Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Mei, 2009

MENGAJARI ANAK BERDEMOKRASI

Oleh Wayan Gede Suacana

Sosialisasi demokrasi pada anak adalah proses yang memungkinkan bagi seorang anak memperoleh pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan sikap demokratisnya menghadapi segala perbedaan dalam masyarakat  multikultural. Oleh karena itu, mengajari anak berdemokrasi berarti mengalirkan seperangkat nilai-nilai demokrasi sebagai dasar filsafat hidup bahwa pribadi manusia adalah makhluk bebas dan sederajat dengan sesamanya. Hal ini penting dilakukan untuk pembentukan watak dan karakter anak agar bertumbuh menjadi manusia berkualitas, berkepribadian, serta bertoleransi dalam kehidupan bersama kelak.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sikap dan perilaku ‘simulakra demokrasi’ ala anggota dewan itu erat kaitannya dengan proses sosialisasi politik yang diterima sejak masa anak-anaknya. Proses ini memang berlangsung seumur hidup, yang diterimanya baik melalui pendidikan formal, non-formal dan informal, atau tak sengaja melalui pergaulan dan pengalaman hidup sehari-hari. Sayangnya, sebagaimana pengamatan Robert Le Vine, sosialisasi nilai-nilai demokrasi di negara-negara berkembang__termasuk Indonesia__ cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem politik nasional. Kenyataan ini tidak saja berakibat pada kesulitan dalam pengambilan keputusan strategis, tapi juga berbuntut pada friksi ‘koalisi-koalisi’-an yang semakin kerap mengemuka.

o Program Usia Dini

Segala fenomena itu makin menyadarkan kita bahwa demokrasi memang tidak dapat dipelajari secara instan, misalnya melalui sebuah kursus ‘kilat’ ketika seseorang baru terpilih dan duduk sebagai anggota dewan. Hal itu tak ubahnya seperti upaya membentuk gaya dan kepribadian baru dalam berdemokrasi dari landasan kepribadian lama yang sesungguhnya tidak lentur lagi. Sebuah upaya yang pasti sangat sulit, karena nilai-nilai demokrasi yang mengendap dan tertanam dalam alam bawah sadarnya sudah sangat melekat dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi dan kebudayaan dimana yang bersangkutan berada.

Nilai-nilai demokrasi tersebut semestinya sudah disosialisasikan pada seseorang sejak mereka masih menginjak usia dini. Program ini penting, karena ada keyakinan dalam psikologi perkembangan anak, bahwa pengalaman-pengalaman pada masa usia dini merupakan landasan dasar bagi bentuk kepribadian seseorang pada saat sekarang. Lebih dari itu, ‘diri anak’ yang pernah dialami di masa lalu, pada hakekatnya masih ‘ada melekat’ pada diri seseorang setelah dewasa. Sampai derajat tertentu, kita merupakan produk dari pemeliharaan dan pembentukan yang telah diterima pada masa anak-anak. Walaupun pribadi seseorang sudah menjadi dewasa, namun unsur-unsur ‘anak-anak’ itu masih selalu akan menetap lekat pada diri masing-masing.

o Prinsip-prinsip Dasar

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan bagaimana mengajarkan anak berdemokrasi. Meskipun isi dan cara pelaksanaannya berbeda-beda, sosialisasi demokrasi sebagaimana pendapat Rafael Raga Maran, sesungguhnya memuat prinsip-prinsip dasar yang sama. Pertama, ajarkan pada anak prinsip-prinsip persamaan. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip persamaan adalah persamaan kesempatan bagi semua orang untuk mengembangkan potensi fisik, intelektual, moral, spiritual dan untuk mencapai tingkat partisipasi sosial oleh setiap pribadi yang setara dengan tingkat kematangan yang telah diperolehnya. Sebagai konsekuensinya, anak harus paham bahwa tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar setiap orang, dan oleh karenanya memberikan kesempatan yang sama pada teman-temannya dalam melakukan sesuatu.

