ZONA INTEGRITAS DAN WILAYAH BEBAS KORUPSI BAGI GOVERNANCE
Oleh Wayan Gede Suacana
Pascabanyaknya mantan pejabat dan pejabat tersandung kasus korupsi, Bupati Bangli I Made Gianyar menandatangani kesepakatan Bangli sebagai zona integritas dan wilayah bebas korupsi dengan Menpan RI. Bahkan Bangli disebut satu-satunya kabupaten di Bali, dan kabupaten keempat di Indonesia, setelah Aceh, Hulu Sungai Selatan dan Garut sebagai kabupaten (yang menandatangani kesepakatan sebagai zona integritas dan wilayah) bebas korupsi (BP, 25/7)
Keberanian pejabat untuk menetapkan lingkungan kerjanya sebagai zone integritas (ZI) dan wilayah bebas korupsi (WBK) zaman sekarang ini patut dihargai di tengah sistem pemerintahan dan birokrasi yang cenderung koruptif. Kondisi mana telah melahirkan apatisme serta sikap permisif sebagian besar orang yang menganggap korupsi sebagai sesuatu hal yang wajar. Hal ini berdampak pada tidak hanya pada semakin melemahkan wibawa pemerintah dimata masyarakat yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga semakin tingginya angka kemiskinan masyarakat.
- Acuan Tindakan
Komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah korupsi telah dimulai dengan dikeluarkannya INPRES No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) oleh Bappenas 2004-2009. INPRES dan dokumen RAN PK Bappenas itu telah memberikan acuan dalam upaya pemberantasan korupsi bagi setiap lini pemerintahan yang berada di tingkat Pusat maupun Daerah. Bahkan sejak 2006, Bappenas telah mendorong penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) di berbagai daerah sebagai tindak lanjut RAN-PK tersebut. Hingga kini, sudah 23 provinsi dan 17 kabupaten/ kota yang telah menyusun dan berkomitmen melaksanakan RAD PK baik atas fasilitasi Bappenas maupun atas inisiatif sendiri.
Salah satu poin penting dari INPRES No. 5 Tahun 2004 adalah bahwa setiap Kementerian, Lembaga, Instansi Pusat dan Daerah harus menetapkan program ZI dan WBK. Program ZI dan WBK yang diamanatkan oleh Instruksi Presiden No. 5/2004 tersebut dalam praktiknya masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Pasalnya, untuk mewujudkan WBK mesti diawali dengan komitmen pemberantasan korupsi oleh seluruh perangkat instansi pemerintah yang akan menerapkannya, baik kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Komitmen pemberantasan korupsi tersebut bisa diwujudkan melalui pernyataan dalam dokumen Pakta Integritas yang dilanjutkan dengan pembangunan ZI di lingkup kementerian/ lembaga/pemda. Hal itu dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkret, sebagai bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan pelayanan publik, disertai dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten. Berdasarkan pedoman yang telah disusun oleh Kementerian PAN dan RB yang telah dibahas bersama KPK dan Ombudsman RI, setiap pimpinan instansi pemerintah melakukan pencanangan, bahwa instansi yang dipimpinnya telah siap menerapkan ZI sebagai persiapan menuju WBK. Penetapan WBK di kementerian/lembaga/pemda diharapkan akan menjadi inspirator dan motivator bagi upaya-upaya pencegahan korupsi selanjutnya.
- Penerapan ZI dan WBK
Penerapan ZI dan WBK dimulai dengan pencanangan ZI, dengan penandatanganan pakta integritas oleh seluruh pegawai dan dipublikasikan secara luas. Masyarakat diharapkan bisa memantau, mengawal dan mengawasi, sehingga mereka juga bisa berpartisipasi aktif dalam pencegahan korupsi, reformasi birokrasi serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Penerapan ZI mesti dilaksanakan dengan perencanaan yang matang agar dapat dijamin keberhasilannya. Untuk itu diperlukan adanya pembinaan oleh Unit Penggerak Integritas (UPI) yang secara ex-officio dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) masing-masing Kementerian/Lembaga/Pemda.
Setelah penerapan ZI berlangsung dalam waktu yang cukup memadai, pimpinan instansi pemerintah yang sudah memperoleh opini minimal wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK melakukan identifikasi unit kerja yang dipandang berkinerja baik, selanjutnya bisa diusulkan menjadi unit kerja yang berpredikat WBK kepada Menteri PAN dan RB untuk dilakukan penilaian. Penilaian ini nantinya dilakukan oleh Tim Independen yang beranggotakan personil Kementerian PAN dan RB, KPK, ORI dan unsur terkait yang dianggap perlu. Ada dua indikator yang digunakan, yaitu indikator mutlak, dan indikator operasional. Indikator mutlak berupa minimum requirement yang harus dipenuhi, sebagai pre requisite untuk penilaian selanjutnya berdasarkan indikator operasional.
Penerapan ZI dan WBK ini setidaknya akan bisa memberikan peluang bagi peningkatan integritas dan mengurangi korupsi yang terjadi khususnya di lingkungan birokrasi. Pertama, secara sistemik dengan adanya ZI dan WBK akan ikut membenahi dan memberdayakan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, serta penguatan integritas sumberdaya aparatur. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya ZI dan WBK akan meningkatkan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Dalam kaitan ini survei integritas yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia patut didukung pelaksanaannya. Dalam survei integritas tersebut setiap pejabat pemerintah akan dipantau dan dinilai diantaranya berdasarkan penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, secara moralistik dengan menegakkan sistem integritas dan penerapan ZI dan WBK terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat peemrintah untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan-tindakan mal-administratif serta patologi birokrasi lainnya. Pejabat yang berintegritas semestinya hanya menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk tujuan yang sah menurut hukum.
Akhirnya, segala upaya penetapan ZI dan WBK tersebut erat kaitannya dengan kehendak untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan (governance). Dalam kaitan ini diperlukan pemberdayaan dan pelibatan eleman masyarakat untuk meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai “social control” terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Berbagai organisasi/ lembaga seperti LSM, badan pemerintahan atau sebuah konsorsium independen (terdiri dari pegawai pemerintah, LSM, akademisi, dan media) hendaknya tetap bisa menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan birokrat yang terindikasi koruptif.
Penulis, dosen
Universitas Warmadewa Denpasar
Tinggalkan komentar