Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April 1st, 2009

PROSES GOVERNANCE: MEMENCARKAN
KEKUASAAN PUSAT KE DAERAH

Oleh Wayan Gede Suacana

Bagaimanapun cakapnya seseorang,
dia tidak akan dapat menarik garis batas yang tegas
antara tugas dan kekuasaan pemerintah pusat
dengan tugas serta kekuasaan pemerintah daerah

(Wihelm von Humbold)

Pasca keruntuhan pemerintahan Soeharto dan kekuasaan rejim Orde Baru bangsa Indonesia mulai menapaki sebuah masa transisi menuju demokrasi . Selama masa itu berbagai bentuk perubahan sosial  telah terjadi di tengah dinamika dan pasang surut kehidupan demokrasi di negeri ini. Namun,  kondisi negara tampaknya masih jauh dari kepulihan, dan tetap diselimuti bayang-bayang ketidakpastian. Hal itu tercermin dari kegamangan aturan hukum, instabilitas politik serta ancaman disintegrasi bangsa. Krisis ekonomi dan moneter juga masih belum teratasi disertai beban utang luar negeri, predikat sebagai negara terkorup, dan krisis kepemimpinan dalam pemerintahan. Kondisi memprihatinkan ini semakin memperkuat karakteristik berlangsungnya fase infantilisme politik .
Sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan kebudayaan, kondisi krisis dan fase infantilisme politik itu telah ikut memperjelas karakteristik pembangunan politik era sebelumnya. Dalam banyak hal, pembangunan politik Orde Baru tak ubahnya bagai “rumah kartu”, yang seketika ambruk satu persatu terkena hantaman badai krisis, karena didasari oleh  kepalsuan, dikembangkan dengan kekerasan, lalu berakhir dengan tragedi yang sangat dramatis . Tuntutan desentralisasi yang terjadi setelah itu berhasil mengubah orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik. Kenyataan ini  telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya primordialisme yang ikut memperkuat  sentimen kedaerahan, kesukuan dan etnisitas secara berlebihan. Hal ini terlihat jelas misalnya, dari semangat pembentukan propinsi-propinsi baru, seperti Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Otonomi daerah masih dipandang sebagai sebuah proses deteritorialisasi, yaitu transformasi batas-batas wilayah warisan masa lalu, yang di dalamnya dianggap terdapat berbagai bentuk ketidakadilan. Proses ini diikuti dengan reteritorialisasi, berupa klaim-klaim atas (batas-batas baru) wilayah   (dan sumber daya alamnya),   yang   dianggap   lebih   mencerminkan  keadilan .
Selanjutnya berbagai cara daerah dalam merespons pemberian kebebasan dalam berotonomi tersebut, dari menargetkan peningkatan PAD semaksimal mungkin, hingga menuntut hak-hak otonomi khusus kepada pemerintah pusat. Otonomi daerah yang ide awalnya diharapkan akan mampu meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi rakyat, dalam implementasinya ternyata hanya dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan finansial dan politik oleh segelintir elite lokal yang  menjadi “raja-raja” baru di daerah dengan melakukan berbagai tindakan korupsi.
Disamping itu berbagai kemelut juga masih kerap terjadi dalam pemilihan kepala daerah, yang tidak jarang disertai tindakan anarkis, mencerminkan betapa tajamnya konflik kepentingan kelompok elite politik pusat dengan aspirasi masyarakat “akar rumput” di daerah. Berbagai perilaku politik para pejabat dan elite politik baik di pusat maupun daerah cenderung menjadikan sistem kekeluargaan yang bersifat extended family ke arah sistem  patronase yang kental dengan budaya patrimonial. Sistem ini ternyata sangat permisif bagi berkembangnya bentuk partikularisme baru dalam pemerintahan daerah.
Berbagai problema otonomi daerah itu mengisyaratkan bahwa pergeseran format pengaturan politik di aras nasional, telah banyak menimbulkan permasalahan di daerah. Namun, proses menuju transisi demokrasi yang tengah berlangsung hingga kini dapat diakui telah menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan, yakni desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini terlihat jelas dari adanya perubahan orientasi dari negara ke masyarakat, dari isu pemerintahan ke isu tata pemerintahan, dari politik tradisional ke politik transformatif  serta dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik . Lahirnya gagasan  tata pemerintahan demokratis (democratic governance) yang menyertai proses itu, sejatinya untuk mendorong negara berbagi kekuasaan ke samping dengan masyarakat sipil  (civil society) dan bisnis, ke bawah dengan masyarakat lokal, dan ke atas dengan institusi trans-nasional . Dengan pergeseran format pengaturan politik ke aras lokal diyakini lebih memungkinkan berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik relasi kekuasaan antara daerah-daerah dengan pusat serta membuat daerah kabupaten/ kota diberikan keleluasaan untuk menghasilkan keputusan-keputusan politik tanpa harus diintervensi oleh pusat.
Pergeseran format pengaturan politik yang lebih mengarah ke aras lokal itu pada gilirannya juga telah menghasilkan desentralisasi kekuasaan melalui dua kali perubahan undang-undang, yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diamandemen  lagi menjadi Undang-undang No. 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dibandingkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, kedua undang-undang yang disebutkan terakhir  relatif memberikan peluang yang jauh lebih luas bagi daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan demokratis di daerah , khususnya dalam hal pengaturan bidang sosial politik, ekonomi dan kebudayaan yang sebelumnya diatur secara terpusat.
Seiring berakhirnya hegemoni negara yang sebelumnya tampak dari dominasi  pengaruh pusat serta kecenderungan para elite politik yang masih state centris, memihak ke ‘atas’ daripada ke ‘bawah’ (masyarakat) sebagai implikasi dari sisa budaya feodal, perlu disertai upaya mendekonstruksi praktek otonomi daerah selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan PAD serta mengentalkan isu daerahisme serta primordialisme. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan,  sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), serta sikap intoleran terhadap orang, kelompok atau suku lain. Masyarakat lokal juga masih ditempatkan dalam posisi kekuatan marjinal yang harus tunduk dan taat kepada segala keputusan elite pusat. Problema ini semakin kompleks karena menyangkut tidak hanya keterlepasan daerah dari hegemoni negara dan memperluas otonomi daerah, tetapi juga mempertahankan semangat dan euforia berotonomi dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika (kesatuan dalam keanekaragaman) sebagai manifestasi demokrasi dalam masyarakat multikultural .