Kedua, menghargai adanya perbedaan. Dengan teknik visualisasi anak dapat diajarkan bahwa taman dengan aneka jenis dan warna kembang tampak lebih indah daripada yang hanya dihiasi oleh sejenis kembang. Pandangan tentang keberagaman bisa ditanamkan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan memberikan anak kebebasan memilih sesuatu (yang berbeda): sekolah, pakaian, makanan, hobi dll. Berbagai bentuk penyeragaman yang dilakukan sesungguhnya banyak mengadopsi Teori X dari McGregor yang memandang kecenderungan prilaku anak ke arah negatif, sehingga perlu semacam ‘uniform’ agar mudah mengawasi dan mengendalikannya. Tindakan semacam ini hanya akan mengarahkan anak kepada pola pikir satu arah, tidak berani berbeda—dan menjadi tidak toleran__ yang sesungguhnya lebih banyak bersumber pada ketidakpercayaan orang tua/ guru terhadap anak.

Ketiga, hormat terhadap nilai-nilai luhur manusia. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia adalah tugas yang tak bisa ditawar-tawar oleh siapa pun, dan oleh karenanya harus tertanam dalam jiwa anak. Anak memahami bahwa kesejahteraan manusia jauh lebih penting daripada tujuan mana pun. Kesejahteraan manusia selalu menjadi tujuan dan tak pernah boleh menjadi sarana demi tujuan lainnya. Bahayanya, bila hal ini tidak ditekankan pada anak, suatu saat__misalnya ketika ia menjadi anggota DPR__ia bisa saja merealisasikan suatu tujuan dengan mengorbankan kesejahteraan manusia. Dalam ungkapan Nicollo Machiavelli, tujuan menghalalkan segala cara, sesuatu yang sangat bertentangan dengan hakekat demokrasi.

Keempat, menghormati hak-hak sipil dan kebebasan. Bagaimanapun kebutuhan akan kebebasan individual dan sosial harus dipenuhi. Namun harus disampaikan pada anak, bahwa kebebasan itu tetap punya batas. Batasnya adalah bahwa kebebasan itu dilaksanakan demi pemenuhan hak dan kebaikan orang lain. Jadi kebebasan yang diijinkan di sini bukanlah kebebasan yang mengarah pada anarki sosial. Anak dapat diajarkan disiplin diri, yakni suatu pengendalian diri yang muncul dari hati nurani, kesadaran dan tanggung jawab sosial individu, atau dari kesadaran dan rasa hormatnya terhadap kebutuhan, hak-hak, dan nilai-nilai luhur sesamanya.

Akhirnya, last but not least, anak juga diajarkan agar dapat bersikap menjunjung tinggi fair play dalam setiap kesempatan. Sikap ini mengandaikan adanya ketahanan diri tergadap godaan untuk mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Ini tergantung dari suatu sikap hormat, tidak hanya terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Hasil riset dalam bidang psikologi perkembangan kepribadian menunjukkan dengan jelas bahwa rasa hormat yang diperoleh dari orang lain, dan rasa hormat yang diberikan itu sama sekali tak dapat dipisahkan. Pendek kata, rasa hormat diperoleh dengan menunjukkan rasa hormat, supaya dihormati kita harus menghormati orang lain. “Apa yang kita tanam itulah yang kita petik”, jika kita menanam  hormat dan respek pada orang lain, kita akan menuai penghormatan dan respek dalam jumlah yang berlimpah.

Dengan mengajarkan anak berdemokrasi sejak usia dini, maka berarti kita telah ikut membantu mempersiapkan sebuah generasi penerus dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang memegang teguh  nilai-nilai etika, moral dan sosial. Munculnya generasi demikian, oleh Svami Vivekananda dianggap sebagai “gong kematian” bagi fanatisme dan eksklusivisme serta semua sifat buruk sangka yang  (masih) kita rasakan dalam pencapaian tujuan kehidupan bernegara. PR. Sarkar menyatakan, in the political sphere, the should be the rule of moralist people, for immoralist cannot lead society, they cannot inspire the people into the path of rightousness.

