Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Politik dan Pemerintahan Nasional’ Category

TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH

DAN PROFESIONALISME BIROKRASI

Oleh Wayan Gede Suacana

Every public administrator must keep his ears open to hear the voices of the people as they express their changing needs.

Of course he will recognize that the people will demand of their legislative representative more services and lower costs

(Major Zeidler)

Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernurnya AA Gede Ngurah Puspayoga sejak awal mengusung program Bali Mandara (Bali yang Maju, Aman, Damai dan Sejahtera). Rakyat  Bali menaruh harapan yang sangat besar pada duet pemimpin ini yang untuk kali pertama dipilih melalui sistem pemilihan secara langsung ini. Dalam misi bidang pemerintahannya, kebijakan pembangunan diarahkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas, serta mampu memberikan pelayanan prima, sejalan dengan prinsip clean government dan good governance (RPJMD Provinsi Bali 2008-2013).

Untuk menjalankan kebijakan tersebut, birokrasi harus dibuat lebih profesional. Dengan profesionalisme mereka akan bisa percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Apabila diikuti pemikiran Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pengejawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka keberpihakan pada kepentingan rakyat mengacu pada yang terakhir. Kebebasan, keterbukaan dan kesamaan merupakan penjabaran pengertian pertama. Sedangkan profesionalisme yang meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas adalah refleksi pengertian yang kedua.

Aspek akuntabilitas mengisyaratkan supaya pelayanan publik lebih mengutamakan transparansi dan  kesamaan akses setiap warganegara. Setiap warganegara berhak mendapatkan kesamaan akses dalam pelayanan publik yang mereka

butuhkan. Proses dan harga pelayanan publik juga harus transparan , dan didukung oleh kepastian prosedur serta waktu pelayanan. Akuntabilitas birokrasi mengharuskan agar setiap tindakan yang dilakukan mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang menjadi sumber mandat dan otoritas yang dimiliki, yakni rakyat.

Oleh karenanya, aparatur pemerintah harus mempunyai responsibilitas (rasa tanggung jawab internal) terhadap segala yang dilakukannya. Moral dan etika publik dipakai landasan setiap perilaku, berupaya mempertajam kepekaan sosial serta meningkatkan responsivitas (daya tanggap) terhadap aspirasi, kebutuhan dan tuntutan rakyat. Aspek responsivitas menghendaki agar pelayanan publik bisa memenuhi kepentingan masyarakat. Agar birokrasi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat,  Osborne dan Plastrik (1997) mengenalkan ide Citizen’s Charter (kontrak pelayanan), yakni adanya standar pelayanan publik yang ditetapkan berdasarkan masukan para stakeholders, termasuk pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya Dengan begitu, tugas aparatur pemerintah sejatinya adalah membawa mandat ke arah pelayanan segala kepentingan rakyat.

Orientasi birokrasi hendaknya diarahkan kembali kepada komitmen untuk  menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau (ekonomis) serta hemat tenaga. Kinerja apatur pemerintah diarahkan untuk mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. Semua unsur pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus organisasi secara efektif dan efisien. Unsur pokok itu sedikitnya mencakup perlakuan yang sama terhadap semua orang (impersonal), pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman, larangan penyalahgunaan jabatan, standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang rapi, serta pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi yang mengikat bagi semua anggotanya.

  • Masalah Birokrasi

Walaupun sudah ada banyak perubahan, tetapi kenyataan masih menunjukan bahwa kinerja birokrasi daerah masih belum optimal. Birokrasi di daerah masih memiliki beberapa kelemahan. Sorotan terhadap kinerja aparatur pemerintah daerah hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari “puncak gunung es” persoalan birokrasi pemerintah daerah yang sesungguhnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, belom optimalnya kinerja aparatur pemerintah daerah yang menjadikan kondisi birokrasi tidak efisien umumnya terletak pada struktur, sistem, prosedur dan perilaku para birokrat yang bersumber pada beberapa masalah pokok.

Pertama, masih ada kesenjangan antara gubernur selaku pemimpin politik dengan ketersediaan formasi birokrasi peninggalan pejabat sebelumnya. Ide dan program-program gubernur tampaknya belum sepenuhnya bisa diterjemahkan  dengan baik di tataran praktis. Kedua, persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, yang mengakibatkan bentuk patologi dan maladministrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, dan nepotisme. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Kelima; mental melayani belum tumbuh pada sebagian besar aparat. Mereka umumnya masih lebih suka dilayani daripada melayani masyarakat sehingga seringkali yang lebih dipikirkan terlebih dahulu adalah hasil yang akan diperoleh, bukan melaksanakan terlebih dahulu pekerjaannya atau menunjukkan kinerja terlebih dahulu. Keenam, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ‘penggemukan’ pembiayaan, korupsi dan sebagainya. Hal ini karena birokrasi jauh dari masyarakat dan cenderung menghindari kontrol masyarakat dan legislatif. Ketujuh, manifestasi prilaku birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, meninggalkan kantor pada saat jam kerja dan berlaku diskriminatif. Kedelapan, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, sistem kontrol internal birokrasi yang sangat berlebihan dan sistem pilih kasih (spoils system) terutama dalam formasi dan mutasi pegawai yang dalam beberapa kasus mulai melibatkan tim sukses pejabat terpilih. Kesembilan; aparatur pemerintah kurang kreatif dan masih sangat lemah dalam berinovasi. Mereka masih sangat bergantung pada adanya petunjuk teknis (Juknis) atau petunjuk pelaksanaan (Juklak) sehingga bersifat serba rutin, dengan sedikit diskresi dan inovasi.

