Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Mei, 2009

PRAKTIK DEMOKRASI PROSEDURAL

DALAM PEMILU

Oleh: Wayan Gede Suacana

Dalam negara demokrasi, penyelenggaraan pemilu dianggap sebagai salah satu unsur terpenting. Setidaknya, hasil pemilu diasumsikan telah mampu merepresentasikan tingkat partisipasi politik rakyat. Namun, bagaimana bila pengertian demokrasi dikaitkan dengan pelibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dan keputusan politik ?

Pelaksanaan pemilu adalah merupakan cerminan dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara. Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis senantiasa dilandasi prinsip bahwa rakyat tetap berhak terlibat  dalam aktivitas politik, walau telah disadari bahwa partisipasi rakyat secara penuh dalam seluruh proses politik pada jaman sekarang tidak lebih hanya sebuah mitos. Oleh karena itu muncul asumsi bahwa jika pemerintah saat ini telah  memberikan rakyat peran memilih pemerintahan baru lewat sebuah pemilu, sebagai cerminan demokrasi prosedural, maka pemerintah telah dianggap bertindak demokratis. Dalam kenyataannya asumsi dan cara pemahaman demikian masih mengandung kelemahan.

o Demokrasi Prosedural via Pemilu

Kelemahan utama pemaknaan demokrasi (hanya) sebagai sebuah penyelenggaraan pemilu adalah pengabaian kemungkinan “demokratisasi” lebih lanjut dalam sistem politik. Hal ini berarti, jalan pemilu dapat menghentikan keberlanjutan demokrasi dari tingkat minimum yang telah dicapai. Sebab, jika suatu rejim politik sudah memiliki pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui sebuah pemilu, maka usaha lebih lanjut untuk memperluas pengaruh kekuasaan rakyat tidak dapat dilakukan atau dianggap tidak perlu lagi. Dengan begitu, mesti disadari bahwa pelaksanaan pemilu 2009 nanti yang sudah mulai diramaikan dengan beragam atribut parpol dan caleg itu, hanya akan memberikan rekomendasi dan preferensi peran politik rakyat yang terbatas.

Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat menghilang dan nyaris ”tak terdengar” lagi. Kebijakan publik yang dibuat tidak populis, sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal, penggusuran dimana-mana, pajak ”disesuaikan”, BBM dinaikkan (walau kemudian diturunkan lagi, karena harga minyak dunia memang anjlok), pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan serta dipolitisasi, kemiskinan dan pengangguran juga belum banyak berkurang.

Praktik demokrasi prosedural  lewat penyelenggaraan pemilu itu juga bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia mengajarkan kebebasan, tetapi di sisi lain, nilai-nilai budaya setempat belum tentu memiliki prinsip-prinsip kebebasan yang sama dengan ajaran demokrasi yang bersifat universal. Prinsip utama demokrasi bahwa kemungkinan setiap warga negara turut serta dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik hampir tidak dikenal dalam budaya politik kita. Bahkan, “budaya” memilih sesuatu yang berbeda pun kita tidak punya, karena warisan budaya hidup bersama (komunalitas). Akibatnya, struktur politik kita yang modern sesungguhnya masih beroperasi di atas prinsip-prinsip yang masih sangat tradisional sifatnya. Praktek demokrasi langsung dengan sistem one man one vote masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang diimpor dari luar untuk diperkenalkan ke dalam tatanan masyarakat kita yang berbasiskan nilai-nilai feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik (patron-client).

Dalam kondisi masyarakat yang begitu, prilaku “nyontreng” dalam pemilu hanya memiliki efek memperkuat posisi politisi dan negara. Sebaliknya, kegiatan tersebut berefek disempowering terhadap penerapan prinsip demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat pemilih, karena mereduksi makna demokrasi “substantif” menjadi “prosedural” belaka.

o Penguatan Masyarakat Pemilih

Praktik demokrasi prosedural via pemilu itu harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan masyarakat pemilih agar bisa terwujud demokrasi substantif. Tantangan pewujudan demokrasi subtantif ini adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat pemilih dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi.