Read Full Post »

STRATEGI BUDAYA DALAM

OTONOMI DAERAH

Oleh Wayan Gede Suacana

Manifestasi empirik paradigma yang dianut dalam berotonomi daerah saat ini adalah perubahan struktur kewenangan dan orientasi dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik. Kewenangan daerah sangat besar sesuai dengan paradigma otonomi yang luas, bulat dan utuh, sebaliknya kewenangan pusat dan provinsi sangat limitatif. Dalam prakteknya, kondisi ini sering meninggalkan persoalan, seperti mis-persepsi antara gubernur dan bupati/ walikota (Bali Post, 30/11-2004) dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Pergeseran kewenangan dan orientasi tersebut, lebih memungkinkan berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik relasi kekuasaan antara daerah-daerah dengan pusat serta membuat daerah kabupaten/ kota diberikan keleluasaan untuk menghasilkan kebijakan daerah tanpa adanya campur tangan dari pusat. Pada tataran konseptual, praktek tersebut dilandasi oleh pemikiran Mawhood (1987) tentang desentralisasi politik, yakni devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke  daerah untuk mewujudkan persamaan hak-hak politik, akuntabilitas dan responsivitas lokal.

Untuk mencapainya, pemerintah daerah harus memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, pendapatan daerah sendiri, DPRD yang mampu mengontrol eksekutif daerah, serta kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan begitu, desentralisasi politik akan mampu menciptakan democratic governance, dimana rakyat memiliki akses yang lebih besar dalam mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap berbagai aspirasi dan tuntutan rakyat.

o Problema Otonomi

Namun, hingga akhir pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan menjelang pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terbukti masih banyak dijumpai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.

Pertama, adanya persepsi bahwa provinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap kabupaten/kota. Provinsi terkesan ‘takut’,  bahkan ‘minder’  untuk menyentuh domein pemerintahan kabupaten /kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa provinsi mencampuri urusan rumah tangga kabupaten/ kota. Desi Fernanda (2000), dan Tri Widodo (2001), menyebut keadaan di mana provinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, takut dan minder untuk berurusan dengan kabupten/kota, sebagai sindrom inferioritas. UU No. 32 tahun 2004 agaknya berupaya mengadopsi problema ini dengan mempertimbangkan perlunya perhatian terhadap aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah.

Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah, dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik, (dalam batas tertentu) telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya “daerah-isme” secara berlebihan. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan,  sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), primordialisme, serta sikap intoleran terhadap orang atau kelompok lain.

Ketiga, implementasi otonomi daerah selama ini juga masih meninggalkan sejumlah persoalan seputar talik-ulur hubungan keuangan pusat dan daerah, hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, serta penataan institusi dan mekanisme lokal. Akibatnya, penerapan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 lalu telah banyak menimbulkan perdebatan wacana, yang menyoroti berbagai persoalan __sebagian ditengarai akibat kelahiran prematur UU ini pada  5 tahun silam.

Akan tetapi, ada satu persoalan yang jarang dicermati, yaitu persoalan “keterbatasan cakrawala” dalam melihat proses otonomi itu sendiri. Otonomi daerah selama ini hanya dilihat dalam cakrawala geo-politik yang terbatas, sebagai proses “terlepasnya” daerah-daerah dari pusat, yang kemudian diberikan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks kajian budaya (cultural studies), cara pandang demikian menjadi parsial karena batas-batas geo-politik dan sosio-kultural sudah mencair dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada sebelumnya. Implikasinya, provinsi /kabupaten / kota tidak lagi dapat menentukan, mendefinisikan diri dan lingkungannya dalam kerangka berpikir dan bertindak secara utuh sebagaimana sebelumnya.

o Prinsip Heteronomi

Dalam kondisi seperti itu, tidak berlebihan harapan untuk memaknai otonomi dalam kerangka perubahan kultural yang lebih luas dan holistik, yang didalamnya berbagai keuntungan bisa diperoleh. Konsepsi JF Lyotard (1989), misalnya, menekankan prinsip “pengaturan”, yang disebut: “postmodernisme”. Prinsip tersebut dibangun berdasarkan “dekonstruksi” terhadap apa yang disebut sebagai Narasi Besar (berbagai asumsi mengenai universalitas, homogenitas dan sentralitas), untuk kemudian berpencar ke arah “narasi-narasi kecil” (berbagai asumsi mengenai heterogenitas, pluralitas dan lokalitas). Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme yang berusaha menembus “pengkotakan” dan batas-batas dualisme yang ada. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity).