Serangkaian permasalahan birokrasi tersebut muncul tidak terlepas dari kelanjutan model dan strategi  pembangunan peninggalan Orde Baru yang lebih bercorak birokratik dan teknokratik. Aparat birokrasi kebanyakan bertumpu pada keahlian untuk mengimplementasikan program-program pragmatis dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Untuk menjalankan model seperti itu, pemerintah pusat dan daerah lalu menerapkan kebijakan birokratisasi sebagai bagian integral dari paket modernisasi. Perencana pembangunan yang terdiri atas para teknokrat membuat “blue print” pembangunan melalui Bappenas. Para pelaksana pembangunan, yaitu birokrasi di tingkat pusat hingga tingkat daerah adalah penganut setia diktum Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer yang menyatakan modernisasi niscaya membutuhkan birokrasi sebagai salah satu mesin penggeraknya.

  • Peluang Governance

Adanya berbagai masalah birokrasi tidak menutup peluang bagi upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).  Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Disamping itu juga terpenuhi tiga hal yang hingga saat ini sangat didambakan oleh masyarakat luas yaitu:

Pertama, pelayanan civil service secara berlanjut demi kelancaran administrasi pemerintah dan harus terbebas dari pengaruh politik (adanya pergantian pemerintahan hasil pilkada langsung), PNS harus independen dan hanya loyal kepada kepentingan negara. Kedua, perlindungan, melalui perwujudan dan supremasi hukum (kepastian dan penegakan hukum), sehingga masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Ketiga, memberdayakan masyarakat. Pemerintah secara langsung mendorong (memfasilitasi) masyarakat dalam berbagai kegiatan demi kepentingan masyarakat dengan pemberian pelayanan dan perlindungan serta jaminan hukum yang konsisten dan tegas.

Guna menjamin terwujudnya hal itu maka perlu dilakukan “check and balance” dari masing-masing fungsi kelembagaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Masing-masing lembaga harus memiliki fungsi yang jelas dan lebih independen, seluruh proses harus dilaksanakan secara “transparan” untuk diketahui publik guna kepentingan pengawasan melalui social control.

Peluang terbuka ke arah perwujudan governance terjadi apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme dalam sistem administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair harus dilakukan agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya praktek KKN dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.

Disamping itu juga diharapkan birokrasi lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berpihak pada kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara profesional, proporsional dan efisien.

·        Birokrasi Profesional
Dengan adanya peluang untuk mewujudkan governance juga terbuka kemungkinan menjadikan birokrasi lebih profesional, antara lain dengan:
Pertama, mengembalikan peran birokrasi dari “mengendalikan” menjadi “mengarahkan” dan dari “memberi” menjadi “memberdayakan” Dengan demikian birokrasi yang kerap minta dilayani bisa berubah menjadi “alat pemerintah” yang bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat. Moto aparatur pemerintah sebagai abdi dan pelayan masyarakat semestinya dihayati dan dilaksanakan secara konsisten dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Untuk bisa menjalankan tugas dan fungsi pelayanan dengan baik perlu dilakukan analisis beban kerja pada masing-masing dinas, bagian, biro dan seterusnya.
Kedua, menjaga netralitas birokrasi terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat. Pengalaman masa lalu telah menunjukkan ketika birokrasi dikooptasi oleh satu kekuatan politik tertentu ia cenderung akan menjadi tidak adil dan diskriminatif.
Ketiga, mengubah sistem rekruitmen pegawai yang sebelumnya didasarkan pada “patronage system”, “spoil system” dan “nepotism” , dengan “merit system” atau “carier system”  sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam birokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir sudah ada kecenderungan perbaikan dalam sistem ini. Banyak pelamar dari kalangan masyarakat “biasa” yang bisa lulus tes penerimaan CPNS tanpa harus mengeluarkan biaya sogok untuk para calo. Sistem dan alat tes bisa terus diperbaiki untuk lebih menjamin objektivitas.

Keempat, pemberdayaan dan pelibatan eleman masyarakat untuk meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai “social control” terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Berbagai organisasi/ lembaga seperti LSM, badan pemerintahan  atau sebuah konsorsium independen (terdiri dari pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan media) hendaknya tetap berkesempatan menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan birokrat yang tercela. Mereka bisa  berperan sebagai pengelola dan pendorong proses Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Rapor Warga. CRC adalah alat praktik terbaik secara internasional guna meningkatkan pemberian layanan publik. Pelaksanaan CRC memberikan harapan untuk bisa lebih meningkatkan kinerja layanan publik, baik  aspek responsivitas,  akuntabilitas, dan efisiensi. Dengan CRC dapat diketahui dan dibandingkan kemampuan aparat birokrasi pada masing-masing instansi untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga dalam memberikan layanan dengan mempertimbangkan kesamaan akses semua warga secara transparan, ada kepastian, lebih cepat, lebih murah, serta hemat tenaga.