Upaya penguatan masyarakat pemilih paralel dengan demokratisasi—kalau demokratisasi dimaknai tidak terbatas hanya pada demokrasi prosedural via penyelenggaraan pemilu saja. Setidaknya ada tiga  persyaratan bagi upaya penguatan masyarakat pemilih menuju demokrasi yang lebih substantif. Pertama, keberadaan masyarakat pemilih sudah otonom dalam sikap dan prilaku politiknya, memiliki budaya politik partisipan sehingga  segala bentuk kegiatan politiknya sepenuhnya bersumber dari kemauan dan kesadaran sendiri dan hanya sedikit (bahkan tidak ada) campur tangan pihak lain.  Kedua,  adanya cukup pengetahuan dan pemahaman  masyarakat pemilih terhadap para caleg dan partai politik peserta pemilu. Dalam kenyataan hingga kini, jangankan tahu dan mengenal visi, misi dan ideologi calon yang akan dipilih, misalnya menyebutkan dengan benar nama dan simbol  5 parpol baru peserta pemilu saja kita masih harus berpikir cukup serius. Hal ini berarti proses sosialisasi pemilu belum berjalan dengan efektif. Ketiga, tumbuh dan berkembangnya arena publik yang bersifat otonom dimana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka sendiri. Setelah pemilu, keberadaan masyarakat pemilih tidak “dibiarkan mengambang” tetapi tetap didampingi oleh parpol, dan ormas lainnya sehingga masyarakat pemilih tetap dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik.  Sementara parpol sesuai salah satu fungsinya bisa menyerap aspirasi masyarakat dan diteruskan kepada lembaga legislatif untuk selanjutnya bisa diambil  sejumlah langkah-langkah kebijakan publik yang konkrit

Dari ketiga persyaratan tersebut, terlihat bahwa sebagian besar komponen masih belum bisa diwujudkan. Baik  komponen pertama, kedua dan ketiga secara tegas menghendaki perluasan akses dan penguatan posisi tawar masyarakat pemilih baik terhadap caleg dan parpol maupun kepada negara via pemerintah nantinya. Penguatan masyarakat pemilih menghendaki sebuah sistem yang memungkinkan mereka dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik secara berkelanjutan. Partisipasi politik masyarakat akan lebih konkrit jika mereka dapat secara langsung mengemukakan pendapatnya mengenai isu atau kebijakan tertentu, bukan hanya memilih wakil-wakil yang kemudian bertindak atas nama rakyat ketika menanggapi isu atau kebijakan tersebut.

Read Full Post »

KORUPSI OLEH WAKIL RAKYAT

Oleh: Wayan Gede Suacana

Sebagai wakil rakyat, anggota DPR dan DPRD semestinya peka dengan kepentingan rakyat. Tetapi kenyataannya justru mereka tidak peka karena proses rekrutmen politik para anggota legislatif masih sarat dengan politik uang (money politics) dan tergantung ke ‘atas’ seperti jenggot yang tidak mengakar ke ‘bawah’. Seorang calon legislatif (Caleg) pusat bisa menghabiskan antara Rp 200-300 juta hanya untuk bisa mendapatkan tiket pencalonan. Alasan pengumpulan dana itu tentu macam-macam, misalnya untuk pembuatan papan nama kantor partai, temu kader, bakti sosial, penyediaan sembako, pembuatan kaos, dan berbagai bentuk sosialisasi bagi pencalonannya. Biaya besar itu harus dikeluarkan bukan hanya oleh para Caleg di pusat tetapi juga di daerah (Suara Merdeka, 05/03/2008).

Ketika menduduki jabatan sebagai anggota dewan mereka akan berusaha keras untuk memperoleh kembali investasi politiknya tersebut. Bagi para pejabat legislatif, kedudukan politik yang kuat mereka manfaatkan untuk menguras dana publik dari anggaran pemerintah. Setelah reformasi, pengaruh politik legislatif menjadi kuat karena tatanan politik telah menempatkan legislatif relatif sama dengan eksekutif. Dalam beberapa hal, legislatif bahkan begitu kuat (legislative heavy) sehingga bisa mendikte garis kebijakan yang akan diambil oleh eksekutif. Ini seringkali dimanfaatkan oleh para anggota dewan untuk kepentingan memanen investasi politik yang telah ditanamnya. Banyak diantara anggota dewan yang kemudian menitipkan alokasi anggaran tertentu kepada eksekutif untuk kepentingan individual anggota dewan tersebut atau kepentingan partai politik yang telah mendukungnya.