Semangat dan manifestasi demokrasi melalui penguatan partisipasi politik juga tampak dalam kehidupan masyarakat Bali pada awal gerakan reformasi. Walaupun tidak sampai menimbulkan konflik horisontal yang berarti, tetapi jelas tampak adanya bentuk perlawanan melalui gerakan demonstrasi dan penggalangan massa pemuda yang sempat mencetuskan  opsi ‘Bali Merdeka’.  Fenomena ini merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat (perkotaan) Bali terhadap pernyataan AM Saefudin seorang tokoh PPP yang mengangkat isu primordial, bahwa pemeluk agama Hindu yang minoritas  tidak layak dan tidak berhak menjadi presiden di negeri ini. Selanjutnya ketika memasuki masa transisi demokrasi, pada 21 Oktober 1999  terjadi kerusuhan massal di beberapa kota di Bali  yang dipicu oleh kegagalan Megawati Soekarnoputri  menjadi Presiden menggantikan BJ Habbie. Kejadian ini sekaligus mencerminkan betapa di balik ketenangan dan keramahannya,  masyarakat Bali juga  menyimpan sejumlah potensi konflik vertikal yang berujung pada tindakan kekerasan . Mereka merasa sangat kecewa karena aspirasinya tidak menjadi kenyataan. Cara-cara mengekspresikan kekecewaan itu kemudian tidak terkontrol dan berkembang menjadi tindakan anarkis dengan pembakaran dan penghancuran kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum yang meluas hampir di sebagian kota-kota besar di Bali.
Belum pulih benar dari trauma akibat kerusuhan massal tersebut, tiga tahun berikutnya masyarakat Bali kembali dikejutkan dengan dua kali peristiwa pengeboman, di Legian 12 Oktober 2002, serta di Kuta dan Jimbaran 1 Oktober 2005. Pada taraf tertentu, tragedi beruntun itu telah membawa perubahan mendasar dalam sikap dan tata kehidupan masyarakat Bali karena tidak seperti daerah lain, pendapatan asli daerah (PAD) Bali sangat tergantung dari sektor pariwisata. Dampak peristiwa itu terbukti sangat menghambat kegiatan ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah karena penurunan secara drastis jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali. Di samping itu juga memunculkan  efek domino pada penurunan pendapatan masyarakat, pemutusan hubungan kerja, hingga pergeseran ke arah semakin merenggangnya sendi-sendi toleransi masyarakat Bali, khususnya dalam interaksinya dengan penduduk pendatang.
Berbagai persoalan  tersebut kemudian disertai  dengan  dampak dinamika politik lokal di Bali yang cukup bervariasi, baik sebagai akibat dari ataupun merupakan kasus yang paralel dengan pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa isu dan persoalan yang sempat mencuat ke permukaan dalam enam tahun terakhir diantaranya: kekecewaan masyarakat Bali terhadap kinerja DPRD yang berujung dugaan penyelewenagan dana APBD, ketegangan antara kabupaten/ kota dengan pemerintah provinsi akibat timpangnya distribusi Pajak Hotel dan Restoran di Bali, tuntutan otonomi khusus (otsus) Bali, penolakan megaproyek geothermal di Bedugul hingga penolakan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi .  Isu dan persoalan tentang tuntutan otonomi khusus (otsus) bagi Bali  kepada pemerintah pusat sebagai solusi mengatasi berbagai dampak ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah Bali juga sudah diperjuangkan. Otonomi khusus (otsus) tersebut oleh para penggagasnya dimaksudkan untuk memperjuangkan beberapa kepentingan strategis masyarakat Bali .
Pertama, menjaga dan mengembangkan kapasitas institusi sosio kultural di Bali, terutama dalam kaitannya dengan desa adat/ pakraman dan istitusi adat lainnya. Kedua,  meningkatkan perolehan pendapatan negara yang berasal dari Bali, khususnya perolehan bagi hasil yang lebih adil dalam kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini sering dikaitkan dengan tuntutan otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan pariwisata. Ketiga, meningkatkan kapasitas pemerintah provinsi dalam rangka pemerataan kemampuan daerah (PAD) dan pembangunan antar daerah di Bali. Hal ini seringkali dikaitkan pula dengan manajemen pengelolaan pendapatan dari pariwisata yang perlu difokuskan di tingkat pemerintah provinsi. Adapun alasannya karena otonomi di tingkat provinsi mempunyai kelebihan yang bisa menjaga entitas budaya Bali dan menjembatani kesenjangan pendapatan antar daerah kabupaten/ kota.
Dengan begitu, pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan secara terpadu dan merata antar kabupaten/ kota dengan tetap melakukan koordinasi dengan provinsi. Disamping itu, dengan otsus diharapkan Bali bisa memiliki semacam dasar hukum untuk membuat peraturan daerah dan ketetapan-ketetapan lainnya dalam rangka memberikan arah serta tujuan yang jelas bagi pembangunan daerah yang berdasarkan konsep desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Termasuk juga upaya-upaya dan kreativitas daerah dalam memperoleh dana perimbangan di luar dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil .
Terkait usulan otsus Bali tersebut berbagai aspirasi masyarakat Bali muncul dan berkembang ke permukaan. Mereka umumnya menganggap dan menginginkan suara rakyat Bali lebih diperhatikan oleh pusat. Otsus hanyalah bentuk  pembungkus dari identitas perjuangan rakyat Bali, oleh karena itu terlalu mewah sebutan otsus apabila sekadar untuk menuntut pembagian keuangan yang lebih adil kepada pusat. Perjuangan otsus diyakini akan mendapatkan banyak banyaknya tantangan yang harus dihadapi, karena perjuangan usulan otsus sendiri ibarat mendayung di antara karang-karang permainan politik. Otsus memasuki wilayah yang sangat sensitif dalam konteks ketatanegaraan, terutama hubungan pusat dan daerah. Begitu pula, isu otsus akan banyak dimanfaatkan demi kepentingan partai politik tertentu, dengan menyertakan ‘penumpang gelap’ dalam tim perumus otsus Bali.
Berbagai problema akibat kebijakan desentralisasi dan perluasan otonomi daerah tersebut menandakan bahwa  otonomi daerah oleh sebagian besar  pejabat pusat baru dipandang terbatas dari perspektif legal-formal yakni dengan telah adanya produk legislasi yang memberikan pengaturan pada  masalah tersebut. Belum ada kesepahaman bagaimana diskresi bisa dilakukan oleh masing-masing daerah dalam hal pengaturan bidang-bidang khusus yang merupakan sektor unggulannya. Sementara peran ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu pemerintahan dalam memberikan panacea bagi  sejumlah masalah ini masih amat terbatas. Tidak mengherankan bila ilmu pemerintahan di Indonesia sampai  dekade 1990-an masih bercorak sangat instrumental dan pragmatik, ketimbang kritis reflektif”.
Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada beberapa persoalan berikut. Pertama, bagaimana proses governance dan orientasi ilmu pemerintahan  pasca keruntuhan pemerintahan Orde Baru ? Kedua, sejauh mana penguatan desentralisasi dan otonomi daerah berkembang seiring transformasi pemerintahan yang terjadi di pusat ? Ketiga, apa langkah nyata untuk menata kekuasaan yang telah terdesentralisasi khususnya  dalam pelaksanaan otonomi daerah ?

