Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari, 2014

Membaca Pikiran Megawati

Oleh: Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti

 

INB”Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati. Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap permisi”.

 

Untaian kata yang amat indah itu diutarakan Najwa Shihab di akhir bincang-bincangnya dengan Megawati Soekarnoputri pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 22 Januari 2014. Kata-kata puitis itu sungguh menggambarkan bagaimana sosok Megawati Soekarnoputri.

Mega memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa lalu. Ia bukan sosok pemimpin politik yang bodoh karena hanya lulusan SMA. Tak banyak orang tahu bahwa ia dipaksa untuk tidak kuliah lagi di sebuah universitas ternama di kota kembang oleh seorang rektor yang kebetulan sama-sama berideologi nasionalis.

 Mega mengalami manisnya kekuasaan saat ayahnya menjadi presiden pertama RI atau saat ia sendiri menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden ke-5 RI. Namun, ia juga mengalami betapa pedihnya saat ayahnya dan ia sendiri menjadi target operasi dari tangan-tangan penguasa di negeri ini, baik pada era Orde Baru maupun era Reformasi. Karena itu, jangan heran jika Mega tidak jarang melangkah secara hati-hati.

 Mega tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa”.

Bagi Mega, persatuan, kesatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa adalah segalanya. Ia tentunya juga tak lupa bait lagu ”Indonesia Raya” yang mengajak seluruh bangsa Indonesia agar ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Tidaklah mengherankan jika keinginan, cita-cita, dan mata hati Mega, seperti yang diungkapkannya kepada Najwa Shihab, adalah Indonesia Raya.

Dua untaian kata, Indonesia Raya, sungguh merasuk kembali ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Ini bisa dilihat dari resonansi yang terjadi setelah Mata Najwa ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014. Hitungan dengan Twetreach menunjukkan ada lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia Raya, menjangkau 6,4 juta akun Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan balik. Tayangan ulang pada 25 Januari menambah kembali 800 resonansi pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau 700.000 Twitter, dan menghasilkan 3 juta terpaan balik.

Tahun penentuan

Mega juga sadar 2014 adalah tahun penentuan bagi masa depan bangsa Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa Kuli” yang sebagian elite politik dan pengusahanya menjadi komprador asing. Karena itu, menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung PDI-P bukan persoalan gampang bagi dirinya.

Ketika tak sedikit lembaga survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.

Seorang pemimpin bangsa yang berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat, melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).

Tak heran apabila Mega dalam banyak kesempatan selalu mengajak Jokowi menyambangi rakyat di sejumlah wilayah, bukan saja sebagai bagian dari pendidikan politik buat Jokowi, melainkan juga untuk menilai apakah Jokowi siap memimpin bangsa ini. Jokowi memang terlalu cepat menjadi capres karena itu harus didampingi seorang negarawan senior yang dapat diterima seluruh bangsa  Indonesia. Dari berbagai pilihan, bukan mustahil Jusuf Kalla adalah pendamping Jokowi yang paling tepat.

Mengapa Mega belum mendeklarasikan capres/cawapres PDI-P? Ada beberapa penyebab, antara lain, Mega tidak ingin capres/cawapres PDI-P akan menjadi sasaran tembak dari berbagai upaya kecurangan pemilu. Kecurangan dapat saja dilakukan aparat pelaksana dan pendukung pemilu seperti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah, aparat pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri dan intelijen negara), dan panitia pemilu di TPS-TPS.

Tahun pemilu ini bukan hanya tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat membangun kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani menyerempet bahaya (vivere pericoloso) sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung) bagi berkembangnya demokrasi dan kejayaan negeri ini.

Tak mau menodai pemilu

Kita tidak sedang hidup dalam suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan penulis Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living Dangerously mengenai situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga tidak dalam situasi politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam seperti pada era 1950-an dan era Orde Baru.

Dalam konteks itu, Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.

Apabila bacaan penulis atas pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia memutuskan ”bukan untuk maju kembali”, melainkan ”mengucap permisi” dan memberi jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya.