Kelima,  birokrasi dibuat lebih profesional. Birokrat yang profesional mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan pikiran, mental dan hati yang jernih. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya keseimbangan antara kecerdasan intelek, emosi dan spiritual aparatur pemerintah sehingga membutuhkan tidak hanya pendidikan dan pelatihan, tetapi juga “siraman” penyejuk dan pengembang moralitas.

Keenam, untuk meningkatkan efektivitas layanan birokrasi perlu ditinjau kembali penerapan lima hari kerja. Birokrasi yang selalu membawa mandat publik ke arah pelayanan segala kepentingan rakyat tampaknya tidak efektif lagi melakukan pelayanan pada sore hari. Dengan semangat desentralisasi asimetris, hal ini masih memungkinkan untuk diusulkan, mengingat kondisi budaya Bali yang tidak sama dengan budaya metropolitan yang memanfaatkan liburan Sabtu dan Minggu untuk pergi ke luar kota.

Pada akhirnya segala upaya tersebut adalah juga untuk merealisasikan salah satu ajaran Bhisma kepada para Pandawa dalam Bharata Yudha: charitum shakyum samyagrajayadhi loukikam. Hanya orang berkarakter teguh dan bijaksana dapat memimpin pemerintahan secara baik dan bersih.

Penulis, dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Univ. Warmadewa

Artikel ini pernah dipresentasikan pada acara Dialog Publik Setahun BALI MANDARA yang diadakan oleh Forum Relawan Bali Mandara.

Read Full Post »

MEMAKNAI DHARMA, MENGHADAPI TANTANGAN HIDUP BANGSA

Oleh Wayan Gede Suacana

Dharma disamping sebagai hukum keadilan dan keselarasan yang bersatu padu dalam struktur alam semesta, juga berarti stabilitas dan ketertiban masyarakat serta  kesejahteraan umat manusia. Dengan begitu pemaknaan dharma tidak hanya berhenti pada tataran ritual, tetapi mesti juga diarahkan ke dimensi spiritual agar bisa menghadapi tantangan hidup bangsa yang penuh dengan kemerosotan moral ini.

Idealnya dharma akan menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya, pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat atau bangsa. Kemajuan spiritual akan terjadi karena melaksanakan dharma berarti mengendalikan segala pikiran, perkataan dan perbuatan yang berlawanan dengan hukum keadilan dan keselarasan dari Hyang Widhi.

© Persoalan Hidup Bangsa

Berbagai fenomena menunjukkan betapa dharma masih belum bisa ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat sekarang ini. Di bidang ekonomi, eksternalitas global sudah menggerus demikian kerasnya. Hal ini tampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis liberal/ neoliberal dengan ketergantungan pada bantuan asing. Kegiatan industri pariwisata telah menyebabkan terjadinya materialisme, individualisme, komersialisme, komodifikasi, dan gejala profanisasi dalam kehidupan. Kondisi ini telah menyebabkan pergeseran nilai budaya dan pemiskinan serta peningkatan beban hidup yang juga akan dialami oleh umat Hindu. Oleh karena itu perlu reorientasi penerapan ajaran agama, yang juga menjadi catatan penting Mahasabha IX PHDI terutama upacara yang banyak menghabiskan dana.

Kondisi keamanan juga masih rawan dengan berbagai aksi kekerasan apalagi dengan penerapan sistem pemilihan umum langsung. Dalam bidang politik dan hukum, arus demokratisasi terlihat semakin deras seiring dengan terbuka lebarnya “kran” liberalisasi politik. Namun, institusi formal hukum sebagai “benteng terakhir” sangat tidak berdaya dan masih sulit ditegakkan di negara kita. Upaya pemberantasan korupsi yang sempat memunculkan harapan dengan keberhasilan KPK mengungkap beberapa kasus korupsi beberapa waktu lalu, kembali pudar seiring kekalahan ‘cicak’ ketika harus dihadapkan bertarung melawan ‘buaya’.

Dalam bidang pemerintahan, otonomi daerah yang idealnya mampu meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi rakyat, ternyata hanya dimanfaatkan untuk keuntungan finansial dan politik segelintir elite lokal. Di bidang kebudayaan kita melihat berbagai perilaku politik para pejabat dan elite masih dominan dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang bersifat extended family, dan budaya patrimonial yang di samping bersifat “adiluhung”, ternyata juga masih sangat permisif bagi pertumbuhan partikularisme.

Sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, umat se-Dharma tentunya juga menghadapi persoalan tersebut. Bagi umat Hindu persoalannya adalah bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan persoalan hidup bangsa itu, yaitu dengan berupaya mengatasi berbagai persoalan  tersebut dengan berlandaskan dharma.