Sebagai realisasinya, Piliang (2003), menganjurkan agar perspektif untuk melihat otonomi diperluas, dengan melihat otonomi sebagai sebuah jaringan (web), yang di dalamnya dapat dibangun garis-garis hubungan antar budaya (trans-cultural) yang sangat kaya, inilah filsafat trans-politics. Di dalam jaringan kultural tersebut, setidak-tidaknya terdapat tiga relasi kultural yang dapat dibangun, yaitu antardaerah (local-local), antar daerah dan pusat (local-center), antara daerah dan unsur-unsur global (local-global).

Perspektifi otonomi demikian, diistilahkannya dengan heteronomi yakni sebuah prinsip pengaturan yang menghargai heterogenitas. Di dalamnya, keanekaragaman cenderung dilihat sebagai sebuah hal yang positif dan produktif dalam upaya pengembangan berbagai bentuk kreativitas (daerah, suku, agama). Berbagai unsur budaya yang plural diberikan hak hidup secara adil, di dalam sebuah ruang demokratisasi kultural.

Dengan paradigma heteronomi, otonomi daerah dipandang dari sudut postmodernisme dan multikulturalisme, yakni proses dekonstruksi terhadap struktur pemerintah Orde Baru, yang bersifat otoritarian-sentralistik. Lalu, dilanjutkan dengan proses rekonstruksi “narasi-narasi kecil”, berupa daerah-daerah otonom yang plural dan terpinggirkan, yang diharapkan dapat meregulasi dirinya masing-masing.  Tahap ini perlu “pengaturan bersama” agar narasi-narasi kecil tersebut  tak berubah wujud menjadi “fasis-fasis kecil”, yang didasari oleh primordialisme. Setiap komunitas dibiarkan hidup dengan wacana dan rasionalitas lokal masing-masing yang selama ini sudah “jalan” sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi sebuah tradisi. Tradisi semacam ini dengan “rasionalitas lokal” masing-masing dapat diketegorikan ke dalam terminologi Kuhn (1962) sebagai “paradigma”, yang dalam realitas masih sangat membutuhkan toleransi.

Oleh sebab itu, dalam implementasi UU No. 32 tahun 2004 ke depan, otonomi daerah seyogianya dilihat (kembali) sebagai “persoalan bersama”, yang di dalamnya daerah tidak saja memikirkan kepentingan dan masa depannya sendiri (prinsip otonomi), tetapi juga “nasib” daerah tetangganya, atau sebaliknya (prinsip toleransi). Artinya, lewat prinsip otonomi, daerah tidak hanya memanfaatkan peluang “kebebasan bertindak” yang diperoleh, tetapi juga dapat mengembangkan sikap dialogis, sikap negosiatif, sikap saling persuasif, sikap komunikatif, dan sikap saling pengertian yang mutual.

Dengan paradigma heteronomi tersebut juga terkandung semangat penghargaan terhadap heterogenitas, dialog kultural, trans-kultural, multikulturalisme, inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan keterbukaan yang kritis. Semuanya itu, merupakan fondasi dan strategi budaya otonomi daerah dalam rangka membangun masa depan bersama yang lebih baik.

Read Full Post »

MEMBENAHI KUALITAS LAYANAN PUBLIK

DENGAN CRC

Oleh Wayan Gede Suacana

Layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga khususnya dalam hal perijinan, layanan air minum, listrik, pendidikan, dan kesehatan masih sering mendapatkan sorotan. Kualitas layanan yang meliputi tingkat tangible, reliabilitas, responsivitas, kepastian, dan empati masih memerlukan pembenahan. Salah satu motode yang baru dikembangkan adalah dengan menilai dan mengadvokasi melalui CRC.

  • Apa itu CRC ?

Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Rapor Warga adalah alat praktik terbaik secara internasional guna meningkatkan pemberian layanan publik. CRC pertama kali dikembangkan di Bangalore, India. Frustasi dengan keadaan yang buruk pada layanan publik, maka sekelompok warga swasta melakukan upaya untuk mengumpulkan umpan balik dari para pemakai layanan. Keberhasilan dari upaya awal di Bangalore ini mengantar pada terciptanya Public Affairs Centre (PAC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkomitmen untuk meningkatkan kualitas governance di India. Sejak tahun 1995, PAC secara mandiri telah melakukan kemitraan dan melakukan beberapa CRC di Bangalore dan di berbagai lokasi lainnya di India, Filipina, Vietnam, Ukraina, Tajikistan, Ethiopia, Tanzania dan beberapa negara lainnya.