Transformasi “Government” Menjadi “Governance

Transformasi dalam ilmu pemerintahan sesunguhnya telah terjadi sejak awal dekade 1990-an lalu. Pengertian pemerintahan sebagai proses memerintah dalam ilmu pemerintahan tradisional sejak masa itu mengalami perubahan yang sangat mendasar di banding periode sebelumnya. Begitu pula, paradigma dan konsep pola hubungan antara masyarakat dan negara pun mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Bilamana sebelumnya banyak negara yang berperan sebagai aktor utama dalam perubahan politik, dalam perspektif ilmu pemerintahan kontemporer pemerintah sebagai aktor negara hanya menjadi katalis .
Konsep tata pemerintahan  (governance) dalam ilmu pemerintahan menjadi populer menggantikan konsep pemerintahan (government)  yang berlaku sebelumnya. Konsep pemerintahan memiliki makna hubungan yang bersifat hirarkis, karena harus memerintah. Pemerintah yang memerintah berada di atas, sedangkan masyarakat yang diperintah berada di bawah. Untuk mengubah posisi hubungan antara pemerintah dengan warganegara, dari yang semula bersifat hirarkis menjadi heterarkhis, diperlukan dekonstruksi filsafat dan cara berpikir, termasuk penciptaaan istilah baru yang tepat.