Dimuat di KOMPAS,  05 Februari 2014

 *) Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI dan Ketua Harian PP AIPI

Read Full Post »

Merajut Optimisme Pemilu 2014

Oleh: Prof. Dr. Syamsuddin Haris

Pertanyaan besar yang menggantung di langit-langit pikiran kita memasuki 2014 adalah, apakah pemilu legislatif dan pemilu presiden menjanjikan perubahan politik yang bermakna bagi bangsa ini ke depan?

Pertanyaan semacam ini sangat wajar diajukan mengingat pengalaman pahit dan memalukan bangsa kita pada “tahun politik” 2013. Betapa tidak, tahun politik yang semestinya lebih mengedepankan etika berpolitik dan kebajikan berpemerintahan, justru diwarnai korupsi dan persekongkolan politik hampir tiada tara. Ketua Mahkamah Konstitusi, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan konstitusi, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ketika diduga menerima suap terkait sengketa hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sebelum itu KPK menggiring Presiden Partai Keadilan Sejahtera ke pengadilan Tipikor karena dituduh terlibat pengaturan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Sementara itu Ketua Umum Partai Demokrat dan Sekretaris Dewan Pembina Demokrat menjadi tersangka kasus proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang, Bogor.

Semangat luar biasa KPK memberantas korupsi saling berkejaran dengan temuan-temuan baru kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat publik. Di luar kasus dugaan suap dan korupsi yang menimpa Akil Muchtar, Luthfi Hasan Ishak, Anas Urbaningrum, dan mantan menteri Andi Mallarangeng, tahun (korupsi) politik 2013 juga ditandai antara lain penangkapan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini dan penetapan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka sejumlah kasus hukum oleh KPK.

Problem Skema Pemilu
Sulit dipungkiri, skema pemilu-pemilu kita sejauh ini lebih didesain untuk memenuhi aspek prosedural demokrasi ketimbang menghasilkan para pejabat publik yang amanah dan bertanggung jawab. Format pemilu legislatif misalnya, lebih mengedepankan persyaratan formal administratif daripada faktor kompetensi, kapabilitas, dan integritas para kandidat yang diajukan parpol. Perangkat hukum pemilu hanya memfasilitasi mereka yang mampu menjual popularitas, yang acapkali semu, ketimbang rekam jejak teruji sebagai calon wakil rakyat. Peluang publik semakin terbatas lagi ketika sekitar 70-80 persen kandidat yang diajukan parpol adalah para legislator yang selama ini cenderung berkinerja buruk. Usai pemilu, lagi-lagi hampir tidak ada ruang bagi publik menggugat kinerja para wakil terpilih yang tidak bertanggung jawab.

Skema pemilu presiden tidak jauh berbeda. UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang menjadi dasar pilpres mendatang, lebih memfasilitasi para ketua umum parpol sebagai calon presiden ketimbang menjadi wadah bagi tampilnya tokoh-tokoh terbaik negeri ini. Sebagian capres bahkan ditetapkan secara oligarkis dan tertutup oleh segelintir pimpinan pusat parpol masing-masing.

Di atas segalanya, format Pileg dan Pilpres tidak menjanjikan hadirnya pemerintahan hasil pemilu yang terkoreksi dan akuntabel. Skema pemilu-pemilu di satu pihak, dan penegakan pemerintahan yang bersih, efektif, dan akuntabel di pihak lain, seolah-olah merupakan dua agenda terpisah yang tidak terkait satu sama lain. Tidak mengherankan jika, ketika pemilu-pemilu semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung, praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tidak berkurang.

Ruang Optimisme
Lalu, masih adakah ruang yang tersisa bagi optimisme publik?
Pertama, di tingkat negara, masih ada lembaga KPK yang menjanjikan optimisme dengan para komisioner dan penyidik yang tidak mengenal lelah, serta (semoga) tidak terkontaminasi kepentingan politik jangka pendek. Di luar KPK, ada institusi peradilan seperti Mahkamah Agung yang akhir-akhir ini memberi harapan dengan melipatgandakan hukuman dan ganti rugi bagi beberapa terpidana koruptor. Sementara itu di tingkat daerah, masih ada tokoh fenomenal seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dan sejumlah kepala daerah lain yang layak memperoleh apresiasi atas kinerja mereka dalam menegakkan pemerintahan yang relatif bersih, efektif, dan akuntabel.