CRC mengumpulkan umpan balik melalui contoh survei terhadap aspek-aspek kualitas pelayanan yang paling diketahui oleh pemakai, serta memampukan agen-agen publik agar dapat mengidentifikasi kekuatan maupun kelemahan dalam pekerjaan mereka.  CRC berisikan survei yang acak terhadap pemakai jasa publik, serta kumpulan pengalaman para pemakai guna dasar pemeringkatan jasa-jasa tersebut. CRC memfasilitasi prioritas reformasi dan tindakan-tindakan koreksi dengan mengalihkan perhatian pada masalah-masalah yang diungkap. Dengan cara mengumpulkan umpan balik dari warga tentang kualitas dan kecukupan jasa publik dari pemakai yang sesungguhnya, maka CRC memberikan dasar yang tepat serta agenda yang proaktif kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar dapat melakukan dialog guna memperbaiki pemberian layanan umum.

CRC menggunakan konsep-konsep “ukuran” serta “perbandingan” yang sama  seperti yang digunakan dalam kartu rapor siswa. Dengan menggunakan umpan balik dari pemakai, maka CRC dapat mengukur dan memeringkat kinerja agen pelayanan publik. Disamping itu juga bisa mengumpulkan umpan balik dari warga mengenai tingkat kepuasan terhadap layanan yang disediakan dan juga menyediakan estimasi yang terpercaya atas korupsi dan biaya-biaya terselubung lainnya. CRC bisa melakukan katalisasi warga dan organisasi masyarakat sipil untuk menuntut lebih terhadap akuntabilitas, akses dan ketanggapan dari penyedia layanan. CRC juga sebagai alat diagnosa bagi penyedia layanan, konsultan eksternal dan analis/ pelaku riset untuk memfasilitasi prognosa dan solusi yang efektif. Akhirnya CRC akan bisa mendorong agen-agen publik untuk menerapkan dan melakukan promosi terhadap praktek-praktek yang memudahkan warga, membuat standar kinerja dan memfasilitasi transparansi dalam operasionalnya.

Manfaat dan Tujuan CRC

CRC merupakan alat yang  kuat pada saat digunakan sebagai renacana lokal maupun regional guna meningkatkan layanan. Lembaga-lembaga yang sedang melakukan program untuk meningkatkan layanan dapat menggunakan CRC untuk menentukan apakah perubahan-perubahan yang terjadi sungguh diperlukan dan untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dari perubahan-perubahan tersebut.

Sebagai alat diagnosa CRC dapat menyediakan informasi kualitatif dan kuantitatif bagi warga mengenai standar yang digunakan dan celah-celah  yang ada dalam pemberian layanan. CRC juga mengukur  tingkat kesadaran publik terhadap hak dan tanggung jawab warga. Jadi, CRC merupakan alat yang kuat, pada saat pemantauan layanan adalah lemah,  sehingga menyediakan gambaran perbandingan mengenai kualitas layanan dan membandingkan umpan balik antar lokasi /kelompok demografis guna mengidentifikasi segmen-segmen dimana bagian dari layanan cukup lemah.

Sebagai alat akuntabilitas CRC mengungkapkan  dimana saja lembaga-lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian layanan  belum mencapai apa yang telah ditugaskan atau standar layanan yang diharapkan. Temuan-temuan dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan meminta perbaikan-perbaikan tertentu dalam layanan. Para ofisial dapat terstimulasi untuk bekerja dalam menangani beberapa hal khusus.

Sebagai alat acuan CRC,  jika dilakukan secara periodik, dapat melacak perubahan jalur dalam kualitas layanan, untuk kurun waktu yang berjalan. Perbandingan dari temuan-temuan di CRC akan mengungkap perbaikan-perbaikan ataupun penurunan dari pemberian layanan. Sama halnya, maka dengan dilakukannya CRC sebelum maupun sesudah memperkenalkan program/kebijakan baru untuk mengukur dapaknya, adalah sangat efektif.