Pada perspektif pertama, dipahami bahwa intervensi pemerintah pada kehidupan masyarakat sangat minimal. Masyarakat mempunyai otonomi yang luas untuk menghatur dirinya sendiri. Peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator semata. Dalam perkembangan kehidupan ekonomi, pengaruh pasar sangat penting didalam pengambilan keputusan publik dan seringkali pemerintah hanya berperan sebagai pihak yang hanya mengakomodasikan kepentingan pasar yang dikendalikan oleh sektor swasta dan aktor kapitalis internasional
Menghadapi perkembangan ini, kemudian muncul perspektif kedua dan keempat: governance as sosial political governance yang berusaha memperbaiki peran pemerintah dinamakan dengan corporate governance. Dalam perspektif ini, pemerintah berusaha mengarahkan organisasi dan sektor swasta agar berperan juga didalam mengatasi masalah kemiskinan, dan ketidakadilan sosial yang sesungguhnya merupakan tugas pokok pemerintah. Kegagalan pasar atau eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh mekanisme pasar berusaha diperbaiki melalui perspektif ini. Sedangkan perspektif good governance dan governance and governability lebih mengarahkan perubahan manajemen pemerintah yang bebas dari korupsi dan memenuhi ktiteria manajemen profesional.
Bank Dunia (1989) sendiri memberikan batasan pada konsep tata pemerintahan yang baik sebagai cara bagaimana kekuasaan politik mengatur persoalan-persoalan kenegaraan yang meliputi persetujuan struktural dan institusi negara, proses pengambilan dan implementasi kebijakan, serta hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Sejalan dengan pendapat Bank Dunia di atas, UNDP  (1997) memberikan pengertian tata pemerintahan yang baik sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Tata pemerintahan yang baik lalu didefinisikan  sebagai penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Di sini tekanannya pada kewenangan, kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berbicara kewenangan berarti menyangkut domain sektor publik.
Tata pemerintahan merupakan mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep tata pemerintahan, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut .
Paling tidak ada tiga dimensi penting yang sejauh ini mencirikan apa yang disebut dengan tata pemerintahan itu . Dimensi pertama, dari kelembagaan, tata pemerintahan adalah sebuah sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku (multistakeholders), baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah. Tata pemerintahan menekankan keterlibatan dari banyak organisasi dan aktor dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan untuk menanggapi masalah dan kebutuhan publik. Dimensi kedua,  tata pemerintahan adalah nilai-nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Dalam tata pemerintahan, penggunaan kekuasaan harus didasarkan pada nilai-nilai yang jauh lebih kompleks daripada sekadar efisiensi dan efektivitas, seperti keadilan sosial dan demokrasi. Dimensi ketiga dari tata pemerintahan adalah proses, yang mencoba menjelaskan bagaimana berbagai unsur dan lembaga memberikan respons terhadap berbagai masalah publik yang muncul di lingkungannya. Dimensi proses ini tiada lain adalah proses kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Tata pemerintahan tersebut dipahami tidak hanya sebagai struktur atau institusi, tetapi juga sebagai suatu proses dengan nilai-nilai yang mendasarinya. Konsep ini meleburkan perbedaan antara mereka (pemerintah) dan kita (yang diperintah) karena kita semua adalah bagian dari tata pemerintahan . Beberapa karakteristiknya yang menonjol antara lain: Pertama, adanya kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan memiliki akuntabilitas. Kedua, menghormati hak-hak asasi manusia. Ketiga, dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Keempat, mampu mengakomodasi kontrol sosial masyarakat. Kelima, partisipasi, otoaktivitas, dan desentralisasi, dan keenam, berkembangnya sistem checks and balances.
Terlihat perbedaan yang sangat jelas antara  prinsip pemerintahan dan tata pemerintahan. Prinsip pertama cenderung menganut pola sentralistis dan top down, sedangkan prinsip kedua menghendaki adanya penghargaan terhadap keberagaman potensi daerah, serta meletakkan urgensi kekuasaan secara lebih demokratis pada tingkat yang paling rendah (grassroots democracy). Bila paradigma pemerintahan lebih menempatkan pemerintah sebagai aktor utama dalam perubahan politik, maka paradigma tata pemerintahan yang berkembang pasca reformasi cenderung menempatkan pemerintah sebagai aktor negara dan hanya menjalankan fungsi sebagai katalis . Praktek tata pemerintahan tersebut menggambarkan interaksi dan konsensus antara negara atau pemerintah di satu pihak, dengan pasar atau pihak swasta dan masyarakat sipil di pihak lain (United Nation Development Program-UNDP, 1997). Semangat yang terkandung dalam tata pemerintahan adalah adanya kehendak untuk mendorong negara agar berbagi kekuasaan baik secara horizontal maupun vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal atau kesamping dilakukan dengan masyarakat sipil  dan swasta. Pembagian secara vertikal ke bawah dengan masyarakat daerah, dan ke atas dengan institusi trans-nasional  .
Dalam kenyataannya, penyelenggaraan  tata pemerintahan di tingkat daerah tersebut menyangkut tidak hanya keterlepasan dari belenggu hegemoni pusat, implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tingkat keberdayaan masyarakat sipil  yang dilandasi multikulturalisme , tetapi juga perhatian terhadap kondisi transisi menuju demokrasi yang sedang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Masa transisi menuju demokrasi sesungguhnya menawarkan peluang munculnya inovasi dan kreativitas dari pemerintah daerah maupun masyarakat sipil untuk menajamkan fungsi masing-masing dalam penyelenggaraan tata pemerintahan . Antusiasme berbagai pihak untuk mempraktekkan demokrasi dan melakukan reformasi di berbagai bidang, telah mempengaruhi dinamika yang menjadi motor perubahan untuk mewujudkan tata pemerintahan dan otonomi di daerah.

