PRAKTIK DEMOKRASI PROSEDURAL
DALAM PEMILU
Oleh: Wayan Gede Suacana
Dalam negara demokrasi, penyelenggaraan pemilu dianggap sebagai salah satu unsur terpenting. Setidaknya, hasil pemilu diasumsikan telah mampu merepresentasikan tingkat partisipasi politik rakyat. Namun, bagaimana bila pengertian demokrasi dikaitkan dengan pelibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dan keputusan politik ?
Pelaksanaan pemilu adalah merupakan cerminan dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara. Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis senantiasa dilandasi prinsip bahwa rakyat tetap berhak terlibat dalam aktivitas politik, walau telah disadari bahwa partisipasi rakyat secara penuh dalam seluruh proses politik pada jaman sekarang tidak lebih hanya sebuah mitos. Oleh karena itu muncul asumsi bahwa jika pemerintah saat ini telah memberikan rakyat peran memilih pemerintahan baru lewat sebuah pemilu, sebagai cerminan demokrasi prosedural, maka pemerintah telah dianggap bertindak demokratis. Dalam kenyataannya asumsi dan cara pemahaman demikian masih mengandung kelemahan.
o Demokrasi Prosedural via Pemilu
Kelemahan utama pemaknaan demokrasi (hanya) sebagai sebuah penyelenggaraan pemilu adalah pengabaian kemungkinan “demokratisasi” lebih lanjut dalam sistem politik. Hal ini berarti, jalan pemilu dapat menghentikan keberlanjutan demokrasi dari tingkat minimum yang telah dicapai. Sebab, jika suatu rejim politik sudah memiliki pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui sebuah pemilu, maka usaha lebih lanjut untuk memperluas pengaruh kekuasaan rakyat tidak dapat dilakukan atau dianggap tidak perlu lagi. Dengan begitu, mesti disadari bahwa pelaksanaan pemilu 2009 nanti yang sudah mulai diramaikan dengan beragam atribut parpol dan caleg itu, hanya akan memberikan rekomendasi dan preferensi peran politik rakyat yang terbatas.
Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat menghilang dan nyaris ”tak terdengar” lagi. Kebijakan publik yang dibuat tidak populis, sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal, penggusuran dimana-mana, pajak ”disesuaikan”, BBM dinaikkan (walau kemudian diturunkan lagi, karena harga minyak dunia memang anjlok), pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan serta dipolitisasi, kemiskinan dan pengangguran juga belum banyak berkurang.
Praktik demokrasi prosedural lewat penyelenggaraan pemilu itu juga bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia mengajarkan kebebasan, tetapi di sisi lain, nilai-nilai budaya setempat belum tentu memiliki prinsip-prinsip kebebasan yang sama dengan ajaran demokrasi yang bersifat universal. Prinsip utama demokrasi bahwa kemungkinan setiap warga negara turut serta dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik hampir tidak dikenal dalam budaya politik kita. Bahkan, “budaya” memilih sesuatu yang berbeda pun kita tidak punya, karena warisan budaya hidup bersama (komunalitas). Akibatnya, struktur politik kita yang modern sesungguhnya masih beroperasi di atas prinsip-prinsip yang masih sangat tradisional sifatnya. Praktek demokrasi langsung dengan sistem one man one vote masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang diimpor dari luar untuk diperkenalkan ke dalam tatanan masyarakat kita yang berbasiskan nilai-nilai feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik (patron-client).
Dalam kondisi masyarakat yang begitu, prilaku “nyontreng” dalam pemilu hanya memiliki efek memperkuat posisi politisi dan negara. Sebaliknya, kegiatan tersebut berefek disempowering terhadap penerapan prinsip demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat pemilih, karena mereduksi makna demokrasi “substantif” menjadi “prosedural” belaka.
o Penguatan Masyarakat Pemilih
Praktik demokrasi prosedural via pemilu itu harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan masyarakat pemilih agar bisa terwujud demokrasi substantif. Tantangan pewujudan demokrasi subtantif ini adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat pemilih dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi.
Upaya penguatan masyarakat pemilih paralel dengan demokratisasi—kalau demokratisasi dimaknai tidak terbatas hanya pada demokrasi prosedural via penyelenggaraan pemilu saja. Setidaknya ada tiga persyaratan bagi upaya penguatan masyarakat pemilih menuju demokrasi yang lebih substantif. Pertama, keberadaan masyarakat pemilih sudah otonom dalam sikap dan prilaku politiknya, memiliki budaya politik partisipan sehingga segala bentuk kegiatan politiknya sepenuhnya bersumber dari kemauan dan kesadaran sendiri dan hanya sedikit (bahkan tidak ada) campur tangan pihak lain. Kedua, adanya cukup pengetahuan dan pemahaman masyarakat pemilih terhadap para caleg dan partai politik peserta pemilu. Dalam kenyataan hingga kini, jangankan tahu dan mengenal visi, misi dan ideologi calon yang akan dipilih, misalnya menyebutkan dengan benar nama dan simbol 5 parpol baru peserta pemilu saja kita masih harus berpikir cukup serius. Hal ini berarti proses sosialisasi pemilu belum berjalan dengan efektif. Ketiga, tumbuh dan berkembangnya arena publik yang bersifat otonom dimana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka sendiri. Setelah pemilu, keberadaan masyarakat pemilih tidak “dibiarkan mengambang” tetapi tetap didampingi oleh parpol, dan ormas lainnya sehingga masyarakat pemilih tetap dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik. Sementara parpol sesuai salah satu fungsinya bisa menyerap aspirasi masyarakat dan diteruskan kepada lembaga legislatif untuk selanjutnya bisa diambil sejumlah langkah-langkah kebijakan publik yang konkrit
Dari ketiga persyaratan tersebut, terlihat bahwa sebagian besar komponen masih belum bisa diwujudkan. Baik komponen pertama, kedua dan ketiga secara tegas menghendaki perluasan akses dan penguatan posisi tawar masyarakat pemilih baik terhadap caleg dan parpol maupun kepada negara via pemerintah nantinya. Penguatan masyarakat pemilih menghendaki sebuah sistem yang memungkinkan mereka dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik secara berkelanjutan. Partisipasi politik masyarakat akan lebih konkrit jika mereka dapat secara langsung mengemukakan pendapatnya mengenai isu atau kebijakan tertentu, bukan hanya memilih wakil-wakil yang kemudian bertindak atas nama rakyat ketika menanggapi isu atau kebijakan tersebut.