Dengan menerapkan CRC juga bisa untuk mengungkapkan biaya-biaya terselubung. Umpan balik warga dapat mengungkap biaya-biaya ekstra, yang melebihi biaya yang ditetapkan pada saat menerima layanan publik. Dengan demikian CRC memberikan informasi mengenai porsi warga yang membayar suap (baik yang diminta maupun yang tidak) dan juga besarnya bayaran-bayaran tersebut dan memberikan estimasi terhadap sumber daya pribadi yang dibelanjakan untuk mengkompensasi pemnyediaan layanan yang buruk.

Pelaksanaan CRC

Berbagai organisasi/ lembaga seperti LSM, badan pemerintahan  atau sebuah konsorsium independen (terdiri dari pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan media) bisa  berperan sebagai pengelola dan pendorong proses CRC. Dalam setiap kasus, maka organisasi itu harus memiliki ketrampilan, sumber daya, kemandirian dan motivasi/ komitmen untuk menjalankan CRC.

Untuk bisa melakukan CRC dengan baik, maka organisasi/ lembaga yang bertindak sebagai pelaksana CRC harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, merupakan bagian yang kredibel dari kota atau sektor  dimana usaha ini akan dimulai. Kedua, berkomitmen memperbaiki layanan publik, dalam jangka panjang; Ketiga, mampu untuk menangani pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan  survei (walaupun berarti tidak harus dapat melakukannya sendiri) dan menginterpretasi umpan balik yang terkumpul; Keempat, mau untuk membagi temuan-temuan baik yang positif maupun yang negatif,  Kelima, berpengalaman atau paling sedikit bisa bekerjasama dengan beberapa pemangku kepentingan (stakeholders) seperti pemerintah, media dan LSM.

Pelaksanaan CRC memberikan harapan untuk bisa lebih meningkatkan kinerja pelayanan publik, baik  aspek responsivitas,  akuntabilitas, dan efisiensi. Dengan demikian, birokrasi sebagai agen pelayanan publik akan lebih mampu untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga, memberikan layanan dengan mempertimbangkan kesamaan akses semua warga, transparan, ada kepastian, lebih cepat, lebih murah, serta hemat tenaga.

Penulis, peserta TOT CRC,

mengajar di Universitas Warmadewa

dan S3 Universitas Hindu Indonesia

Read Full Post »

Janji-janji parpol masih jauh dari petani, tetapi bendera parpol sudah semakin dekat dengan kehidupan petani. Sebuah kreativitas atau pelampiasan asa yang tak kunjung tiba ?

Oleh:  Wayan Gede Suacana

Fungsi Lain Bendera Parpol

Fungsi Lain Bendera Parpol

Read Full Post »

DINAMIKA DEMOKRASI DALAM

PEMERINTAHAN DESA

Oleh Wayan Gede Suacana

Pergantian kekuasaan pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan reformasi juga berimplikasi pada perubahan kehidupan demokrasi di desa. Setidaknya hal itu tampak dari semangat adaptasi atas demokrasi yang cukup besar mulai tahun 1999. Bisa disimak kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD-1) dan kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2), yang bertindak sebagai badan legislatif baru di desa, menggantikan peran Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebelumnya yang dianggap bersifat monolitik dan lebih berorientasi ke ‘atas’ atau supradesa.

Praktek demokrasi desa di bawah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memberikan landasan yang kuat bagi tegak kokohnya kekuasaan sentralistik Orde Baru bagi pengaturan pemerintahan di tingkat desa. Karakter evolusi kehidupan demokrasi kebanyakan masih bersifat seragam, tidak banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Begitu pula istilah, struktur dan mekanisme pemerintahan desa telah dibakukan. Namun, ketika kekuasan otoritarian Orde Baru berakhir, maka bermunculanlah  semangat anti sentralisme diiringi dengan semakin menguatnya isu federalisme. Kebijakan depolitisasi yang semula diterapkan hingga ke tingkat desa diantaranya dengan adanya politik massa mengambang (floating mass) guna mengantisipasi dampak sosial politik lalu menjadi  jauh lebih longgar.