Kedua, di tingkat masyarakat, ada organisasi-organisasi luar biasa seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang tidak henti-hentinya mengkritisi arah kebijakan negara dan pemerintah serta mengawal demokrasi kita agar tetap berpihak pada kepentingan kolektif bangsa. Di luar itu, terdapat anak-anak muda voluntir, seperti tercermin dari fenomena Indonesian Corruption Watch (ICW), yang setiap saat siap membongkar korupsi, kebusukan politik, dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan para penyelenggara negara di semua tingkat pemerintahan, di pusat dan daerah.

Ketiga, masih di tingkat masyarakat, ada kekuatan media sebagai salah satu elemen utama tegaknya pemerintahan demokratis. Meskipun ada beberapa media yang menjadi bendera politik bagi parpol ataupun kandidat tertentu, hal itu tidak mengurangi kontribusi media pada umumnya, termasuk media online dan media sosial, dalam turut mengawal rasionalitas demokrasi kita. Melalui berbagai media ini pula para penjaga hati nurani bangsa seperti Buya Syafii Maarif dan kaum akademisi yang masih peduli dapat mengingatkan para elite politisi dan penyelenggara agar kembali ke jalan yang benar.

Menyelamatkan Pemilu
Kendati KPK, ICW, dan berbagai elemen masyarakat sipil tidak terkait langsung dengan urusan persiapan pemilu, namun kepedulian lembaga dan tokoh-tokoh perorangan tersebut sekurang-kurangnya memberi harapan akan hari esok yang masih cerah. Artinya, dalam situasi ketika skema pemilu tidak menjanjikan dan para politisi parpol hanya sibuk bersolek diri menghitung potensi elektabilitas, harapan bangsa ini terletak pada potensi kerjasama dan konsolidasi berbagai elemen masyarakat sipil, baik dalam mendukung kerja KPK, maupun mengawal proses pemilu dan pemerintahan hasil pemilu.

Harapan akan perubahan politik yang lebih bermakna bisa dirajut apabila segenap jajaran penyelenggara pemilu, mulai dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, bisa mempertahankan independensi mereka dari pengaruh berbagai kepentingan politik. Selain itu, optimisme publik akan lebih kuat lagi jika ada kerja sinergis antara lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dan berbagai elemen masyarakat sipil dalam mengawal pemilu dan demokrasi kita.

Oleh karena itu komitmen KPK untuk turut mengawal Pileg dan Pilpres 2014, antara lain dengan mengundang para capres untuk menyampaikan visi dan komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi (Kompas.com, 30/12), patut diapresiasi. Jajaran KPU, Bawaslu, dan DKPP perlu merespons secara positif tawaran KPK tersebut bukan hanya dalam rangka kualitas penyelenggaraan pemilu, tetapi juga sebagai momentum untuk memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap pemilu itu sendiri.

Pemilu 2014 akan menjadi pesta demokrasi yang amat mahal tetapi hambar dan tak bermakna jika tidak ada kepercayaan publik terhadap proses pemilu, parpol dan para kandidat. Karena itu sebelum energi bangsa ini terbuang sia-sia, segenap elemen masyarakat sipil perlu mendukung langkah apa pun yang sifatnya menyelamatkan pemilu dari para pembajak demokrasi yang tidak bertanggung jawab.

(Dimuat dalam Kompas, 11 Januari 2014).

Read Full Post »

Sekelumit Prof. Dr (H.C) Miriam Budiardjo, M.A

Prof. Dr (H.C) Miriam Budiardjo, M.A, lahir di Kediri tangal 20 Nopember 1923, meninggal di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, akibat menderita komplikasi pernapasan dan gagal ginjal. Sejak 1 November 2006, perempuan diplomat pertama yang pernah bertugas di New Delhi, India, dan Washington DC, Amerika Serikat (AS), itu sempat beberapa kali dirawat inap di RSCM dan RS Medistra. Beliau, dimakamkan Selasa 9 Januari 2007 pukul 10.00 di TPU Giritama, Desa Tonjong, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ibu Miriam,  meninggalkan seorang putri, Gitayana Prasodjo dan dua cucu. Suaminya, Ali Budiardjo (mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan), berpulang tahun 1999.