© Pemaknaan Dharma

Sejauh mana umat Hindu dapat menghadapi tantangan-tantangan besar tersebut dan selanjutnya dapat berperan dalam pembangunan bangsa, adalah tergantung pada pemaknaan dan revitalisasi dharma dalam kehidupan. Dharma semestinya tetap diikuti untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana ditunjukkan oleh orang bijaksana (Atharvaveda VII.97.7). Umat yang menempuh jalan dharma akan diberkahi dengan kemakmuran dan juga dilimpahi dengan keturunan (generasi) yang berbudi luhur (Rgveda X.63.13). Kemenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidup adalah hasil dari pelaksanaan dharma. Kemenangan demikian bukan berasal dari kenikmatan yang berasal dari kesenangan sementara. Kerja keras yang dilakukan untuk menegakkan dharma akan menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan tertinggi. Rahasia kebahagiaan bukanlah dalam melakukan apa yang disukai, tapi dalam menyukai apa yang harus dilakukan.

Dharma dalam pendidikan semestinya dimaknai tidak semata-mata memperoleh keterampilan dan keahlian sebagaimana mainstream pemikiran rasionalisme Barat yang lebih mengarah pada material tendency forces (preyoshakti). Tetapi juga mampu melahirkan generasi muda Hindu yang cerdas dan bijaksana yang sesuai dengan spiritual tendency forces (sreyoshakti). Untuk itu sistem pendidikan yang dikembangkan semestinya menyelaraskan antara penekanan logika, dan rasionalitas dengan intuisi dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih sayang, kesabaran, dan kejujuran, yang akan membangun kesadaran manusianya. Generasi seperti ini akan bisa terhindar dan menghindarkan diri dari penyakit partikularisme yang masih menggerogoti bangsa ini hingga kini.

Dharma dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dilakukan dengan penerapan prinsip etika dan moralitas. Untuk menjadi pemimpin pemerintahan yang baik adalah  dengan memiliki karakter nasional yang membawahi karakter individu (pribadi). Dengan melepaskan kepentingan pribadi, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, pemimpin sejati yang berlandaskan dharma senantiasa mempersembahkan segala kemampuannya bagi kesejahteraan bersama dan mengangkat reputasi negaranya.

Dalam kehidupan politik yang berlandaskan dharma pantang untuk menggunakan cara-cara kekerasan (ahimsa). Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, setiap orang dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas,  inklusivitas, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan.

Akhirnya, dharma semestinya mampu menjamin tegaknya moralitas, berkembangnya kepercayaan dan kejujuran, rasa tanggung jawab dan karakter, kesadaran nasional dan patriotisme, rasa tanggung jawab sosial, bekerja keras, taat pada hukum, menghormati semua agama, dan rasa tak terpisahkan dengan Hyang Widhi. Pemaknaan kemenangan dharma dari adharma tidak hanya berhenti sampai pelaksanaan ritual tetapi juga diarahkan pada spiritualitas. Jangan sampai sebagai bagian dari bangsa ini, umat Hindu yang agamis, dengan ibadah dan upacara agama yang semarak setiap hari, tetapi  pada saat yang sama juga melakukan hal tercela, seperti korupsi sehingga menjadikan negara ini selalu menduduki peringkat atas negara-negara terkorup yang dibuat oleh lembaga-lembaga penilai internasional.

Penulis, dosen Universitas Warmadewa dan Pascasarjana UNHI Denpasar

Read Full Post »

MEMPERKUAT (LAGI) MULTIKULTURALISME

INDONESIA

Oleh  Wayan Gede Suacana

Apabila dilihat rentang perjalanan bangsa ini dalam 10 tahun terakhir, akan segera tampak aksi-aksi kekerasan dan terorisme dengan pengeboman masih sangat dominan. Hampir setiap tahun dalam kurun waktu itu, kecuali tahun 2006 dan 2008 peristiwa pengeboman terus-menerus terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Para pelaku pengeboman dalam mencapai tujuannya agaknya menjadi pembenaran pandangan Leo Tolstoy bahwa  sebagian besar kejahatan yang menimpa umat manusia adalah karena kepercayaan yang keliru bahwa kehidupan dapat dibuat aman dan damai dengan cara-cara kekerasan. Sejatinya sangat naif memperjuangkan segala bentuk idealisme, apakah itu keyakinan agama, kemerdekaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian lewat cara-cara kekerasan.

o “Kebenaran” Subjektif

Tingginya intesitas penggunaan cara-cara kekerasan dan pengeboman seakan sudah menjadi “cara biasa” dalam mengatasi perbedaan prinsip dan keyakinan hidup di negara ini.. Dialog dari hati ke hati antara pihak-pihak yang berbeda paham nyaris tidak berjalan, karena yang terjadi adalah eksklusivisme, ketidakpercayaan serta kecurigaan yang menekankan “supremasi” dan “kebenaran”  sendiri.  Pada saat demikian, setiap individu maupun kelompok mudah terjebak dalam perangkap “kebenaran” subjektif serta kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, seperti lenyapnya kejujuran dan ketulusan hati (integrity) serta kelakuan yang benar, kedamaian, cinta kasih dan prinsip pantang kekerasan. Kondisi “anomali” ini beresiko memunculkan apa yang oleh Erich Fromm dikatakan sebagai ledakan perasaan destruktif, berupa tindakan yang dilandasi rasa kebencian dan dendam di bawah kedok “kebenaran” subjektif itu.