Perubahan dalam kehidupan politik yang sangat mendasar tersebut juga akibat adanya pergeseran paradigmatik politik pemerintahan desa. Pergeseran itu terlihat dari dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan sekaligus juga UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perbedaan prinsip dalam demokrasi desa dengan  perubahan  regulasi ini diantaranya  penggantian LMD menjadi BPD-1 yang bersifat lebih liberal.

  • Hubungan Subordinatif

Kedudukan Kepala Desa menjadi lebih berorientasi ke ‘bawah’. Bupati/ Walikota hanya mengesahkan (tidak mengangkat lagi) Kepala Desa yang telah dipilih langsung oleh rakyat. Jabatan Kepala Desa maksimal 10 tahun atau dua kali masa jabatan, namun Pemerintah Kabupaten dapat mengatur sendiri lamanya masa jabatan tersebut sesuai kondisi sosial budaya setempat. Tampak adanya kondisi yang lebih fleksibel dalam hal masa jabatan Kepala Desa dibandingkan dengan era sebelumnya yang diseragamkan maksimal 16 tahun (2 kali masa jabatan) untuk semua desa.

Nuansa lebih demokratis juga tampak dalam BPD-1. Dalam era ini, seseorang bisa menjadi anggota BPD-1 berdasarkan hasil pemilihan, bukan dengan penunjukkan sebagaimana yang dilakukan dalam LMD. Begitu pula pimpinan BPD-1 dipilih dari dan oleh anggota BPD-1. Pada era sebelumnya Kepala Desa dan Sekretaris Desa secara ex oficio menjadi Ketua dan Sekretaris LMD. BPD-1 memiliki fungsi legislasi, pengawasan (era sebelumnya tidak ada) dan budgeter. Namun, yang paling membuat fungsi BPD-1  sangat kuat adalah atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kepala desa, sesuatu yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1.

Apabila dicermati dalam era ini telah terjadi  dinamika dalam kehidupan demokrasi desa. Pertama, adanya keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warganya. Kedua, penghargaan terhadap keanekaragaman dan ‘otonomi asli’ dengan membuka peluang munculnya istilah lain untuk nama institusi dan jabatan desa seperti di Bali: keprebekelan untuk  desa dinas, perbekel untuk kepala desa, banjar dinas untuk dusun, klian banjar dinas untuk kepala dusun.  Ketiga, kehadiran BPD-1 yang sangat demokratis memungkinkan terjadinya penyebaran kekuasaan di tingkat desa dari kekuasaan monolitik di tangan kepala desa ke relasi kuasa yang lebih berorientasi pada rakyat

  • Pembatasan Hak

Namun, penerapan demokrasi di/ dari bawah itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan pemberlakuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 72 tahun 2007 tentang Desa, kondisi legislative heavy tersebut dibatasi. BPD-1 diganti menjadi BPD-2 yang berfungsi (hanya) menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD-2 ini ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat untuk masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jadi, masa jabatannya maksimal 12 tahun, lebih lama 2 tahun dari era sebelumnya.

Namun, hubungan Kepala Desa dengan BPD-2 kembali ‘diserahkan’ serta diatur lebih jauh dalam Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam kenyataannya hubungan yang terjadi adalah sebatas koordinasi sehingga antara Kepala Desa dengan BPD-2 berkedudukan sejajar. Fungsi BPD-1 yang  sangat kuat sebelumnya yakni atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Kepala Desa dihilangkan atau tidak dimiliki lagi. Bila sebelumnya Kepala Desa  berkedudukan sebagai subordinasi BPD-1, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1, sekarang hubungan keduanya menjadi mitra sejajar dan sebatas koordinatif.

Tampak ada dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan desa khususnya dalam hal kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Perwakilan Desa. Dari sentralistis-monolitik (Lembaga Musyawarah Desa: LMD-UU No. 5/ 1979) menjadi liberal-demokratis (Badan Perwakilan Desa: BPD-1-UU No. 22/ 1999) dan akhirnya menjadi demokratis-prosedural ( Badan Permusyawaratan Desa: BPD-2-UU No. 32/ 2004 dan PP No. 72/ 2007).

Read Full Post »

Older Posts »