Semasa hidupnya, beliau banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Sebelum penugasan pada perwakilan RI di New Delhi, India (1948-1950), dalam rangka perjuangan kemerdekaan, beliau diperbantukan pada Sekretariat Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville. Kemudian beliau ditempatkan di Kedubes RI di Washington (1950-1953) sebagai Sekretaris II sambil meneruskan studi pada Graduate School, Georgetown University, dengan memperoleh MA dalam Ilmu Politik pada tahun 1955 dan mengikuti kuliah di Harvard University (1959-1961).

 Beliau pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan I dan kemudian menjadi Dekan FISIP UI (1974-1979). Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua I Komnas HAM (1993-1998). Pada tahun 1999, beliau terpilih menjadi anggota Tim Sebelas (Tim Persiapan Komisi Pemilihan Umum) dan anggota Panwaslu. Hingga di usiannya yang ke 81, beliau masih memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi antara lain Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan Jurusan Ilmu Ilmu Politik (FISIP-UI).

 Beberapa karyanya yang pernah diterbitkan di antaranya adalah Dasar-dasar Ilmu Politik; Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia; Demokrasi di Indonesia; Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat; Partisipasi dan Partai Politik; Masalah Kenegaraan; Simposium Kapitalisme; Sosialisme; dan Demokrasi; Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa; dan Teori-teori Politik Dewasa ini.

 Ibu Miriam pernah memperoleh tiga tanda jasa, yaitu Bintang Jasa Utama pada tahun 1975 untuk pengabdian kepada Republik Indonesia selama masa perjuangan kemerdekaan; Bintang Mahaputera Utama pada bulan Agustus 1998, dan Bintang Jasa Utama pada bulan Agustus 1999 atas pengabdiannya sebagai Anggota Tim Sebelas (Tim Persiapan Komisi Pemilihan Umum).

 Disampaikan pada acara Miriam Budiardjo Lectures “Perkembangan Ilmu Politik Kontemporer di Indonesia”, di Widya Graha LIPI, Selasa 11 Maret 2008.

Sumber http://www.aipi-politik.org/kolom-aipi/220-sekelumit-prof-dr-h-c-miriam-budiardjo-m-a

 

 

Read Full Post »

Sekelumit Dr. Alfian

SEKELUMIT DR. ALFIAN

Ditulis oleh: Prof. Dr. Syamsuddin Haris
Disampaikan pada acara Alfian Lectures “Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia”. Jakarta, 17 Maret 2005

Doktor Alfian, penggagas dan salah seorang pendiri Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) meninggalkan kita dan dunia yang fana ini dalam usia 52 tahun pada 25 November 1992, hampir tigabelas tahun yang lalu. Suami dari Magdalia (Melly) yang belum dikaruniai anak ini meninggal setelah beberapa waktu dirawat usai menjalani operasi jantung di Jerman. Siapa sebenarnya Alfian dan bagaimana kiprahnya semasa hidup, jelas terlihat dari kehadiran beragam kalangan di rumah duka dan pada saat pemakaman almarhum. Presiden Soeharto, sejumlah menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, anggota DPR, politisi, tokoh masyarakat, dan para akademisi menyempatkan hadir untuk melayat serta memberikan penghormatan terakhir.

 Dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 9 Oktober 1940, Alfian adalah salah seorang pionir perkembangan ilmu politik di Indonesia. Alfian meraih gelar doktor (Ph.D)  ilmu politik dalam usia sangat muda, yakni 28 tahun, dari University of Wisconsin, Amerika Serikat pada 25 Januari 1969. Putera Minang yang tamat Sekolah Rakyat di Solok, sekolah menengah pertama di Lampung, dan sekolah menengah atas di Jember (Jawa Timur) ini, menyelesaikan sarjana mudanya di Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik Universitas Nasional. Alfian merupakan doktor ilmu politik kedua yang dimiliki Indonesia setelah Prof. Dr. Deliar Noer –seniornya di Universitas Nasional.

 Setelah kembali dari Wisconsin, Alfian mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan ilmu politik di Indonesia melalui profesinya sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sebagai staf pengajar pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Di LIPI, Alfian pernah menjabat sebagai Direktur LRKN (Lembaga Research Kebudayaan Nasional) periode 1980-1985, setelah sebelumnya menjadi Asisten Direktur LEKNAS (Lembaga Ekonomi Nasional). Sejak 1986 hingga menjelang akhir hayatnya, Alfian adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI. Sementara itu di Universitas Indonesia, selain sebagai staf pengajar, Alfian pernah menjadi Ketua Departemen Ilmu Politik dalam waktu yang cukup lama (1976-1982).

 Dalam konteks kajian politik, Alfian adalah perintis penelitian-penelitian politik sekaligus menjadi Kepala Pusat-nya yang pertama di LIPI. Sedangkan dalam konteks pengajaran ilmu politik, bersama-sama Prof. Miriam Budiardjo, Alfian ikut merintis pengembangan jurusan dan kurikulum pengajaran ilmu politik melalui Departemen Ilmu Politik yang pernah dipimpinnya di UI. Pada periode ini, Alfian menerbitkan buku kecil, Political Science in Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1979) yang turut mengukuhkannya sebagai salah seorang perintis perkembangan ilmu politik. Buku tersebut, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit yang sama (Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia, 1980), merekam perkembangan ilmu politik yang masih sangat muda di Tanah Air.

Selain meniti karir di dunia akademik sebagai peneliti dan dosen, Alfian adalah seorang praktisi politik dan juga birokrat sekaligus. Pada periode akhir hidupnya, Alfian adalah salah seorang pengurus pusat Golongan Karya –partai pemerintah dan mesin politik Soeharto—di samping sebagai salah seorang Deputi pada BP-7, salah satu instrumen sistem otoriter Orde Baru.

 Sudah tentu, keterlibatan Alfian sebagai praktisi politik dan birokrat Orde Baru ini menimbulkan kontroversi mengenai posisi intelektualnya. Apalagi, sejak awal 1970-an, Alfian turut membangun perspektif teoritis tentang “Demokrasi Pancasila” sebagai semacam sintesa dari praktik “Demokrasi Liberal” era 1950-an, dan Demokrasi Terpimpin Soekarno pada paroh pertama 1960-an. Namun barangkali, disitulah sosok utuh dan juga unik dari Alfian. Di satu pihak, dia turut merintis perkembangan ilmu politik melalui profesi sebagai peneliti dan dosen, tetapi di pihak lain dia tidak pernah menjaga jarak dengan kekuasaan.

Secara agak sinis mungkin ada yang menyebut Alfian tidak konsisten atau sejenisnya. Akan tetapi, ilmu politik adalah sebuah disiplin yang berbicara tentang kekuasaan dengan berbagai problematiknya. Seorang peneliti ataupun dosen ilmu politik tak pernah benar-benar bisa menjaga jarak dari kekuasaan sebagai obyek kajiannya. Perspektif ideologis seorang peneliti ataupun dosen acapkali mewarnai pengamatan dan penilaiannya terhadap kekuasaan.

 Ditinjau dari kacamata demikian, Alfian sesungguhnya adalah sosok intelektual yang “terlibat”, terlepas dari penilaian minor tentang kualitas keterlibatannya, karena bisa sangat berbeda pada setiap orang. Alfian sendiri merumuskan format keterlibatan intelektualnya dengan menggagaskan pembentukan wadah bagi para sarjana dan atau ahli ilmu politik. Dimulai dengan pertemuan para sarjana dan atau ahli ilmu politik di Widya Graha LIPI, Jakarta, pada akhir Desember 1984, bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan politik yang lain, Alfian mendirikan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) pada  1985. Kelahiran AIPI diinspirasikan terutama oleh keberadaan asosiasi profesi prestisius sejenis, American Political Science Association (APSA), di Amerika Serikat. Seperti APSA yang menjadi wadah para ilmuwan politik Amerika dan menerbitkan jurnal ilmiah tentang perkembangan teori politik mutakhir, AIPI yang menjadi wadah para sarjana dan atau ahli politik Indonesia juga menerbitkan Jurnal Ilmu Politik sejak 1986. Alfian kemudian dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat AIPI yang pertama. Obsesi Alfian untuk mendirikan organisasi profesi serupa pada tingkat ASEAN belum sempat terwujud hingga akhir hayatnya.

Melalui AIPI, Alfian tidak hanya berobsesi tentang pengembangan pendidikan dan pengajaran ilmu politik berdasarkan state of the art dan perkembangan mutakhir, melainkan juga dalam rangka –meminjam bahasa Orde Baru—“memasyarakatkan” ilmu politik. Konteks pengembangan pendidikan dan pengajaran ilmu politik tampak dari pendirian cabang-cabang AIPI di kota-kota di mana terdapat universitas yang memiliki salah satu jurusan yang dicakup dalam lingkup ilmu politik, yakni ilmu politik, ilmu pemerintahan, administrasi negara, dan hubungan internasional. Sementara itu konteks diseminasi kajian-kajian politik dilakukan melalui penerbitan buku hasil seminar-seminar tentang isu politik mutakhir –seperti Seminar Nasional AIPI ke-19 tentang Pilkada Langsung yang akan diselenggarakan di Batam pada 22-24 Maret 2005 mendatang.

Seminar-seminar nasional yang diselenggarakan AIPI, yang sampai saat ini sudah berlangsung untuk ke-18 kalinya, tidak hanya menjadi momentum bagi interaksi di antara para sarjana dan atau ahli politik, melainkan juga menjadi wadah interaksi antara para akademisi ilmu politik dan praktisi politik serta birokrat. Oleh karena itu dalam perkembangannya selama 20 tahun terakhir, AIPI tidak hanya mendiskusikan perkembangan teori dan isu politik mutakhir, tetapi juga memberikan kontribusi pemikiran dan rekomendasi dalam rangka perubahan kebijakan, meski tidak semua rekomendasi AIPI diakomodasi oleh para perumus kebijakan. Dalam konteks perubahan terhadap UUD 1945 misalnya, AIPI sepeninggal Alfian dan melanjutkan tradisi yang pernah diletakkannya, pernah mengadakan kerjasama dengan PAH I MPR menyelenggarakan seminar di Pekanbaru, Riau.

 Sebagai pribadi, Alfian adalah sosok seorang demokrat dalam pengertian yang sesungguhnya. Meskipun posisi intelektualnya berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang dengan para koleganya di dalam dan di luar AIPI, Alfian tak pernah menjaga jarak dengan siapa pun. Dia bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan ideologi dan pemikiran politik. Tak mengherankan jika Alfian bersahabat secara tulus dengan banyak orang dari beragam kalangan, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, tanpa pernah merasa kehilangan intergritasnya.

Dalam profesinya sebagai peneliti, dosen, dan birokrat sekaligus, Alfian adalah sosok yang sangat berhasil. Alfian juga adalah seorang organisatoris yang berhasil, baik ketika menjadi Direktur LRKN LIPI, Ketua Departemen Ilmu Politik FIIS UI, dan Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial di Banda Aceh, maupun tatkala menjadi Ketua Umum PP AIPI. Namun sayangnya, Alfian gagal dalam satu hal, yakni mengendalikan pengaruh buruk rokok terhadap kesehatannya. Alfian dikenal sebagai seorang perokok berat dan penikmat sejati dari jenis makanan berkadar lemak tinggi, terutama masakan Padang yang menjadi kesukaannya.

 Setelah mengalami tiga kali operasi jantung, Alfian tak bisa lagi bertahan. Dia telah meninggalkan kita. Namun dia tak hanya dikenang karena buku-buku dan karya akademiknya, atau lantaran sosok pribadinya sebagai seorang yang demokrat, melainkan juga karena warisan semangatnya yang tak pernah henti mendorong para peneliti dan dosen muda untuk terus maju dan mengembangkan diri. Karena itu pula sudah sepantasnya jika AIPI menjelang Seminar Nasional XIX dan Kongres VI di Batam, menyelenggarakan kegiatan hari ini, tiada lain, kecuali dalam rangka menghormati dedikasi almarhum Doktor Alfian bagi perkembangan ilmu politik di Tanah Air.

Jakarta, 17 Maret 2005

Sumber http://www.aipi-politik.org/kolom-aipi/219-sekilas-tentang-dr-alfian

Read Full Post »

Akhir Politik Transaksional ?