Dalam kondisi seperti itu, penerapan prinsip-prinsip etika dan moralitas juga  terabaikan. Ketiadaan arena dialog dan kecenderungan penggunaan cara-cara kekerasan, akan semakin menjauhkan dari kehidupan yang demokratis. Setiap orang atau kelompok punya banyak jawaban terhadap satu hal tapi tidak peduli pada pertanyaannya. Politik identitas yang oleh Benedict Anderson diyakini bisa menyatukan dengan berusaha menggeser batas-batas identitas komunitas sebuah bangsa menjadi kian pudar. Pluralisme bangsa dengan sistem pemilahan berdasarkan ideologi dan keyakinan menjadi semakin tajam, sebaliknya perekat sosio-kultural yang  telah ada dan dibina  sejak lama, seperti Bhinneka Tunggal Ika semakin dilupakan.

Pengabaian prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam kehidupan berbangsa serta pengutamaan cara-cara kekerasan akan semakin menjauhkan bangsa ini dari paham musyawarah dan mufakat. Paham yang menjadi sila keempat dasar negara Pancasila ini sejatinya hendak menjadikan keinginan lebih dari suatu kehendak untuk memperlakukan sesama sebagaimana perlakuan terhadap diri sendiri. Kehendak ini berpijak atas dasar penghindaran terhadap segala bentuk kekerasan serta penghormatan terhadap keberagaman dan persatuan yang oleh Svami Vivekananda disebut sebagai “gong kematian” bagi fanatisme dan eksklusivisme.

o Landasan Multikulturalisme

Berpijak pada kondisi Indonesia kini, memperkuat multikulturalisme merupakan hal yang sangat mendesak sifatnya. Multikulturalisme memerlukan pengaturan bersama agar yang kecil  tak berubah wujud menjadi “fasis-fasis kecil” yang didasari oleh primordialisme. Setiap komunitas dibiarkan hidup dengan aspirasi dan rasionalitas keyakinan masing-masing yang selama ini sudah jalan sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi sebuah tradisi berbangsa dan bernegara.

Dengan multikulturalisme setiap orang atau kelompok sebagai komponen bangsa memiliki semangat penghargaan terhadap heterogenitas, dialog kultural, trans-kultural,  inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan keterbukaan yang kritis. Memandang sesama anak bangsa, apapun perbedaannya sebagai saudara bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan.

Untuk bisa memperkuat multikulturalisme serta terhindar dari cara-cara kekerasan, termasuk pengeboman, setidaknya perlu ditegakkan lima pilar nilai kemanusian. Pertama,  berpegang teguh pada kebenaran dan berusaha terus-menerus memperjuangkannya, betapa pun sulit dan pahitnya. Dalam mengungkapkan kebenaran hendaknya dalam rangka kebaikan bersama, dan tidak mencelakakan serta mengorbankan pihak lain. Kebenaran yang dipraktekkan dengan cara itu akan dapat mengatasi sekat-sekat perbedaan  paham, aspirasi, ras, suku, ideologi bahkan keyakinan agama.

Kedua, menjalankan tugas dan kewajiban tanpa memperhitungkan kepentingan sendiri atau golongan, serta menggunakan segenap tenaga dan pikiran untuk kebaikan masyarakat. Tenaga dan pikiran terutama ditujukan untuk menempuh  jalan kebajikan dalam rangka mengabdi pada masyarakat. Begitu pula, kesadaran untuk menumbuhkan rasa cinta dan sikap patriot terhadap tanah air, bangsa dan negara.

Ketiga, menyebarkan rasa damai setiap saat yang terpancar dari kesadaran akan realitas di dalam diri. Keadaan ini merupakan manifestasi keberadaan murni dari jiwa, karena kedamaian sendiri melampaui tingkat pemahaman. Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa menghasilkan kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan kebahagiaan bagi semua. Pada tataran ini tiada lagi perasaan iri hati dan dengki, serta bisa memperlakukan semua anak bangsa secara adil tanpa dibayangi lagi oleh ikatan primordialisme.

Keempat, memupuk cinta kasih murni tanpa ego. Bisa mengatasi kepicikan di dalam diri dan mengidentifikasikan diri dengan golongan lain dalam satu kesatuan. Mengakui persaudaraan antar manusia, memperlakukan semua orang sebagai saudara dan mencintai semuanya. Apabila sudah memiliki cinta kasih bagi yang lain, dengan berpegang teguh pada kebenaran, membaktikan diri untuk kebaikan orang lain, sesungguhnya itulah abdi negara dan pelayan masyarakat yang sebenar-benarnya.