Penguatan Otonomi Daerah

Perkembangan otonomi daerah selalu berkaitan dan atau didahului oleh implementasi desentralisasi. Kebijakan desentralisasi sering dianggap sebagai alternatif untuk mencegah sentralisme birokrasi dan dalam keadaan yang bersamaan bisa mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan serta menumbuhkan demokrasi di/ dari bawah . Dengan kata lain tidak akan ada kebijakan dan program pemerintah pusat yang akan mencapai sukses apabila tidak ada political will untuk melakukan desentralisasi .
Disamping itu, lembaga yang terdesentralisasi memiliki sejumlah keunggulan, yaitu: Pertama, lebih fleksibel karena dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah. Kedua, dalam pelaksanaan jauh lebih efektif. Ketiga, lebih sering menumbukan inovasi, dan Keempat, menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktivitasnya . Menurut pengalaman, dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu, sistem sentralisasi memang tidak dapat menjamin kesesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah dengan keadaan khusus di daerah-daerah.
Karena keputusan dibuat di tingkat bawah, maka desentralisasi dianggap lebih fleksibel daripada sentralisasi. Keputusan yang boleh dibuat di tingkat pelaksanaan (bawah), menjadikan pembuat keputusan bisa melakukan penghitungan sendiri, tanpa harus menunggu persetujuan atasan. Hal ini sering menghasilkan penghitungan yang lebih tepat dan menghasilkan pemecahan masalah lebih spesifik dan karena itu efektif.
Sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian otonomi daerah yang merupakan amanat konstitusional yang selama ini terhambat, kalau tidak dikukuhi oleh pemerintah pusat. Sebagai respon terhadap krisis penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis, reformasi politik pasca Soeharto menempatkan isu otonomi daerah yang luas sebagai salah satu pilar utama. Pemerintah pusat tidak kuasa lagi mengukuhinya. Pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah justru menjadi kesempatan untuk berbagi beban dalam mengatasi krisis ekonomi yang telah melilit bangsa ini selama beberapa tahun terakhir ini.
Format desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas diyakini dapat mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan. Namun, hal itu tidak cukup untuk menyembunyikan bahwa persoalan ini sungguh sangat kompleks. Tak ada persoalan pemerintahan di Indonesia yang implementasinya memiliki intensitas kesulitan setinggi desentralisasi politik dan otonomi daerah . Tak ada yang seperti makan buah simalakama bagi rakyat, sebagaimana desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan kekuasaan terpusat di Jakarta, pemerintah dan daerah tak punya ruang gerak karena semua serba ditentukan dari atas. Sebaliknya, dengan kekuasaan disebarkan kepada daerah-daerah secara mendadak, pemerintah daerah kebanjiran kekuasaan namun tetap saja rakyat daerah tak mempunyai keleluasaan berarti—malah di banyak kasus, rakyat semakin didekatkan pada penindasnya akibat ‘negara’ di tingkat lokal yang menguat tiba-tiba. Juga dapat dikatakan, tak ada yang disikapi banyak orang sesinis otonomi daerah. Sebagian orang menyebut-nyebut desentralisasi dan otonomi daerah sebagai desentralisasi KKN karena memang kenyataannya ia turut memindahkan lokus partikularisme dari Jakarta ke daerah-daerah.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum yang sangat luas dalam kerangka hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Sebagian merupakan persoalan-persoalan lama yang belum tuntas, dan sebagian yang lain merupakan persoalan-persoalan yang relatif baru seperti:  persoalan hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah, persoalan ‘desentralisasi semu’ akibat logika kepartaian yang masih sangat sentralistis, penataan politik lokal, penguatan ‘daerahisme’, hubungan antar daerah, hubungan eksekutif dan legislatif daerah, hubungan negara dengan masyarakat pada tingkat lokal, penataan institusi dan mekanisme lokal.
Dalam sejarah perkembangannya desentralisasi juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Wujud desentralisasi hingga akhir kekuasaan Orde Baru memperlihatkan dinamika tujuan penerapan desentralisasi . Apabila dalam kurun waktu berlakunya UU Desentralisasi 1903 tujuan desentralisasi adalah “efisiensi”, maka kemudian menjadi “efisiensi dan  partisipasi” dalam kurun Bestuurhervormingswet 1922. Tujuan desentralisasi dalam masa UU No. 1 tahun 1957 adalah “demokrasi atau pendemokrasian pemerintahan” berganti menjadi  “stabilitas dan efisiensi pemerintahan” dalam masa Demokrasi Terpimpin (UU No. 18 tahun 1965). Sedangkan, tujuan desentralisasi menurut format politik Orde Baru seperti tercermin dalam UU No. 5 tahun 1974, sangat menonjolkan efisiensi dan efektivitas, dengan hanya sekali penyebutan istilah demokrasi.
Desentralisasi politik yang meluas seiring kejatuhan rezim Orde Baru, dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan lagi dengan UU 32 tahun 2004, tampaknya mengikuti  dua jalur yang berbeda, yaitu pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah dan  dari negara ke masyarakat. Jalur pertama menghasilkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, sedangkan yang kedua menghasilkan penguatan pada masyarakat sipil (civil society). Penerapan otonomi daerah sampai sejauh ini lebih berfokus pada otonomi pemerintahan, dan belum sampai pada jalur kedua, yakni otonomi pada rakyat atau masyarakat setempat. Dengan demikian yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, tetapi berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Pembicaraan mengenai konsep otonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari asas desentralisasi yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintahan daerah. Persoalan pokok otonomi daerah adalah kebebasan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri yang bersifat lokalitas untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dalam otonomi daerah terdapat nilai yang hakiki, yakni nilai demokrasi dan prakarsa sendiri. Otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri, yang berarti pengambilan keputusan sendiri dan pelaksanaan sendiri kepentingan masyarakat setempat. Dengan demikian demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat dicapai. Rakyat, menurutnya tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri .
Pelaksanaan pemerintahan daerah yang melibatkan partisipasi masyarakat luas memungkinkan terciptanya kondisi yang kondusif bagi praktek tata pemerintahan daerah. Dalam teori dan praktek pemerintahan modern diajarkan bahwa untuk menciptakan tata pemerintahan perlu dilakukan desentralisasi pemerintahan. Tata pemerintahan menunjuk pada proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang luas dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, dan politik serta pendayagunaan sumber daya alam, keuangan dan manusia untuk kepentingan semua pihak, yakni pemerintah, pihak swasta dan rakyat dalam cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Pelaksanaan tata pemerintahan merupakan kecenderungan global dan tuntutan dalam sistem politik yang demokratis.
Terdapat beberapa elemen penting dari otonomi daerah yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun tata pemerintahan, yaitu:
1.    Otonomi berhubungan erat dengan demokratisasi (khususnya grass roots democracy).
2.    Dalam otonomi terkandung makna self-initiative untuk mengambil keputusan dan memperbaiki nasib sendiri.
3.    Karena dalam konsep otonomi terkandung kebebasan dan kemandirian masyarakat daerah untuk mengambil keputusan dan berprakarsa, berarti pengawasan atau kontrol dari pemerintah pusat tidak boleh dilakukan secara langsung yang dapat mengurangi kebebasan masyarakat daerah, atau menjadikan beban bagi daerah.
4.    Daerah otonom harus memiliki power (termasuk dalam sumber-sumber keuangan) untuk menjalankan fungsi-fungsinya, memberikan pelayanan publik serta sebagai institusi yang mempunyai pengaruh agar ditaati warganya.
5.    Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor intern, akan tetapi juga faktor ekstern .
Pelaksanaan otonomi daerah telah menyebabkan semakin menguatnya pemerintah daerah, baik karena pelimpahan wewenang dari pusat maupun karena perimbangan baru dalam keuangan pusat-daerah. Namun demikian, muncul kemudian beberapa perkembangan yang tidak diduga sebelumnya, yang mempersulit pergaulan dan komunikasi secara nasional. Beberapa gejala dapat menjadi indikasi kecenderungan ini. Otonomi daerah telah menyebabkan lahirnya demikian banyak peraturan daerah (perda) yang tidak selalu sejalan bahkan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya.
Otonomi daerah juga telah mendorong lahirnya ketertutupan dan bahkan sikap eksklusif daerah, yang tidak lagi melihat kepentingannya dalam hubungan dengan kepentingan daerah lain, apalagi dalam hubungan dengan kepentingan nasional. Tiap bupati dan tiap gubernur menjadi penguasa penuh di daerahnya, dan tidak begitu terdorong untuk bekerja sama dengan bupati dan gubernur di daerah lainnya. Hanya di beberapa tempat di Sulawesi dan Sumatera dapat ditemukan forum bersama antar gubernur. Selebihnya tiap daerah hidup untuk dirinya sendiri. Sikap eksklusif ini juga tercermin dalam rekrutmen politik di daerah yang  mulai mempersyaratkan kondisi ke-putra-daerah-an seseorang dalam pemerintahan daerah. Beberapa daerah di luar Jawa bahkan telah bergerak cukup jauh dengan menetapkan kriteria tentang keputra-daerahan seseorang. Seseorang dianggap putra daerah kalau dia dapat menunjukkan hubungan darah dengan orang-orang yang tinggal di daerah itu, atau seseorang yang dilahirkan di daerah bersangkutan, atau seorang pendatang yang tinggal di daerah tersebut selama minimal 25 tahun. Kriteria tersebut mungkin sesuatu yang baik, tetapi akan membawa dampak asal-usul mengalahkan kualifikasi dan kemampuan seseorang, serta penurunan interaksi sosial, komunikasi, interaksi lintas-daerah dan etnis. Di samping itu sikap umum terhadap kebudayaan akan ditandai oleh provinsialisme, di mana unsur-unsur daerah yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan demokrasi  kembali dibenarkan dengan alasan mempertahankan dan menghidupkan kebudayaan daerah.
Seiring dengan agenda reformasi 1998 yang memberikan perluasan kewenangan bagi daerah-daerah dalam menyelenggarakan otonominya, berimplikasi pada ‘bahaya desentralisasi’ (the dangers of decentraization). Berbagai tuntutan lalu muncul, diantaranya menghendaki dilaksanakannya dengan segera peraturan otonomi daerah yang seluas-luasnya, pemberian otonomi khusus, hingga ancaman untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Beberapa daerah, seperti Riau, Bangka-Belitung, Banten, Cirebon, Irian Jaya, Sulawesi Selatan gencar melakukan tuntutan hingga mendorong pemerintah memberlakukan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pergeseran kewenangan dan orientasi yang terkandung dalam UU tersebut, lebih memungkinkan berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik relasi kekuasaan antara daerah-daerah dengan pusat serta membuat daerah kabupaten/ kota diberikan keleluasaan untuk menghasilkan kebijakan daerah tanpa adanya campur tangan dari pusat. Pada tataran konseptual, praktek tersebut dilandasi oleh pemikiran Mawhood (1987) tentang desentralisasi politik, yakni devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke  daerah untuk mewujudkan persamaan hak-hak politik, akuntabilitas dan responsivitas lokal.
Namun, hingga diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 yang menggantikan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pelaksanaan  otonomi daerah masih banyak menuai masalah, terbukti masih banyak dijumpai ketidaksesuaian dalam pelaksanaannya.   Pertama, adanya persepsi bahwa provinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap kabupaten/kota. Provinsi terkesan ‘takut’,  bahkan ‘minder’  untuk menyentuh domein pemerintahan kabupaten /kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa provinsi mencampuri urusan rumah tangga kabupaten/ kota. Keadaan di mana provinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, takut dan minder untuk berurusan dengan kabupten/kota, sebagai sindrom inferioritas. UU No. 32 tahun 2004 agaknya berupaya mengadopsi problema ini dengan mempertimbangkan perlunya perhatian terhadap aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah.
Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah, dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik, (dalam batas tertentu) telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya “daerah-isme” secara berlebihan. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan,  sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), primordialisme, serta sikap intoleran terhadap orang atau kelompok lain.
Ketiga, implementasi otonomi daerah selama ini juga masih meninggalkan sejumlah persoalan seputar talik-ulur hubungan keuangan pusat dan daerah, hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, serta penataan institusi dan mekanisme lokal. Akibatnya, penerapan otonomi daerah telah banyak menimbulkan berbagai pengaruh pada berbagai aspek kehidupan sosial, ketatanegaraan, termasuk aspek manajemen pemerintahan.

Menata Kekuasaan Lokal

Praktek demokratisasi dengan desentralisasi dan perluasan otonomi daerah yang sedang berlangsung hingga kini dikhawatirkan  menjadi ancaman serius bagi eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa. Konflik pusat-daerah dan gerakan menuntut kemerdekaan, konflik komunal, dan konlik kelas sedang membuat bahkan perbincangan tentang demokrasi menjadi tidak relevan jika keberadaan Indonesia sendiri berada di ujung tanduk. Namun, kekhawatiran itu hendaknya tidak dijadikan pembenar untuk melakukan resentralisasi  kekuasaan melalui berbagai produk legislasi. Dalam kerangka itu elemen penting yang patut dikembangkan adalah penggalangan responsivitas negara. Argumen ini masuk akal kalau difahami bahwa esensi demokrasi adalah penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dengan tetap mengutamakan aspirasi masyarakat lokal. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah:
Pertama, menata hubungan pusat dan daerah yang lebih harmonis yang didasarkan pada kemitraan dan saling ketergantungan. Otonomi daerah yang diterapkan  tidak sama sekali mengacu kepada desentralisasi yang berlebih-lebihan, dan juga tidak mengarah kepada desentralisasi yang bebas tanpa kendali . Dengan demikian, antara pemerintah pusat dan daerah akan tetap terjadi hubungan yang mutual dengan pola hubungan yang dinyatakan dengan ungkapan:”Pusat pusatnya Daerah, dan Daerah daerahnya Pusat”.
Kedua, pelembagaan dimensi perwakilan tidak boleh menutup mata terhadap dimensi diskursifnya. Bergulirnya dikursus dominan atau narasi besar membimbing proses pelembagaan tertentu. Untuk memfasilitasi demokrasi dalam tataran diskursif maka komunikasi politik yang bernuansa indoktrinasi harus dikonversi menjadi komunikasi dialogis sehingga dapat dihasilkan perubahan yang bersifat mendasar. Sebagai contoh, diskursus perjuangan otonomi khusus (otsus) Bali  yang sedang berkembang, oleh pemerintah nasional sesungguhnya bisa dicerna sebagai sinyal pesan kekecewaaan komponen masyarakat Bali. Pemerintah nasional semestinya tidak bersifat reaktif dalam menanggapinya.
Ketiga, menerapkan konsep heteronomi sebagai sebuah prinsip pengaturan yang menghargai heterogenitas. Di dalamnya, keanekaragaman dilihat sebagai sebuah hal yang positif dan produktif dalam upaya pengembangan berbagai bentuk kreativitas (daerah, suku, agama). Berbagai unsur budaya yang plural diberikan hak hidup secara adil, di dalam sebuah ruang demokratisasi kultural. Heteronomi dibangun oleh beberapa prinsip dasar, seperti semangat penghargaan terhadap heterogenitas-inklusif, dekonstruksi yang rekonstruktif, prinsip dialogis, prinsip lintas budaya, multikulturalisme-dinamis, inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan keterbukaan yang kritis . Prinsip ini sejalan dengan beberapa karakteristik dari konsep ‘Tirtha’ yang dikemukakan oleh Kautilya. Konsep ‘Tirta’ berkaitan dengan pengertian otonomi daerah yang lebih menekankan pada dorongan hati untuk mengangkat kondisi masyarakat. Mereka harus memiliki kemampuan yang sama menuju  tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, berdasarkan integritas dan semangat kebersamaan sehingga pembelaan terhadap masyarakat bisa dilakukan dan  mengantarkannya pada pengejawantahan kekuatan hidup yang dinamis .
Keempat, perkembangan desa adat/ pakraman di Bali menjadi sistem  desa yang bersifat religius merupakan bentuk lanjutan dari desa dalam pengertian wanua/ banua yang sedikit mendapat pengaruh kekuasaan atas. Desa ini sering mesti berjalan seiring dan selaras dengan desa dinas atau yang lebih dikenal dengan keprebekelan, dan kondisi ini masih berlangsung hingga kini, sehingga  masih tetap ada dualisme dalam sistem pemerintahan desa di Bali. Berlangsungnya dualisme tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan, seperti berkembangnya beberapa kelompok pemikiran tentang format pemerintahan desa di Bali yaitu: 1). Pemikiran yang tetap ingin mempertahankan pola seperti  sekarang ini. Desa, kelurahan dan desa adat/ pakraman melaksanakan fungsi seperti yang selama ini telah dijalankannya, hanya perlu lebih dipertegas . 2). Penghapusan semua kelurahan dan dijadikan desa. Bentuk kelurahan dirasakan sangat hirarkis dan bersifat top down. Dengan demikian, pemerintahan desa masing-masing dilakukan oleh desa dinas dan desa adat/ pakraman saja . 3) Menghapuskan desa dinas dan kelurahan karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa yang masuk ke desa asli. Fungsi desa dinas dan kelurahan sebelumnya  diambil alih serta terintegrasi ke dalam pemerintahan desa adat/ pakraman .
Kelima, tata hubungan kabupaten dengan desa adat/ pakraman belum dirumuskan secara jelas, baik secara kelembagaan maupun keuangan. Kebijakan dibangun sangat bersifat ad-hoc dan terkesan politis. Konsesi yang diberikan kepada desa adat/ pakraman bisa dicurigai sebagai budi baik bupati yang sarat nuansa politis  dan tak jarang justru menimbulkan ‘perpecahan’. Hal ini terjadi ketika  pemberian dana oleh Pemkab/ Pemprov kepada desa adat/ pakraman yang dibahasakan sebagai “bantuan” dengan jumlah bervariasi hingga puluhan juta rupiah per tahun per desa adat/ pakraman itu  sering memicu pembentukan desa adat/ pakraman baru melalui upaya pemekaran , yang akhirnya berkembang menjadi konflik vertikal karena persetujuan pemekaran mesti mendapat SK penetapan bupati/ walikota. Kondisi ini menandakan kemampuan dan kemandirian desa adat/ pakraman menangani dan mengelola sumber daya internalnya memang belum maksimal, di samping konteks eksternal seperti masalah otonomi desa sendiri.
Akhirnya, instrumen demokrasi yang digunakan oleh desa adat/ pakraman patut diperhatikan agar tidak  menimbulkan persoalan baru, seperti: penguatan kembali institusi dan aktor politik lama yang feodal dan oligarkis. Kecenderungan penerapan indigenisme yang bisa memancing rasisme dan bersifat  anti pluralisme maupun multikulturalisme . Hal ini karena relasi antar eleman di desa adat/ pakraman seringkali tidak seimbang yang diiringi dengan respons yang rendah terhadap pluralisme dan heterogenitas. Begitu pula konflik antar desa adat/ pakraman, serta antara desa adat/ pakraman dengan kelompok individu masih kerap terjadi. Oleh karena itu kebebasan berdemokrasi seiring pemencaran kekuasaan pusat ke daerah dan desa saat ini mesti dimaknai dan diiplementasikan secara bijaksana. Mengenai hal ini Mahathir Mohamad telah mengingatkan: democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and a freedom misinterpreted, the result is anarchy .

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. 1992. Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatera and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Azhari dan Idham Ibty dkk. 2002. Good Governance dan Otonomi Daerah (Menyongsong AFTA Tahun 2003), PKPEK dan FORKOMA-MAP, UGM, Yogyakarta.

Ball, J. van, (ed), 1969. Further Studies in Life, Thought and Ritual, W. van Hoeve Publishers Ltd-The Hague.

Cheema, Shabir G., dan Rondinelli, Dennis A.1983. Implementing Decentralization Programes in Asia: Local Capacity for Rural Development, United Nations Centre for Regional Development, Synthesis Report Series No. 3.

________________________________________(eds) 1988. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hill, USA.

Dhakidae, Daniel, “Membongkar Kebohongan, Komisi Kebenaran dan Merajut Masa Depan” dalam Sumartana, Th, dkk. (eds) 2002, Merajut Masa Depan Indonesia, Pustaka Pelajar dan Interfidei, Yogyakarta.

Djadijono, M., et al. (ed), 2006, Membangun Indonesia dari Daerah, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2001, Reinventing Indonesia: Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Dwipayana, Ari dan Eko, Sutoro (ed), 2003. Membangun Good Governance di Desa, IRE Press, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Ringkasan Eksekutif Laporan PenelitianKerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dengan Kemitraan bagi pembaru Tata Pemerintahan di Indonesia.

_____________, et al, 2003, Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kepndudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

_____________, 2004, “Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fisipol UGM, Yogyakarta, 21 Agustus 2004.

Edi Prasetyo, Wawan, 2006, “Otonomi Khusus: Suatu Harapan untuk Bali”, dalam Djadijono, M., et al. (ed), Membangun Indonesia dari Daerah, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

Fenwick, John.tt. Managing Local Government, Chapman & Hall, London.

Haris, Syamsuddin (ed), 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta.

Hatta, Mohammad, 1981. Bung Hatta’s Answer, Gunung Agung, Singapore

Hiariej, Erick dkk (ed), 2004. Politik Transisi Pasca Soeharto, Penerbit Fisipol UGM, Yogyakarta.

Karim, Abdul Gaffar, (ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta.

Koenig, Matthias, “Democratic Governance in Multicultural Societies: Social Conditions for the Implementation of International Human Rights through Multicultural Policies”, Management of Social Transformations – MOST Discussion Paper No. 30 http://scout.cs.wisc.edu/report/socsci/current/index.html February 23, 1999 Volume 2, Number 11

Narada, Satria, ABG, 2004, Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, Denpasar.

Nordholt, Henk Schulte dan Abdullah, Irwan, 2002. Indonesia in Search of Transition, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1995. Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Piliang, Yasraf A, 2003, “Konsep Heteronomi: Sebagai Strategi Kultural Otonomi Daerah” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Budaya Poestaka, Nomor 6 Tahun XIV Agustus.

Piliang, Yasraf A., 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta.

Pitana, I Gde, “Desa Adat dalam Arus Modernisasi”, dalam Pitana, I Gde (ed), 1994, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit BP, Denpasar.

Pratikno, 2004, “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance” paper disampaikan dalam Seminar in Practice: Pengalaman Indonesia, dalam rangka dies natalis Fisipol UGM ke-49, Sabtu 25 September 2004, Yogyakarta.

Pratikno dan Erawan, 2006, Informal Institutions, State and Public Action in Asia: Case Study in Bali, Indonesia, Institute of Development Studies.

Rao, Krishna, M.V., 2003. (Penerj. I Gede Sura) Studies in Kautilya, Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi Bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma, Denpasar.

Rasyid,  Ryaas, 2002, Menolak Resentralisasi Pemerintahan, Millennium Publisher, Jakarta.

Reuter, Thomas A., 2005. Custodians of the Sacred Montains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Riwukaho, Josef. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Robinson, Geofrey, 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, LkiS, Yogyakarta.

Suharko, 2005. Merajut Demokrasi: Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001), Tiara Wacana, Yogyakarta.

Sumarta, Ketut, 2005, Otonomi Desa Pakraman dalam Dinamika Politik Negara, paper disampaikan pada Semiloka “Konsep dan Implementasi Desa serta Pemberdayaan Desa Sesudah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana bekerjasama dengan yayasan Harkat Bangsa, Jakarta di Denpasar, 15 November.

Sumartana, Th, dkk. (eds) 2002, Merajut Masa Depan Indonesia, Pustaka Pelajar dan Interfidei, Yogyakarta.

Sumarto, Hetifah Sj, 2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta.

Swellengrebel, J.L., Nonconformity in the Balinese Family, dalam Ball, J. van, (ed), 1969. Further Studies in Life, Thought and Ritual, W. van Hoeve Publishers Ltd-The Hague.

Taylor,Charles, Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, Princeton University Press, New Jersey, 1994

The Liang Gie. 1995. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 1991. Perspektif Perilaku Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta.

—————–. 1991. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, MW Mandala, Yogyakarta.

—————–. 1995. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi, Pusdiklat Pegawai Depdikbud, PD Batang Gadis, Jakarta.

Uhlin, Anders, 1995. Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors, Departement of Political Science, Lund University, Sweden.

Wertheim, W.F.(ed), 1960. Bali: Studies in Life, Thought and Ritual, W. van Hoeve Ltd-The Hague and Bandung.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan Cendekia, Surabaya.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2005, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Bayu Media Publishing, Malang.

Read Full Post »