Oleh: Firman Noor, Ph.D

DENGAN diputuskannya pemilu serentak oleh MK beberapa waktu lalu, Indonesia diyakini oleh banyak pihak akan memasuki babak baru kehidupan politik yang lebih cerah. Sebagian besar kalangan menyambutnya dengan suka cita, terutama mereka yang selama ini kecewa dengan berbagai ekses negatif yang ditimbulkan oleh format pelaksanaan pemilihan sebelumnya, yang telah menyuburkan politik transaksional.

Dengan dilakukannya pemilihan legislatif (pileg) terlebih dahulu, sebagaimana yang telah terjadi selama ini, ikatan koalisi pemerintahan yang dibentuk lebih didasari oleh kepentingan sekadar menang. Pemerintahan tidak dilandasi oleh sebuah peleburan platform, visi, atau setidaknya kepentingan strategis jangka panjang, yang bertujuan menciptakan landasan atau grand design peningkatan kualitas hidup bangsa.

Ujung-ujungnya adalah terciptanya pemerintahan yang lebih mengakomodasi kepentingan eksklusif pihak-pihak yang tergabung dalam ”koalisi dadakan”, yang terbentuk pasca pileg tersebut. Sebagai pihak yang turut senang dengan adanya keputusan MK tersebut, penulis merasa kebijakan itu telah tepat. Namun demikian, perlu dicermati bahwa dengan ditetapkannya aturan main itu, jelas tidak serta-merta akan menghapuskan gejala politik transaksional.

Ada beberapa kondisi yang tidak juga kunjung terselesaikan hingga hari ini, yang justru berpotensi mengekalkan politik transaksional di kemudian hari. Pertama adalah kenyataan bahwa situasi ideologisasi partai-partai politik telah berada pada titik nadir. Kehidupan partai saat ini lebih dinaungi oleh pendekatan oportunisme, yang mengaburkan hakikat ideologi partai-partai. Tidak seperti tahun 1950-an, saat ini sebagian besar partai semakin menempatkan ideologi pada posisi yang ”paling privat”.

Eksis hanya di benak pikiran para ideologi partai, yang jumlahnya semakin terbatas dan terasingkan. Ketidakjelasan ideologis ini cukup menggejala yang tercermin, misalnya, dengan demikian mudahnya partai-partai membangun koalisi lintas ideologi untuk kemudian menciderainya. Begitu pula dengan diambilnya keputusan-keputusan strategis partai, yang kerap ditentukan oleh segelintir orang, bahkan satu orang, yang dituntun oleh kalkulasi oportunisme dan bukan sebuah ideological exercise. Padahal studi Ambardi (2009) berjudul ”Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia” mengindikasikan bahwa manakala ideologi tidak berperan, maka persoalan politik transaksional hanya tinggal menunggu waktu.

Dikatakan bahwa ketidakjelasan ideologi adalah salah satu hakikat mendasar yang menopang tumbuhnya, atau bahkan menjadi jati diri, dari fenomena politik kartel. Fenomena ini menggejala dengan semakin lemahnya peran ideologi pasca pelaksanaan pemilu.

Maksudnya adalah pasca proses elektoral, manuver-manuver oportunistis dapat terus menggejala dan berpotensi menghasilkan apa yang disebut sebagai koalisi turah (grand coalition), di mana partai-partai itu, baik di parlemen ataupun di pemerintahan, karena kepentingan oportunistisnya, saling melindungi layaknya sebuah kartel. Dengan demikian, semakin tersingkirnya ideologi dalam tubuh partai-partai menyebabkan politik transaksional menjadi cenderung menguat.

Kedua, masih terkait dengan oportunisme, kentalnya keinginan partai-partai untuk selalu ingin tetap berada dalam lingkaran kekuasaan, dengan segala cara, merupakan penyebab lain tetap kuatnya politik transaksional.

Salah satu alasan di balik keinginan untuk tetap berada dalam lingkar dalam kekuasaan adalah demi melanjutkan eksistensi partai, mengingat salah satu sumber pemasukan partai dan segenap jaringannya, adalah jabatan-jabatan publik yang dimilikinya.

Situasi ini menjadi relevan mengingat saat ini kebanyakan partai tidak dapat mengharapkan pemasukan dari iuran anggota. Perludem dalam bukunya berjudul Bantuan Keuangan Partai Politik. Metode Penetapan Besaran, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan mengatakan seiring dengan memudarnya peran ideologi, partai politik sama sekali tidak dapat lagi mengandalkan iuran anggota untuk menghidupi aktivitas kesehariannya (2012: 7).