Kelima, pantang menggunakan cara-cara kekerasan. Penyelesaian masalah dengan kekerasan biasanya justru akan mengundang munculnya kekerasan baru. Penggunaan cara-cara kekerasan bukannya menyadarkan pihak lawan tetapi lebih sering malah menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan  pantang kekerasan, dapat mengembangkan cinta kasih dan persaudaraan sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang beradab. Pada akhirnya setiap orang atau kelompok sebagai komponen bangsa ini akan dapat menata diri secara inklusif, mengedepankan penerimaan tanpa diskriminasi, serta menghindari persaingan yang  memicu konfik kepentingan.

Penulis, mengajar di Universitas Warmadewa

dan PPS UNHI Denpasar

Read Full Post »

MEMBENAHI KUALITAS LAYANAN PUBLIK

DENGAN CRC

Oleh Wayan Gede Suacana

Layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga khususnya dalam hal perijinan, layanan air minum, listrik, pendidikan, dan kesehatan masih sering mendapatkan sorotan. Kualitas layanan yang meliputi tingkat tangible, reliabilitas, responsivitas, kepastian, dan empati masih memerlukan pembenahan. Salah satu motode yang baru dikembangkan adalah dengan menilai dan mengadvokasi melalui CRC.

  • Apa itu CRC ?

Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Rapor Warga adalah alat praktik terbaik secara internasional guna meningkatkan pemberian layanan publik. CRC pertama kali dikembangkan di Bangalore, India. Frustasi dengan keadaan yang buruk pada layanan publik, maka sekelompok warga swasta melakukan upaya untuk mengumpulkan umpan balik dari para pemakai layanan. Keberhasilan dari upaya awal di Bangalore ini mengantar pada terciptanya Public Affairs Centre (PAC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkomitmen untuk meningkatkan kualitas governance di India. Sejak tahun 1995, PAC secara mandiri telah melakukan kemitraan dan melakukan beberapa CRC di Bangalore dan di berbagai lokasi lainnya di India, Filipina, Vietnam, Ukraina, Tajikistan, Ethiopia, Tanzania dan beberapa negara lainnya.

CRC mengumpulkan umpan balik melalui contoh survei terhadap aspek-aspek kualitas pelayanan yang paling diketahui oleh pemakai, serta memampukan agen-agen publik agar dapat mengidentifikasi kekuatan maupun kelemahan dalam pekerjaan mereka.  CRC berisikan survei yang acak terhadap pemakai jasa publik, serta kumpulan pengalaman para pemakai guna dasar pemeringkatan jasa-jasa tersebut. CRC memfasilitasi prioritas reformasi dan tindakan-tindakan koreksi dengan mengalihkan perhatian pada masalah-masalah yang diungkap. Dengan cara mengumpulkan umpan balik dari warga tentang kualitas dan kecukupan jasa publik dari pemakai yang sesungguhnya, maka CRC memberikan dasar yang tepat serta agenda yang proaktif kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar dapat melakukan dialog guna memperbaiki pemberian layanan umum.

CRC menggunakan konsep-konsep “ukuran” serta “perbandingan” yang sama  seperti yang digunakan dalam kartu rapor siswa. Dengan menggunakan umpan balik dari pemakai, maka CRC dapat mengukur dan memeringkat kinerja agen pelayanan publik. Disamping itu juga bisa mengumpulkan umpan balik dari warga mengenai tingkat kepuasan terhadap layanan yang disediakan dan juga menyediakan estimasi yang terpercaya atas korupsi dan biaya-biaya terselubung lainnya. CRC bisa melakukan katalisasi warga dan organisasi masyarakat sipil untuk menuntut lebih terhadap akuntabilitas, akses dan ketanggapan dari penyedia layanan. CRC juga sebagai alat diagnosa bagi penyedia layanan, konsultan eksternal dan analis/ pelaku riset untuk memfasilitasi prognosa dan solusi yang efektif. Akhirnya CRC akan bisa mendorong agen-agen publik untuk menerapkan dan melakukan promosi terhadap praktek-praktek yang memudahkan warga, membuat standar kinerja dan memfasilitasi transparansi dalam operasionalnya.

Manfaat dan Tujuan CRC

CRC merupakan alat yang  kuat pada saat digunakan sebagai renacana lokal maupun regional guna meningkatkan layanan. Lembaga-lembaga yang sedang melakukan program untuk meningkatkan layanan dapat menggunakan CRC untuk menentukan apakah perubahan-perubahan yang terjadi sungguh diperlukan dan untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dari perubahan-perubahan tersebut.

Sebagai alat diagnosa CRC dapat menyediakan informasi kualitatif dan kuantitatif bagi warga mengenai standar yang digunakan dan celah-celah  yang ada dalam pemberian layanan. CRC juga mengukur  tingkat kesadaran publik terhadap hak dan tanggung jawab warga. Jadi, CRC merupakan alat yang kuat, pada saat pemantauan layanan adalah lemah,  sehingga menyediakan gambaran perbandingan mengenai kualitas layanan dan membandingkan umpan balik antar lokasi /kelompok demografis guna mengidentifikasi segmen-segmen dimana bagian dari layanan cukup lemah.