Padahal dari segi penghasilan, selain gaji pokok yang sudah sangat besar, berbagai bentuk tunjangan tambahan juga diberikan kepada para anggota DPRD baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Dalam upaya untuk merangkul para politisi di daerah, pemerintah pusat bahkan pernah mengambil kebijakan kontroversial dengan menerbitkan PP No.37 tahun 2006 yang menetapkan penambahan tunjangan komunikasi dan operasional bagi para anggota DPRD. Jika dibandingkan dengan banyak pejabat publik yang lain, secara nominal besarnya gaji pokok dan tunjangan bagi para anggota DPRD itu memang demikian besar (lihat tabel) yang sesungguhnya merupakan upaya  mencegah keinginan mereka melakukan tindakan korupsi. Tetapi di negeri ini korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan selalu muncul karena peluang dan keinginan untuk korup selalu ada.

Tabel Perbandingan Gaji Pejabat Publik di Daerah

No. Jabatan

Gaji Pokok

Tunjangan

Jumlah

1 Gubernur

3.000.000

5.400.000

8.400.000

2 Wakil Gubernur

2.400.000

4.320.000

6.720.000

3 Bupati/Walikota

2.100.000

3.780.000

5.880.000

4 Wakil Bupati / Wakil Walikota

1.800.000

3.240.000

5.040.000

5 Sekretaris Provinsi. Masa kerja 32 th, Gol IV/e

1.800.000

3.500.000

5.300.000

6 Sekretaris Kab/Kota. Masa kerja 32 th, Gol IV/e

1.800.000

2.500.000

4.300.000

7 Rektor, Guru Besar Gol IV/e, masa kerja 32 th

1.800.000

4.500.000

6.300.000

8 Dekan, Guru Besar Gol IV/e, masa kerja 32 th

1.800.000

3.500.000

5.300.000

9 Hakim Utama, Gol IV/e, masa kerja 32 th

1.800.000

2.600.000

4.400.000

10 Ketua Mahkamah Agung

5.040.000

19.350.000

24.354.000

11 Ketua BPK

5.040.000

18.900.000

23.940.000

Penghasilan Tetap

Penghasilan Tidak Tetap

Jumlah

12 Ketua DPRD Provinsi

9.269.250

27.000.000

36.269.250

13 Wakil Ketua DPRD Provinsi

7.341.000

18.600.000

25.941.000

14 Anggota DPRD Provinsi

6.418.500

15.700.000

22.118.500

15 Ketua DPRD Kab/Kota

6.442.125

18.900.000

25.342.125

16 Wakil Ketua DPRD Kab/Kota

5.092.350

13.020.000

18.112.350

17 Anggota DPRD Kab/Kota

4.537.950

12.300.000

16.837.950

Sumber: Indonesian Court Monitoring, 2007 (Kumoro, 2008)

Membatasi Keinginan

Pakar  reformasi China, Wang An Shih, beberapa abad silam sudah mengingatkan bahwa korupsi muncul karena kekuasaan bermoral rendah dan hukum yang lemah. Korupsi sebetulnya bukan tidak dapat dibasmi. Akar persoalannya terletak pada simton kegagalan akuntabilitas dalam kinerja pemerintahan. Demi akuntabilitas, kebijaksanaan yang diambil harus melibatkan peran masyarakat, akademisi, LSM dan pers.

Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan kontrol kepada dua unsur yang paling berperan menimbulkan korusi yakni peluang dan keinginan. Ia menyatakan, korupsi terjadi jika peluang dan keinginan ada dalam waktu bersamaan. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dikurangi dengn cara menegakkan hukum dan menjalankan mekanisme akuntabilitas. Selebihnya, masyarakat dididik agar tidak pro kepada korupsi. Semua komponen masyarakat harus aktif melakukan gerakan sosial untuk mencegah dan mengeliminasi korupsi. Sikap cuek dan masa bodoh merupakan penghalang besar dalam mencegah meluasnya budaya korupsi dalam pemerintahan.

Beberapa landasan yang dapat dipergunakan antara lain: Pertama, cara sistemik dengan membenahi dan memberdayakan suprastruktur maupun inprastruktur politik. Termasuk dalam hal ini kemungkinan perubahan sistem pemilihan menjadi sistem distrik yang lebih memberikan peluang bagi rakyat memilih dan sekaligus mengontrol pilihannya, baik legislator maupun kepala daerah. Kedua, cara abolisionistik dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan memberdayakan penegakkan hukum. Ketiga, cara moralistik dengan memperkuat benteng etika, moral birokrat dan politisi guna menangkal ancaman virus korupsi.

Read Full Post »

NETRALITAS BIROKRASI DALAM PILKADA

Oleh:  Wayan Gede Suacana

Dalam  pelaksanaan  Pilkada  di berbagai daerah terdapat perkembangan menarik terkait dengan keterlibatan aparat birokrasi dalam proses pilkada. Pelan tapi pasti birokrasi tampaknya kembali memasuki ranah politik dengan  mengusung  bupati atau walikota yang akan berlaga memperebutkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, bagaimana komitmen pada netralitas birokrasi sebagai abdi negara, pelayan dan teladan  masyarakat yang profesional ?

Persoalan netralitas birokrasi sejatinya sudah ada sejak lama. Ilmuwan politik dan administrasi negara seperti Guy Peters, Nicholas Henry, dan Francis Rourke hampir sepakat bahwa birokrasi harus aktif membuat keputusan politik. Netralisasi birokrasi dari politik sebagaimana pandangan Wilson, Goodnow dan White hampir tidak mungkin dilakukan, karena kekuasaan membuat keputusan yang dimiliki birokrasi merupakan aktivitas politik. Dari perspektif ini birokrasi pemerintah itu adalah highly politized.

o Dinamika Politisasi

Dalam sejarah perkembangan  birokrasi di Indonesia sejak masa kemerdekaan juga terjadi pasang surut politisasi birokrasi. Dalam periode kemerdekaan 1945-1950, ada semacam kesepahaman bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Namun, demikian seiring dengan menguatnya primordialisme, birokrasi  lalu menjadi incaran partai politik. Keinginan untuk menguasai birokrasi tersebut pernah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat pemberontakannya yang gagal tahun 1948.

Dalam periode 1950-1959 kehidupan birokrasi sudah mulai tidak netral. Hal ini terlihat dari loyalitas ganda yang diperlihatkan birokrasi, kepada partai politik dan masyarakat yang dilayani. Di samping itu, birokrat juga sudah pandai ‘bermain mata’ dengan parpol yang ada. Seringkali dijumpai pegawai dimutasikan hanya gara-gara tidak separtai dengan pimpinanya. Sebaliknya, tak jarang dijumpai pembangkangan terhadap pimpinan yang tidak separtai dilakukan oleh aparat birokrasi. Patronikrasi, Jacksonisme dan katabelece mewarnai kehidupan birokrasi saat itu.

Dalam periode 1960-1965 birokrasi sudah mulai memihak dan atau terperangkap ke dalam jaring kekuatan politik Nasakom. Bukti dari kejadian itu dapat dilihat ketika terjadi tragedi nasional, aksi kudeta PKI yang gagal itu, dimana kekuatan PKI telah masuk ke hampir setiap departemen pemerintah. Sementara kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kapling departemen masing-masing.

Dalam periode 1966-1998 birokrasi sangat memihak kepada partai hegemoni Golkar. Melalui Permen-12/ 1969 Mendagri Amir Machmud menekankan ‘monoloyalitas’ pegawai negeri dengan bergabung dalam Kokar-Mendagri (Cikal bakal Korpri) dan melarang berafiliasi dengan parpol yang merupakan bagian depolitisasi pegawai negri. Permen 12 itu kemudian diikuti dengan keluarnya Permen 6/ 1970 yang mengatur  bahwa semua pegawai negri (aparat birokrasi) harus setia kepada pemerintah dan harus memilih Golkar dalam pemilu. Dapat dikatakan, kemenangan Golkar dalam setiap Pemilu Orde baru, salah satu faktor yang menentukan adalah karena peranan birokrasi negara (baik Pusat maupun daerah). Birokrasi yang mempunyai kepanjangan otoritas sampai ke desa-desa telah dimanfaatkan oleh Golkar untuk meraih kemenangan dengan menerapkan konsepsi ‘floating mass”. Birokrasi pemerintah identik dengan Golkar, sehingga Golkar seringkali mendapat julukan ‘partainya pemerintah’, ‘partai birokrasi’ atau ‘partai plat merah’ dan tidak ada akses bagi  dua parpol lainnya dalam birokrasi, sehingga PPP dan PDI hanya berada di luar garis. Birokrasi menempati posisi sentral dan dominan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat dan negara, terutama dalam mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan maupun mekanisme partisipasi (mobilisasi ?) politik masyarakat. Birokrasi Orde Baru kemudian berkembang menjadi ‘gurita politik’ yang sulit diimbangi dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya di luar birokrasi (non-bureaucratic power).

Pada era reformasi, politisasi birokrasi khususnya dalam Pilpres maupun  Pilkada cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa. Ada indikasi bahwa partai-partai politik yang berkuasa cukup aktif untuk merebut dan meraup sumber-sumber dana APBD. Politisasi birokrasi yang terbentuk dalam kerangka oligarki ini jelas berbeda bentuk dan caranya dibanding periode Orde Baru yang cenderung berdasarkan pelembagaan (Pancasila sebagai asas tunggal, Golkar/Korpri, atau monoloyalitas). Dominasi birokrasi sebagaimana periode sebelumnya lalu digantikan perannya oleh lembaga legislatif. Dewan dalam periode ini berada dalam posisi yang sangat kuat (legislative heavy) karena sudah memposisikan diri sebagai lembaga pengambil keputusan dan penentu tindakan politik sebagai cerminan preferensi atau kehendak rakyat yang diwakili. Dalam pada itu, birokrasi dalam batas tertentu  memang sudah memiliki komitmen untuk menjaga netralitasnya terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat.

o Posisi Dilematis

Keterlibatan aparat birokrasi sebagai anggota/ kader parpol maupun tim sukses Cagub/ Cawagub agaknya akan membuat pisisi birokrasi yang memihak pasca Pilkada. Belajar dari pengalaman masa lalu, politisasi birokrasi ternyata menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, pelayanan yang diberikan menjadi tidak adil karena ada kecenderungan mengutamakan golongan masyarakat yang memiliki kesamaan aliran politik, sifat pelayanan tidak objektif,  dan tidak mau dikontrol. Kedua, munculnya patronikrasi yakni budaya “gotong royong”, saling menolong yang membuahkan nepotisme. Pengrekrutan dan promosi pegawai tidak lagi mengikuti sistem merit dalam tradisi  Weberian, tetapi lebih menunjukkan sistem ‘bedol desa’ atau patronase yang didasarkan pada “kedekatan” dan kesamaan aliran politik. Oleh karena itu, pengrekutan, promosi dan jabatan birokrasi tidak semata-mata dilihat sebagai prosedur administrasi tetapi juga sebagai peluang dan investasi politik. Ketiga, profesionalisme dan integritas birokrasi yang idealnya memiliki akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, dan akseptabilitas yang jelas akan terpengaruh dengan adanya perbedaan aliran politik. Dalam konteks ini budaya politik yang cenderung mengajarkan pimpinan baru untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat lama (yang dipandang tak loyal), sulit dihindari. Birokrasi juga bisa terpecah kedalam berbagai faksi berdasarkan orientasi pilihan politik. Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih. Tetapi kenyataannya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari politisasi selama berlangsungnya Pilkada.

Read Full Post »

« Newer Posts