Sementara itu, di sisi lain, bagi partai-partai tertentu, kebutuhan akan ”gizi” yang berorientasi dari uang dan demi uang menyebabkan adanya politik biaya tinggi. Untuk mencegah kebangkrutan lebih lanjut, pilihan-pilihan pragmatis menjadi tidak terhindarkan.

Untuk persoalan ini, kerap partai tidak malu untuk meninggalkan mitra koalisinya untuk bergabung atau beralih dengan mitra yang lain. Situasi beralihnya dukungan semacam ini bukan hal yang asing. Hal ini sudah dicontohkan, misalnya, dengan bergabungnya Golkar pada Koalisi SBYKalla, meski tadinya adalah partai inti pendukung Wiranto- Salahuddin Wahid. Lima tahun kemudian situasi itu terulang dengan masuknya Golkar dalam barisan pendukung SBY-Boediono, meski sebelumnya mendukung pasangan Kalla-Wiranto. Manuver pragmatis semacam itu masih terbuka peluang terjadi lagi jika prasyarat dua putaran masih ada dalam prosesi pemilihan presiden (pilpres).

Dan memang inilah faktor ketiga yang memungkinkan masih menguatnya politik transaksional yakni, aturan main dua putaran. Aturan ini menyebabkan persoalan politik transaksional hanya pindah waktu saja. Jika sebelumnya kesepakatan transaksional dimulai pasca-pileg sebelum pilpres, dan mengalami penguatan pada masa sesudahnya. Maka ke depan, politik transaksional mungkin terjadi pasca-pilpres, baik selepas pilpres putaran pertama, ataupun pada saat menjelang penyusunan kabinet. Sambil menunggu putaran kedua, bukan tidak mungkin akan tercipta transaksi politik antara mereka yang kalah pada putaran pertama dengan yang masuk di putaran kedua. Upaya untuk mendapatkan mesin dan jaringan partai untuk menyukseskan kandidat pasangan capres-cawapres yang dipertukarkan dengan posisi strategi di pemerintahan menjadi agenda penting pada transaksi itu.

Bahkan bukan tidak mungkin, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh studi Ambardi, kartelisasi tetap berpotensi terjadi pasca pilpres yakni, saat kabinet telah tersusun. Yang ditandai dengan pola hubungan yang cukup tenang (adem ayem) antara parlemen dan eksekutif, di mana jarang atau bahkan tidak adanya perdebatan yang bernas antara oposisi dan pemerintah atas sebuah kebijakan.

Sebagai jawaban atas ini semua adalah jelas pembenahan internal partai. Ideologisasi atau internalisasi nilai-nilai atau norma-norma harus dikembangkan dan diperkuat lagi. Penekanan pada aspek- aspek ”kejujuran ideologis” harus menjadi penjuru, mulai dari dalam perilaku, dan kebijakan partai hingga sebagai patokan penentuan karier para kader.

Singkatnya, pemodernan partai dengan menguatkan lagi peran ideologi sesuai dengan proporsinya tidak dapat dielakkan dan harus dimulai sesegera mungkin. Hanya dengan itulah, politik transaksional, yang berintikan sikap nonideologis dan oportunistis, dapat diredam dengan lebih efektif.

Sebagian kalangan mungkin melihat bahwa penguatan kembali nuansa ideologis partaipartai akan berpotensi mengulangi keruwetan pertarungan ideologis partai-partai sebagaimana yang terjadi di dasawarsa 1950-an.

Namun, pengalaman beberapa kali pemilu di era reformasi menunjukkan bahwa absennya ideologi telah menyebabkan pemerintah muncul tanpa karakter, berjalan tersendat dan penuh keraguan. Di kemudian hari, absennya ideologi tidak saja dapat menyebabkan partai hanya sekadar menjadi alat bagi siapa pun untuk melampiaskan hasrat berkuasa yang oportunistis, namun pula memunculkan pemerintahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara nalar maupun moral.
*) Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI

Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/2014/01/29/18/831008/akhir-politik-transaksional

Read Full Post »

Older Posts »