Sebagai alat akuntabilitas CRC mengungkapkan  dimana saja lembaga-lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian layanan  belum mencapai apa yang telah ditugaskan atau standar layanan yang diharapkan. Temuan-temuan dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan meminta perbaikan-perbaikan tertentu dalam layanan. Para ofisial dapat terstimulasi untuk bekerja dalam menangani beberapa hal khusus.

Sebagai alat acuan CRC,  jika dilakukan secara periodik, dapat melacak perubahan jalur dalam kualitas layanan, untuk kurun waktu yang berjalan. Perbandingan dari temuan-temuan di CRC akan mengungkap perbaikan-perbaikan ataupun penurunan dari pemberian layanan. Sama halnya, maka dengan dilakukannya CRC sebelum maupun sesudah memperkenalkan program/kebijakan baru untuk mengukur dapaknya, adalah sangat efektif.

Dengan menerapkan CRC juga bisa untuk mengungkapkan biaya-biaya terselubung. Umpan balik warga dapat mengungkap biaya-biaya ekstra, yang melebihi biaya yang ditetapkan pada saat menerima layanan publik. Dengan demikian CRC memberikan informasi mengenai porsi warga yang membayar suap (baik yang diminta maupun yang tidak) dan juga besarnya bayaran-bayaran tersebut dan memberikan estimasi terhadap sumber daya pribadi yang dibelanjakan untuk mengkompensasi pemnyediaan layanan yang buruk.

Pelaksanaan CRC

Berbagai organisasi/ lembaga seperti LSM, badan pemerintahan  atau sebuah konsorsium independen (terdiri dari pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan media) bisa  berperan sebagai pengelola dan pendorong proses CRC. Dalam setiap kasus, maka organisasi itu harus memiliki ketrampilan, sumber daya, kemandirian dan motivasi/ komitmen untuk menjalankan CRC.

Untuk bisa melakukan CRC dengan baik, maka organisasi/ lembaga yang bertindak sebagai pelaksana CRC harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, merupakan bagian yang kredibel dari kota atau sektor  dimana usaha ini akan dimulai. Kedua, berkomitmen memperbaiki layanan publik, dalam jangka panjang; Ketiga, mampu untuk menangani pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan  survei (walaupun berarti tidak harus dapat melakukannya sendiri) dan menginterpretasi umpan balik yang terkumpul; Keempat, mau untuk membagi temuan-temuan baik yang positif maupun yang negatif,  Kelima, berpengalaman atau paling sedikit bisa bekerjasama dengan beberapa pemangku kepentingan (stakeholders) seperti pemerintah, media dan LSM.

Pelaksanaan CRC memberikan harapan untuk bisa lebih meningkatkan kinerja pelayanan publik, baik  aspek responsivitas,  akuntabilitas, dan efisiensi. Dengan demikian, birokrasi sebagai agen pelayanan publik akan lebih mampu untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga, memberikan layanan dengan mempertimbangkan kesamaan akses semua warga, transparan, ada kepastian, lebih cepat, lebih murah, serta hemat tenaga.

Penulis, peserta TOT CRC,

mengajar di Universitas Warmadewa

dan S3 Universitas Hindu Indonesia

Read Full Post »

PRAKTIK DEMOKRASI PROSEDURAL

DALAM PEMILU

Oleh: Wayan Gede Suacana

Dalam negara demokrasi, penyelenggaraan pemilu dianggap sebagai salah satu unsur terpenting. Setidaknya, hasil pemilu diasumsikan telah mampu merepresentasikan tingkat partisipasi politik rakyat. Namun, bagaimana bila pengertian demokrasi dikaitkan dengan pelibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dan keputusan politik ?

Pelaksanaan pemilu adalah merupakan cerminan dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara. Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis senantiasa dilandasi prinsip bahwa rakyat tetap berhak terlibat  dalam aktivitas politik, walau telah disadari bahwa partisipasi rakyat secara penuh dalam seluruh proses politik pada jaman sekarang tidak lebih hanya sebuah mitos. Oleh karena itu muncul asumsi bahwa jika pemerintah saat ini telah  memberikan rakyat peran memilih pemerintahan baru lewat sebuah pemilu, sebagai cerminan demokrasi prosedural, maka pemerintah telah dianggap bertindak demokratis. Dalam kenyataannya asumsi dan cara pemahaman demikian masih mengandung kelemahan.

o Demokrasi Prosedural via Pemilu

Kelemahan utama pemaknaan demokrasi (hanya) sebagai sebuah penyelenggaraan pemilu adalah pengabaian kemungkinan “demokratisasi” lebih lanjut dalam sistem politik. Hal ini berarti, jalan pemilu dapat menghentikan keberlanjutan demokrasi dari tingkat minimum yang telah dicapai. Sebab, jika suatu rejim politik sudah memiliki pemerintahan yang dipilih oleh rakyat melalui sebuah pemilu, maka usaha lebih lanjut untuk memperluas pengaruh kekuasaan rakyat tidak dapat dilakukan atau dianggap tidak perlu lagi. Dengan begitu, mesti disadari bahwa pelaksanaan pemilu 2009 nanti yang sudah mulai diramaikan dengan beragam atribut parpol dan caleg itu, hanya akan memberikan rekomendasi dan preferensi peran politik rakyat yang terbatas.

Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat menghilang dan nyaris ”tak terdengar” lagi. Kebijakan publik yang dibuat tidak populis, sementara harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal, penggusuran dimana-mana, pajak ”disesuaikan”, BBM dinaikkan (walau kemudian diturunkan lagi, karena harga minyak dunia memang anjlok), pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan serta dipolitisasi, kemiskinan dan pengangguran juga belum banyak berkurang.

Praktik demokrasi prosedural  lewat penyelenggaraan pemilu itu juga bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia mengajarkan kebebasan, tetapi di sisi lain, nilai-nilai budaya setempat belum tentu memiliki prinsip-prinsip kebebasan yang sama dengan ajaran demokrasi yang bersifat universal. Prinsip utama demokrasi bahwa kemungkinan setiap warga negara turut serta dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik hampir tidak dikenal dalam budaya politik kita. Bahkan, “budaya” memilih sesuatu yang berbeda pun kita tidak punya, karena warisan budaya hidup bersama (komunalitas). Akibatnya, struktur politik kita yang modern sesungguhnya masih beroperasi di atas prinsip-prinsip yang masih sangat tradisional sifatnya. Praktek demokrasi langsung dengan sistem one man one vote masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang diimpor dari luar untuk diperkenalkan ke dalam tatanan masyarakat kita yang berbasiskan nilai-nilai feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik (patron-client).

Dalam kondisi masyarakat yang begitu, prilaku “nyontreng” dalam pemilu hanya memiliki efek memperkuat posisi politisi dan negara. Sebaliknya, kegiatan tersebut berefek disempowering terhadap penerapan prinsip demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat pemilih, karena mereduksi makna demokrasi “substantif” menjadi “prosedural” belaka.

o Penguatan Masyarakat Pemilih

Praktik demokrasi prosedural via pemilu itu harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan masyarakat pemilih agar bisa terwujud demokrasi substantif. Tantangan pewujudan demokrasi subtantif ini adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat pemilih dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi.

Upaya penguatan masyarakat pemilih paralel dengan demokratisasi—kalau demokratisasi dimaknai tidak terbatas hanya pada demokrasi prosedural via penyelenggaraan pemilu saja. Setidaknya ada tiga  persyaratan bagi upaya penguatan masyarakat pemilih menuju demokrasi yang lebih substantif. Pertama, keberadaan masyarakat pemilih sudah otonom dalam sikap dan prilaku politiknya, memiliki budaya politik partisipan sehingga  segala bentuk kegiatan politiknya sepenuhnya bersumber dari kemauan dan kesadaran sendiri dan hanya sedikit (bahkan tidak ada) campur tangan pihak lain.  Kedua,  adanya cukup pengetahuan dan pemahaman  masyarakat pemilih terhadap para caleg dan partai politik peserta pemilu. Dalam kenyataan hingga kini, jangankan tahu dan mengenal visi, misi dan ideologi calon yang akan dipilih, misalnya menyebutkan dengan benar nama dan simbol  5 parpol baru peserta pemilu saja kita masih harus berpikir cukup serius. Hal ini berarti proses sosialisasi pemilu belum berjalan dengan efektif. Ketiga, tumbuh dan berkembangnya arena publik yang bersifat otonom dimana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka sendiri. Setelah pemilu, keberadaan masyarakat pemilih tidak “dibiarkan mengambang” tetapi tetap didampingi oleh parpol, dan ormas lainnya sehingga masyarakat pemilih tetap dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik.  Sementara parpol sesuai salah satu fungsinya bisa menyerap aspirasi masyarakat dan diteruskan kepada lembaga legislatif untuk selanjutnya bisa diambil  sejumlah langkah-langkah kebijakan publik yang konkrit

Dari ketiga persyaratan tersebut, terlihat bahwa sebagian besar komponen masih belum bisa diwujudkan. Baik  komponen pertama, kedua dan ketiga secara tegas menghendaki perluasan akses dan penguatan posisi tawar masyarakat pemilih baik terhadap caleg dan parpol maupun kepada negara via pemerintah nantinya. Penguatan masyarakat pemilih menghendaki sebuah sistem yang memungkinkan mereka dapat melakukan berbagai bentuk partisipasi politik secara berkelanjutan. Partisipasi politik masyarakat akan lebih konkrit jika mereka dapat secara langsung mengemukakan pendapatnya mengenai isu atau kebijakan tertentu, bukan hanya memilih wakil-wakil yang kemudian bertindak atas nama rakyat ketika menanggapi isu atau kebijakan tersebut.

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »