarakat. Kita melihat orang atau kelompok lain sebagai segmen yang terpisah, bukan sebagai kesatuan yang utuh lagi. Cara pandang demikian, mengakibatkan semakin tingginya kecurigaan pada orang atau kelompok lain dan semakin tipisnya toleransi dan kesediaan untuk saling menerima.
Persoalannya adalah bahwa dalam masyarakat yang multikultural biasanya memiliki tingkat diferensiasi sosial cukup tinggi yang sangat rentan dan resistansi rendah terhadap munculnya konflik horisontal. Begitu pula, kondisi masyarakat demikian tidak selamanya kondusif bagi upaya pengembangan toleransi dan demokrasi.

Diferensiasi Sosial

Dua bentuk diferensiasi sosial dapat dibedakan sebagai konsekuensi bekerjanya kedua jenis parameter struktur sosial dari Peter M. Blau. Pertama, heterogenitas (heterogeneity) yang merupakan diferensiasi sosial berdasarkan parameter nominal (suku bangsa, agama, ras dan sejenisnya). Kedua,  kesenjangan sosial (inequality), yang merupakan diferensiasi berdasarkan parameter kelas (pendapatan, kekayaan, kekuasaan dan semacamnya).
Kedua bentuk diferensiasi sosial itu, baik oleh kekuatan masing-masing maupun oleh dampak hubungan mereka satu sama lain, pada gilirannya memiliki konsekuensi sangat penting terhadap proses integrasi suatu masyarakat, dan pada tingkat lain terhadap pertumbuhan suatu sistem demokrasi. Tesis yang sering dikemukakan adalah bahwa semakin tinggi tingkat heterogenitas atau kesenjangan sosial masyarakat semakin menghambat terjadinya hubungan sosial dan proses integrasi sosial.
 Hubungan antara berbagai parameter struktur sosial dapat mengambil bentuk “interseksi”, atau sebaliknya “konsolidasi”. Yang pertama terjadi apabila diferensiasi  sosial  berdasarkan suatu parameter jatuh bersilangan (crosscutted) dengan  diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Hal ini mengakibatkan “perbedaan” keanggotaan banyak orang didalam berbagai kelompok atau status berdasarkan suatu parameter menempatkan mereka didalam “kesamaan” keanggotaan mereka didalam kelompok atau status berdasarkan parameter yang lain. Dengan perkataan lain, interseksi terjadi apabila berbagai parameter struktur sosial secara sistematis tidak saling berkorelasi satu sama lain.
Sebaliknya, konsolidasi parameter struktur sosial terjadi apabila diferensiasi sosial berdasarkan suatu parameter tertentu jatuh berhimpitan atau bertumpang tindih (consolidated) dengan diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Kondisi demikian menyebabkan perbedaan keanggotaan banyak orang didalam berbagai kelompok atau status tertentu secara sistematis “diperkuat” oleh perbedaan keanggotaan kelompok atau status berdasarkan parameter lain.
Di dalam bahasa Gabriel A. Almond, kondisi interseksi menciptakan struktur sosial dengan diferensiasi yang tinggi dan dengan kebudayaan yang bersifat “sekuler” serta ‘homogeneus”. Sedangkan situasi konsolidasi membentuk struktur masyarakat dengan diferensiasi yang rendah dan kebudayaan yang bersifar “multikultural”. Dalam sistem sosial yang tingkat pemilahannya tidak lagi bersifat membaur (crosscutting) akan tetapi (bahkan) bersifat kumulatif, maka toleransi dan demokrasi akan sulit untuk dipelihara, sebab biasanya konflik yang ditimbulkannya tidak lagi bersifat memusat (centripetal) akan tetapi bersifat memencar (centrifugal). Dalam situasi konflik yang memencar biasanya akan menjadi sangat sulit diselesaikan.

Penguatan Toleransi

Kondisi masyarakat yang multikultural  menuntut adanya aktualisasi nilai-nilai bersama dan pengembangan sikap toleran  untuk mengatasi segala perbedaan yang ada. Penguatan toleransi dalam kehidupan masyarakat demikian setidaknya bisa dilakukan melalui  dua  pendekatan.

Pertama, pendekatan interpersonal. Segenap komponen masyarakat semestinya bekerjasama, bahu-membahu, mencegah agar potensi konflik yang laten tidak termanifestasi. Lebih penting lagi, bagaimana memperkecil potensi konflik tersebut dengan berbagai tindakan preventif. Kalau semua dilepas, tanpa intervensi, mengikuti ‘hukum pasar bebas’, maka niscaya potensi konflik dapat berkembang meluas menjadi konflik terbuka.
 Untuk itu bisa dikembangkan dua konsep penting yang pernah disampaikan oleh Pitana dalam memelihara “keajegan” yang merupakan conditio sin qua-non  bagi Bali. Pertama: konsep perbedaan tetap dikembangkan tetapi bermuara pada kebersamaan, sebagaimana dicerminkan oleh model dan praktek padharman di Pura Besakih yang cross border. Kedua, konsep multiple identity  yang disertai pelaksanaan sesana manut linggih dan linggih manut sesana.
Disamping itu, juga perlu peningkatan intensitas dialog, forum diskusi, dharma santhi (silaturahmi) dan kegiatan-kegiatan sejenis. Berbagai komponen masyarakat lintas parpol, etnis, dan agama hendaknya dilibatkan untuk menumbuhkan dan menambah rasa kebersamaan, persaudaraan dan kesepahaman tanpa memandang perbedaan.

Kedua, pendekatan personal. Penguatan toleransi dengan memulai dari diri sendiri terlebih dulu. Cara ini merupakan  suatu usaha menciptakan kepribadian yang satwika, pikiran seimbang dalam menjalani kehidupan. Upaya pertama adalah pengendalian pikiran, ketidakterikatan, sadar akan diri sendiri, melihat diri sendiri dan orang lain dengan seimbang dan tidak terlalu terikat pada orang, benda, situasi dan jabatan. Cara kedua adalah mengusahakan toleransi dan kebahagiaan bagi orang lain (bukan semata-mata untuk diri sendiri). Kebahagiaan orang lain dengan sendirinya akan membahagiakan diri kita juga. “Apa yang kita tanam itulah yang kita petik”, jika kita menanam  kebahagiaan dalam hati dan pikiran orang lain kita akan menuai kebahagiaan pula dalam jumlah yang berlimpah.

Read Full Post »